Oleh : Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Kader HMI FH USU)
Mudanews.com – Di tengah arus globalisasi yang menggerus nilai-nilai luhur, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) tetap menjadi saksi bisu lahirnya para “ksatria” intelektual dari rahim organisasi mahasiswa Islam, HMI. Lebih dari sekadar organisasi, HMI di FH USU telah mewariskan suatu bentuk “perjanjian suci” — ikrar tak tertulis yang mengikat para aktivisnya pada cita-cita keislaman, keilmuan, dan kebangsaan.
Perjanjian ini bukanlah sebentuk kontrak materialistis. Ia lahir dari kesadaran spiritual dan intelektual bahwa hidup bukan semata untuk meraih gelar, tetapi untuk mengabdi pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Bagi para kader HMI di FH USU, pengkaderan bukan sekadar rutinitas administratif, melainkan sebuah perjalanan suci: membangun diri menjadi insan cita, yaitu Muslim sejati, intelektual mumpuni, dan profesional yang amanah.
Ruang Intelektual dan Pertaruhan Moral
Studi kasus para aktivis HMI di FH USU memperlihatkan bahwa proses kaderisasi mereka mengedepankan dialektika gagasan, adu argumentasi berbasis logika hukum, dan pembentukan watak kepemimpinan yang berintegritas. Di balik debat-debat panjang, dinamika forum, dan kerasnya kritik internal, terdapat satu benang merah: menjaga marwah keilmuan dengan semangat Islam dan nasionalisme.
Tidak jarang, para aktivis ini mempertaruhkan posisinya di tengah sistem akademik dan politik kampus demi membela prinsip yang diyakini benar. Mereka memahami bahwa menjadi ksatria intelektual berarti siap berdiri di garis depan membela keadilan, bahkan ketika harus berhadapan dengan otoritas yang jauh lebih kuat.
Simbol Kesetiaan terhadap Misi HMI
Kesetiaan para kader FH USU terhadap misi HMI — yakni mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah — tercermin dalam kesungguhan mereka membangun jaringan dakwah, memperjuangkan kebebasan akademik, dan menyuarakan keadilan sosial. Ikrar ini, dalam banyak kesempatan, lebih kuat dari perjanjian apa pun, karena ia ditulis di hati, bukan di atas kertas.
Kita dapat melihat betapa mereka berjuang dalam keheningan, menolak pragmatisme, dan menegaskan bahwa kekuasaan tanpa moralitas hanyalah ilusi. Mereka membangun peradaban di balik tembok kampus, merajut persahabatan, memperdalam ilmu hukum, dan menyiapkan diri menjadi pemimpin masa depan.
Relevansi Perjanjian Ini Hari Ini
Namun, zaman terus bergulir. Tantangan hari ini berbeda: individualisme, hedonisme, dan apatisme politik mengancam membelah kekuatan moral yang dulu begitu kokoh. Karena itu, menghidupkan kembali semangat “perjanjian suci” ini menjadi tugas sejarah. HMI di FH USU mesti merevitalisasi pengkaderan: menekankan penguatan akidah, pengasahan akal kritis, dan pelatihan kepemimpinan berbasis integritas.
Perjanjian para ksatria ini mengajarkan kita, bahwa perjuangan adalah warisan. Ia tidak boleh berhenti di satu generasi, tetapi mesti diwariskan dengan penuh kesadaran, ketulusan, dan keteguhan prinsip. Karena kelak, di medan pengabdian yang lebih luas, bangsa ini akan bertanya: siapa yang masih setia kepada kebenaran, dan siapa yang tergelincir oleh kekuasaan.
Penutup
Perjanjian suci para ksatria HMI di FH USU bukan hanya romantika tetapi keniscayaan yang wajib dilaksanakan. Ia adalah kompas moral yang tetap relevan, mengingatkan kita bahwa sejatinya intelektual Muslim tidak lahir untuk sekadar menjadi bagian dari statistik lulusan, tetapi untuk menjadi penjaga nilai-nilai luhur di tengah arus dunia yang kian membutakan.
Menghidupkan kembali perjanjian itu adalah tugas kita semua — dengan keberanian, dengan keteladanan, dan dengan cinta kepada kebenaran.
Demikian
Penulis Mahasiswa FH USU Stambuk’ 92, Ketua Kelas Grup A., Korwil Aceh – Sumut, Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia (ISMAHI) Periode 1995-1997, Medan, 26 April 2025
______
Referensi
1. Natsir, Muhammad. Islam dan Dasar Negara. Jakarta: Media Dakwah, 1980.
(Menjelaskan pertautan antara nilai keislaman dan perjuangan intelektual.)
2. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Konstitusi HMI (AD/ART), Hasil Kongres HMI ke-31 di Surabaya, 2018.
(Dasar formal tujuan, cita-cita, dan misi pengkaderan HMI.)
3. Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991.
(Konsep bahwa gerakan intelektual Islam harus berujung pada perubahan sosial.)
4. Habermas, Jürgen. The Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge: MIT Press, 1991.
(Teori tentang ruang publik yang relevan dengan perjuangan aktivis kampus.)
5. FH USU. Sejarah Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Website resmi FH USU.
(Dokumentasi tentang perkembangan akademik dan organisasi mahasiswa di FH USU.)
6. Nasution, Harun. Islam Rasional. Jakarta: Mizan, 1995.
(Menekankan pentingnya akal dalam memahami Islam, selaras dengan karakter kaderisasi HMI.)
7. Dahlan, Malik Fadjar. Islam dan Transformasi Sosial. Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
(Menguatkan pemikiran tentang aktivisme Islam dalam transformasi sosial dan hukum.)
8. Catatan Internal HMI Komisariat FH USU. (Data wawancara dan observasi tidak tertulis tentang dinamika kaderisasi dan perjuangan aktivis HMI di FH USU.)