Pernyataan Sekjend Golkar, “Gibran Tak Bisa Dimakzulkan” Berbahaya

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com OPINI | Pernyataan Sekjen Partai Golkar, Sarmuji, bahwa Wapres Gibran Rakabuming Raka terpilih secara konstitusional dan tidak bisa dimakzulkan, sekilas terdengar benar. Namun jika ditelaah lebih dalam, klaim itu justru menyimpan masalah serius terhadap keadilan hukum dan integritas demokrasi kita.

Secara teknis, benar Gibran dilantik sesuai prosedur Pilpres. Tetapi legitimasi suatu jabatan tidak hanya dinilai dari formalitas prosedur, melainkan juga dari proses hukum yang bersih dan adil. Fakta tak terbantahkan adalah, Gibran maju ke Pilpres berkat perubahan syarat usia capres-cawapres melalui putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, putusan yang dinodai konflik kepentingan oleh Ketua MK saat itu, Anwar Usman, paman Gibran sendiri, juga adik ipar Jokowi yang saat sengketa di MK menjabat sebagai Presiden aktif.

Padahal, dalam sistem hukum Indonesia, khususnya dalam Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan bahwa:

“Hakim wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara apabila terdapat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang berperkara.”
Ketentuan ini berlaku pula terhadap hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi, sebagaimana ditekankan dalam Pasal 17 ayat (5) UU MK No. 24 Tahun 2003, yang menyebut:
“Hakim Konstitusi wajib mengundurkan diri apabila mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap perkara yang diperiksa.”

Artinya, keputusan Anwar Usman untuk tetap ikut memutus perkara yang terkait keponakannya, Gibran, jelas melanggar prinsip dasar peradilan yang jujur, imparsial, dan bebas dari konflik kepentingan.

Atas hasil keputusan itu Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) secara resmi menyatakan Anwar Usman melanggar etik berat, dan menjatuhkannya sanksi. Ini artinya, lahirnya pencalonan Gibran yang lolos dari syarat usia Cawapres berasal dari proses hukum yang cacat secara etika, sekalipun tidak otomatis membatalkan keabsahan hukumnya.

Namun dalam negara hukum demokratis, keadilan substantif sama pentingnya dengan keabsahan prosedural. Demokrasi bukan hanya soal angka suara, tetapi soal menjunjung proses yang adil, bersih dan benar.

Dalam konteks ini, usulan Forum Purnawirawan TNI kepada MPR untuk mempertimbangkan posisi Gibran bukan tindakan inkonstitusional atau pemecah belah bangsa. Sebaliknya, itu adalah bentuk koreksi konstitusional dan moral, bagian dari prinsip checks and balances yang dijamin UUD 1945.

Sejarah bangsa ini pun mencatat bahwa pemakzulan terhadap pemimpin yang terpilih secara sah adalah sah dan konstitusional bila terjadi pelanggaran berat terhadap prinsip demokrasi dan keadilan.

Presiden Soeharto, misalnya, terpilih secara konstitusional melalui Sidang MPR pada 11 Maret 1998, namun dipaksa mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 setelah gelombang besar gerakan reformasi menuntut akuntabilitas dan perubahan.

Demikian pula Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih sah lewat MPR tahun 1999, akhirnya dimakzulkan pada tahun 2001 melalui Sidang Istimewa MPR karena dinilai melanggar ketentuan dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.

Artinya, tidak ada jabatan publik, meskipun diperoleh melalui prosedur formal konstitusional, yang kebal dari evaluasi dan pemakzulan apabila terdapat pelanggaran serius. Begitu pula dengan posisi Gibran Rakabuming Raka. Pemakzulan terhadap Gibran, jika diproses sesuai mekanisme UUD 1945, adalah sah, konstitusional, dan justru memperkuat prinsip supremasi hukum serta keadilan.

Para Purnawirawan TNI (AD, AL, AU) yang tergabung dalam Forum Purnawirawan telah menandatangani 8 tuntutan, salah satunya pemakzulan terhadap Gibran Rakabuming Raka, terdiri dari 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel. Mereka mengingatkan, bahwa negara ini tidak boleh mengabaikan luka konstitusi hanya demi stabilitas semu. Pembangunan tanpa keadilan akan memperdalam krisis kepercayaan publik, yang jauh lebih berbahaya daripada gaduhnya kritik politik.

Perlu diingat, Pasal 7B UUD 1945 mengatur mekanisme pemakzulan Presiden/Wapres hanya untuk pelanggaran berat. Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti, telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Gibran berpotensi melakukan perbuatan tercela, sehingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden. Ia menduduki jabatan berdasarkan proses tercela (pelanggaran etik berat Mahkamah Konstitusi untuk kepentingannya). Cacat hukum di hulu pencalonan Gibran tersebut akan memicu krisis legitimasi, dan MPR tetap berwenang secara politik dan moral untuk mengevaluasi.

_Oleh: Agusto Sulistio – Indonesia Democracy Monitor (InDemo)._

Jakarta, Selasa 29/4/2025, 06:54 Wib.

Berita Terkini