Negara Gagal : Kajian Praktik Perilaku Politik Elite Pada Rakyat Dengan Cara Bohong Dibeli Dengan Tipu, Tipu Dijual Dengan Dusta

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Aktivis Rakyat)

Mudanews.com – Dalam iklim demokrasi prosedural yang terus dipertontonkan setiap lima tahun, bangsa ini seolah kehilangan ruh etik dan kejujuran yang menjadi fondasi dari praktik politik yang sehat. Demokrasi elektoral berubah menjadi pasar transaksional. Di sana, kebohongan dibeli dengan tipu, dan tipu dijual kembali dengan kemasan dusta.

Ketika rakyat tidak lagi diposisikan sebagai subjek politik melainkan objek elektoral, maka panggung kekuasaan hanya diisi oleh elite yang saling menipu demi mempertahankan posisi dan privilese. Maka tak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai negara gagal dalam makna substantif: negara yang tidak mampu lagi menjamin keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan warganya.

Bangsa Sampah: Istilah yang Menyayat Kesadaran

Istilah “bangsa sampah” tentu bukan untuk merendahkan rakyat. Ia adalah bentuk metaforis atas kondisi kolektif di mana rakyat dibanjiri janji-janji politik yang tidak pernah ditepati. Sebagaimana disebut oleh James C. Scott dalam Weapons of the Weak, rakyat kerap dipaksa menerima dominasi dengan narasi hegemonik dari elite yang memanipulasi realitas sosial melalui janji, simbol, dan proyek-proyek semu.

Data dari Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 yang dirilis Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara, menandai stagnasi dalam pemberantasan korupsi. Sementara itu, Indeks Demokrasi Indonesia versi BPS tahun 2023 menurun ke angka 72,4, menunjukkan lemahnya partisipasi publik dan meningkatnya otoritarianisme prosedural.

Bohong, Tipu, Dan Dusta: Tiga Pilar Kekuasaan Palsu

Bohong bukan lagi aib dalam dunia politik Indonesia. Ia telah menjadi perangkat operasional. Dalam teori klasik Machiavelli, penguasa boleh menipu demi kekuasaan. Tapi ketika kebohongan menjadi norma, bukan pengecualian, maka tatanan politik sedang menuju disintegrasi moral.

Elite bicara soal “ekonomi kerakyatan” di panggung debat publik, tapi realitas menunjukkan bahwa 40% kekayaan nasional masih dikuasai oleh 1% populasi (Data World Inequality Report, 2022). Di balik slogan “pembangunan merata”, fakta menunjukkan bahwa rasio Gini Indonesia stagnan di angka 0,38, mencerminkan ketimpangan struktural yang kronis.

Rakyat Dalam Simulakra Demokrasi

Dalam realitas yang dipenuhi simbol palsu dan janji hampa, rakyat hanya disuguhi ilusi pilihan. Mereka dipaksa memilih antara kandidat yang sama-sama melanggengkan status quo. Jean Baudrillard menyebut ini sebagai simulacra, realitas yang dipalsukan oleh tanda dan representasi.

Kritik dari Gramsci tentang hegemoni sangat relevan di sini. Rakyat tidak lagi dikendalikan dengan kekerasan, tapi melalui dominasi kesadaran. Media arus utama, alih-alih menjadi pilar keempat demokrasi, lebih banyak bertindak sebagai amplifier kekuasaan. Ruang-ruang kritik ditutup, dan pendidikan politik publik dikebiri oleh infotainment dan polarisasi politik murahan.

Negara Gagal Dalam Dimensi Moral Dan Struktural

Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay menyatakan bahwa negara gagal bukan hanya karena lemahnya institusi, tapi karena korosi moral elite yang memimpinnya. Ketika hukum dipolitisasi, aparat disubordinasikan, dan keadilan diperdagangkan, maka negara kehilangan legitimacy di mata rakyat.

Fenomena ini tampak dalam banyak kebijakan publik yang pro-elite. UU Cipta Kerja, RUU TNI, dan RUU Polri misalnya, dikritik karena lebih menguntungkan korporasi ketimbang buruh serta memastikan syahwat kekuasaan melebih batasnya. Di sisi lain, subsidi pendidikan dan kesehatan publik sebagai peran minimal hadirnya jaminan suatu negara terus di pangkas. Kita bisa melihat postur dari APBN 2025 bahkan menunjukkan bahwa alokasi infrastruktur tetap naik, meski belanja sosial stagnan.

Menuju Etika Politik Yang Transformatif

Namun harapan belum mati. Sejarah bangsa menunjukkan bahwa kesadaran rakyat dapat tumbuh, terutama dari akar rumput. Perubahan tidak selalu lahir dari parlemen, tapi dari kampus, masjid, gereja, dan ruang diskusi kecil. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai concientização—kesadaran kritis sebagai awal dari pembebasan.

Gerakan moral hari ini harus melampaui oposisi formal. Ia harus menjadi oposisi etik dan akal sehat. Kita membutuhkan elite yang tidak hanya menguasai narasi, tetapi juga keberanian moral untuk berkata benar meski tak populer. Bangsa yang besar tidak dibentuk oleh kekompakan dalam kebohongan, tapi oleh keberanian menyuarakan kebenaran, bahkan jika sendirian.

Penutup

Bangsa ini tidak kekurangan pemimpin, tapi kekurangan kejujuran. Politik kita tidak krisis prosedur, tapi krisis nilai. Jika hari ini negara dianggap gagal, maka kita harus mulai merumuskan ulang relasi antara rakyat dan kekuasaan. Kita harus kembali pada politik sebagai jalan pelayanan dan pengabdian pada kedaulatan rakyat serta bukan sekadar perebutan kekuasaan.

Karena sejatinya, demokrasi bukan hanya soal suara terbanyak, tapi tentang suara yang benar. Dan kejujuran tetaplah satu-satunya fondasi yang bisa menyelamatkan bangsa dari menjadi “negara gagal” yang memproduksi “bangsa sampah” dalam suatu peradaban manusia..

Demikian

Penulis Mantan Aktivis Mahasiswa, Medan 26 April 2025.

_____

Daftar Referensi

1. Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. University of Michigan Press, 1994.
Buku ini mengkaji konsep simulacra, atau representasi palsu yang menggantikan realitas, yang relevan dengan diskusi tentang manipulasi media dan politik di Indonesia.

2. Fukuyama, Francis. Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy. Farrar, Straus and Giroux, 2014.
Menyediakan pemahaman mendalam tentang bagaimana kegagalan moral dan kelemahan institusi negara dapat mengarah pada kemerosotan negara.

3. Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. International Publishers, 1971.
Teori tentang hegemoni dan bagaimana elite politik mengontrol kesadaran rakyat untuk mempertahankan kekuasaan, relevan dengan kritik terhadap dominasi politik elite.

4. Machiavelli, Niccolò. The Prince. Translated by W. K. Marriott, 1908.
Sebuah karya klasik yang membahas penggunaan kebohongan dan tipu daya dalam politik untuk mempertahankan kekuasaan.

5. Scott, James C. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. Yale University Press, 1985.
Menyediakan perspektif tentang bagaimana rakyat yang terpinggirkan merespons dominasi elite politik.

6. Transparency International. Corruption Perceptions Index 2024. Transparency.org.
Laporan tahunan yang mengukur persepsi korupsi di sektor publik global, yang menggambarkan stagnasi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

7. World Inequality Report. World Inequality Database. 2022.
Laporan ini mengungkapkan ketimpangan global, termasuk di Indonesia, dengan data yang menunjukkan konsentrasi kekayaan di kalangan segelintir elite.

8. Indeks Demokrasi Indonesia 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia.
Menyediakan data terbaru mengenai kualitas demokrasi di Indonesia, termasuk partisipasi politik dan kondisi kebebasan sipil.

9. Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. Continuum, 2000.
Menggali konsep concientização, yang dapat digunakan untuk memahami bagaimana kesadaran kritis dapat dibangun di kalangan rakyat untuk melawan sistem yang tidak adil.

10. BPS (Badan Pusat Statistik). Statistik Sosial Ekonomi Indonesia 2023. BPS Indonesia.
Menyediakan data dan analisis tentang kondisi sosial-ekonomi di Indonesia, termasuk ketimpangan sosial dan distribusi kekayaan.

Berita Terkini