Tanah Dijual Bangsa Dipertaruhkan – Warisan Jokowi, Orang Asing Boleh Beli Rumah di Indonesia

Breaking News

- Advertisement -

 

Mudanews.com OPINI | Ketika Kantor Wilayah Kemenkumham Bali menyatakan bahwa semua orang asing, bahkan pemegang Visa on Arrival (VoA), dapat membeli properti di Bali, sinyal bahaya bagi kedaulatan bangsa kembali menyala. Di balik narasi investasi dan pertumbuhan ekonomi, kebijakan ini sejatinya menyiapkan karpet merah bagi asing untuk menguasai ruang hidup warga lokal, menggerus budaya, dan melemahkan kontrol negara atas tanah airnya sendiri.

Kepala Kanwil Kemenkumham Bali, Anggiat Napitupulu, sampaikan bahwa kebijakan ini “ok saja.” Tapi sesungguhnya, pernyataan itu ibarat membuka gerbang selebar-lebarnya bagi penetrasi asing atas aset paling mendasar milik bangsa yakni tanah.

Kebijakan yang menjadi landasan hukum diperbolehkannya warga negara asing membeli properti di Indonesia, termasuk rumah tapak dan rumah susun, ditandatangani pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Regulasi ini tertuang dalam Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1241/SK-HK.02/IX/2022 tentang Perolehan Harga Rumah Tempat Tinggal/Hunian untuk Orang Asing.

Keputusan ini merupakan kelanjutan dari semangat liberalisasi sektor properti yang dimulai sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. PP tersebut, yang diteken oleh Presiden Jokowi dan ditegaskan oleh Menteri ATR/BPN saat itu, Alm. Ferry Mursyidan Baldan, membuka pintu kepemilikan properti bagi WNA dengan berbagai bentuk izin tinggal.

Dalam perjalanannya, regulasi ini tidak memperkuat perlindungan terhadap tanah rakyat, melainkan memperluas peluang bagi asing untuk memiliki ruang tinggal eksklusif di negeri ini. Alih-alih dievaluasi dampaknya, kebijakan tersebut justru dipermanenkan dan diperlonggar oleh pejabat teknis hingga ke tingkat Kanwil Kemenkumham Bali.

Di satu sisi, pemerintah membatasi harga properti yang bisa dibeli oleh WNA minimal Rp. 5 miliar untuk rumah tapak di Bali, Jakarta, dan sejumlah daerah lainnya. Namun di sisi lain, ini justru menandai pergeseran orientasi pembangunan dari kesejahteraan rakyat ke akomodasi kepentingan modal asing.

Harga tanah melonjak, masyarakat lokal rerutama generasi muda dipaksa menjadi penonton. Mereka yang hidup dari pertanian atau pariwisata rakyat semakin tersingkir, tidak sanggup membeli tanah di kampungnya sendiri. Proses ini sudah terjadi diam-diam di Canggu, Uluwatu, dan Ubud, warga hanya jadi buruh di tanah yang dahulu mereka miliki.

Bali bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah ruang budaya yang hidup tempat ritual, solidaritas komunal, dan nilai-nilai adat diwariskan lintas generasi. Ketika tanah-tanah adat dikuasai oleh pemodal asing, maka budaya lokal tak hanya tergeser, tapi bisa hancur dalam proses asimilasi paksa.

Model pembangunan yang eksklusif dan dikendalikan oleh asing ini menciptakan komunitas paralel. kompleks villa tertutup berisi ekspatriat di satu sisi, warga lokal yang terdorong ke pinggiran di sisi lain. Dua dunia yang tidak bersentuhan, tetapi berdiri di tanah yang sama.

Secara hukum, kebijakan ini menimbulkan kekaburan besar. Ketika jenis izin tinggal tidak lagi menjadi batasan, lalu bagaimana kontrol negara terhadap stabilitas demografi dan geopolitik? Bila seseorang bisa membeli properti hanya dengan VoA yang berlaku selama 30 hari maka batas antara turis dan pemilik aset menjadi kabur.

Secara politik, ini memperlemah posisi negara. Dalam jangka panjang, bila lahan-lahan strategis dikuasai secara de facto oleh asing, pemerintah akan kehilangan kendali ruang dan pengaruh atas kawasan vital. Lebih dari sekadar bisnis properti, ini adalah soal siapa yang menguasai ruang hidup bangsa.

Selandia Baru Menolak, Mengapa Indonesia Tidak?

Selandia Baru, negara maju dengan sistem pasar terbuka, justru pada tahun 2018 melarang warga negara asing membeli rumah di negaranya. Pemerintah menyatakan bahwa kepemilikan properti oleh asing menyebabkan krisis perumahan dan membuat rakyatnya tak mampu membeli rumah.

Di Indonesia? Pemerintah malah mendorongnya, bahkan memudahkan dengan syarat hanya “izin tinggal” dan paspor. Ironi yang menyakitkan, ketika negara maju menjaga tanahnya dari investor asing, kita justru menjualnya dengan dalih ekonomi.

Pertanyaan mendasar yang harus dijawab, Indonesia ini untuk siapa? Untuk rakyat yang bekerja keras menjaga budayanya? Ataukah untuk segelintir elit dan pemodal asing yang melihat Indonesia hanya sebagai tempat spekulasi?

Tanah bukan sekadar komoditas. Ia adalah warisan, identitas, dan benteng kedaulatan. Bila negara dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto tak segera mengoreksi arah kebijakan ini, maka yang dijual bukan hanya rumah, tetapi juga harga diri bangsa.

_Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)._

Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat 25 April 2025, 03:18 Wib.

_Pesan terkirim ke sekitar ribuan netizen melalui WhatsApp Group by Blasting Algoritma Cloud System “Agusto Sulistio” The Activist Cyber._

Berita Terkini