Oleh : Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Sekum Badko HMI Sumut Periode 1997-1999)
Pendahuluan
Mudanews.com – Dalam sejarah panjang republik ini, M. Natsir bukan hanya dikenal sebagai tokoh politik Islam, melainkan juga sebagai intelektual Muslim organik yang menjembatani nalar iman dan akal sehat publik. Di tengah riuh rendah transformasi Indonesia dari negeri jajahan menuju negara modern, peran Natsir merepresentasikan integrasi antara nilai, pemikiran, dan praksis kekuasaan secara etis.
Dari Padang Panjang ke Panggung Nasional
Lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli 1908, Mohammad Natsir adalah anak zaman yang menyerap semangat reformisme Islam dan modernitas dalam satu tarikan napas. Ia belajar dari tokoh-tokoh pembaru seperti Ahmad Hassan, Soekarno, dan Agus Salim, namun menjelma menjadi sosok yang khas: cerdas, religius, dan merakyat.
Sebagai murid dan kemudian tokoh utama dalam gerakan Persatuan Islam (PERSIS), Natsir aktif menulis di berbagai media, membangun kesadaran umat tentang pentingnya pendidikan, kebebasan berpikir, dan keterlibatan Islam dalam ranah kebangsaan. Ia kemudian menjadi pemimpin penting Partai Masyumi, partai besar yang memperjuangkan Islam dalam bingkai demokrasi dan pluralisme.
Manifestasi Intelektual Organik
Dalam kerangka Antonio Gramsci, seorang intelektual organik bukanlah sekadar cendekia yang fasih bicara, melainkan tokoh yang tumbuh dari basis masyarakat dan mengabdi pada kepentingan kolektif—bukan elit. M. Natsir memenuhi syarat ini secara utuh. Ia lahir dari denyut umat, dan berkiprah untuk mereka, bukan dari atas, melainkan dari dalam.
Ia menjadikan Islam bukan sekadar doktrin, tetapi prinsip etika dan kebijakan publik. Ketika menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia (1950–1951), Natsir menggagas Mosi Integral, yang menjadi tonggak penting kembalinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari format federal buatan kolonial. Bukan dengan senjata, tetapi lewat kekuatan gagasan dan legitimasi politik yang diperoleh melalui konsensus di Parlemen.
Sebagai intelektual organik, Natsir juga menolak menjadi oportunis kekuasaan. Setelah pembubaran Masyumi oleh Presiden Soekarno tahun 1960, ia memilih jalur moral: mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan membina generasi Muslim melalui pendidikan, ekonomi, dan dakwah. Di sinilah peran intelektual sejati diuji—bukan di gedung parlemen, tetapi di tengah umat, di daerah terpencil, di pelosok negeri yang dilupakan pembangunan.
Ia tidak menempuh jalan populisme religius yang menjual ayat demi elektabilitas. Natsir percaya bahwa Islam adalah kekuatan peradaban yang bisa berjalan seiring dengan demokrasi, nasionalisme, dan keterbukaan. Ia mengkritik radikalisme dengan narasi keilmuan dan mengingatkan negara untuk tidak memonopoli tafsir agama.
Etika Publik dan Oposisi Moral
Sepanjang era Orde Baru, Natsir tetap konsisten menjadi oposisi moral. Ia tidak berseberangan demi kuasa, tetapi demi prinsip. Ketika banyak mantan tokoh Islam memilih berkompromi dengan rezim otoriter, Natsir justru menulis dan berbicara lantang tentang perlunya etika dalam bernegara. Ia menolak persekongkolan kekuasaan dengan agama untuk menjustifikasi korupsi dan represi.
Bahkan dalam pengasingannya dari panggung politik formal, suara Natsir tetap menggema di forum-forum internasional. Ia menjadi juru bicara dunia Islam moderat yang memperjuangkan dialog antaragama, pembela Palestina, dan pejuang kebebasan intelektual di dunia ketiga.
Warisan yang Terlupakan?
Ironisnya, di negeri ini, nama M. Natsir nyaris tenggelam. Ia jarang disebut dalam buku sejarah sekolah. Padahal UNESCO pernah mengakui Natsir sebagai tokoh perdamaian dan pelopor dialog antarperadaban. Dalam konteks politik pasca-reformasi yang kerap diwarnai polarisasi identitas dan degradasi integritas, gagasan dan keteladanan Natsir sangat relevan untuk direstorasi.
Ia adalah cermin bahwa menjadi Muslim Indonesia tidak harus eksklusif, tidak harus reaktif, dan tidak harus berada dalam oposisi biner antara Islam dan negara. Natsir menawarkan jalan ketiga: Islam sebagai nilai etis dan energi sosial, bukan sekadar instrumen elektoral.
Penutup
M. Natsir adalah arsitek moral republik. Ia tidak menumpuk kekuasaan, tetapi membangun fondasi nilai. Ia tidak memaksakan syariat, tetapi mengajak berpikir dan berdiskusi. Ia tidak membenci lawan politik, tetapi mengulurkan jalan musyawarah.
Dalam era ketika politik identitas menjadi alat untuk memecah, dan ketika intelektual sering terjebak dalam feodalisme akademik, Natsir hadir sebagai teladan langka: intelektual Muslim organik yang berpikir untuk rakyat dan berjuang bersama rakyat. Sejarah boleh melupakan namanya, tetapi bangsa yang besar mesti mengenang dan mewarisi semangatnya.
Demikian.
_______
Daftar Referensi
1. Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
2. Boland, B. J. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff, 1971.
3. Deliar Noer. Partai Islam di Pentas Nasional (1945–1965). Jakarta: Grafiti, 1987.
4. Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. Translated and edited by Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith. New York: International Publishers, 1971.
5. Harahap, Taufik Adnan Amal. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
6. Karim, M. Rusli. Islam dalam Politik Indonesia: Dari Orde Lama hingga Orde Baru. Jakarta: Rajawali Press, 1992.
7. Luth, Thohir. M. Natsir: Dakwah dan Pemikiran dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Gema Insani, 1999.
8. Natsir, Mohammad. Agama dan Negara dalam Islam. Jakarta: Media Dakwah, 1950.
9. Pranowo, M. Budi. Islam dan Integrasi Nasional: Studi Tentang Mosi Integral Natsir. Yogyakarta: UII Press, 2003.
10. Rahardjo, Dawam. Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa. Bandung: Mizan, 1993.
11. Rais, Amien. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1987.
12. Shihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan, 1998.
13. Woodward, Mark R. Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta. Tucson: University of Arizona Press, 1989.