Kajian Prinsip Transparansi, Demokratis, dan Meritrokrasi : Membongkar Syarat dan Prasyarat Sebagai MWA dari SA USU

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH ( Kordinator Serikat Alumni USU)

Pendahuluan

Universitas Sumatera Utara (USU), sebagai salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia, memiliki peran strategis dalam membangun kualitas pendidikan tinggi di Tanah Air. Salah satu lembaga yang memiliki tanggung jawab dalam pengawasan dan pengelolaan kebijakan di tingkat universitas adalah Majelis Wali Amanat (MWA). MWA bertugas untuk memastikan agar kebijakan yang diterapkan di kampus sejalan dengan tujuan universitas dalam memajukan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian adalah mekanisme pemilihan anggota MWA yang dilakukan oleh Senat Akademik (SA) USU. Proses seleksi ini harus memperhatikan tiga prinsip dasar: transparansi, demokrasi, dan meritrokrasi.

Prinsip Transparansi: Mengungkap Proses yang Jelas dan Terbuka

Transparansi dalam proses pemilihan anggota MWA sangat penting untuk memastikan akuntabilitas dan menghindari adanya praktik manipulasi. Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengatur bahwa setiap keputusan yang dibuat oleh perguruan tinggi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, termasuk dalam hal pemilihan anggota MWA. Sayangnya, dalam kenyataannya, proses pemilihan ini tidak selalu dilakukan dengan terbuka. Sebagaimana dilaporkan oleh Kompas (2023), proses pemilihan sering kali tidak disertai dengan informasi yang cukup mengenai kriteria calon anggota MWA serta alasan di balik pemilihan mereka. Hal ini menciptakan keraguan tentang apakah seleksi dilakukan dengan dasar yang objektif atau sekadar formalitas semata.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2020, seleksi anggota MWA harus dilakukan dengan prosedur yang jelas dan dapat diakses oleh publik. Namun, berbagai laporan di media menunjukkan bahwa mekanisme ini sering kali tidak diikuti dengan keterbukaan yang memadai, dan keputusan final sering kali hanya diketahui oleh kelompok kecil tertentu saja. Hal ini menjadi kendala dalam menciptakan proses yang lebih transparan.

Prinsip Demokratis: Partisipasi Aktif Semua Elemen

Proses pemilihan anggota MWA harus mengedepankan prinsip demokrasi dengan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh elemen civitas akademika, termasuk dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Pasal 56 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi mengharuskan setiap perguruan tinggi untuk melibatkan anggota akademik dalam pengambilan keputusan. Namun, dalam praktiknya, pemilihan anggota MWA cenderung hanya melibatkan sebagian kecil elemen, khususnya anggota Senat Akademik (SA). Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah proses ini benar-benar mencerminkan keberagaman suara yang ada di universitas.

Beberapa studi menunjukkan bahwa meskipun mahasiswa dan tenaga kependidikan memiliki hak untuk terlibat dalam berbagai pengambilan keputusan, mereka jarang dilibatkan dalam pemilihan anggota MWA. Akibatnya, proses tersebut tidak dapat dianggap sepenuhnya demokratis, karena tidak semua pihak yang seharusnya terlibat diberi kesempatan yang setara. Demikian juga dengan laporan media massa yang menunjukkan kurangnya partisipasi mahasiswa dalam keputusan-keputusan yang berdampak langsung pada kehidupan akademik mereka.

Prinsip Meritrokrasi: Pemilihan Berdasarkan Kualifikasi dan Kemampuan

Selain transparansi dan demokrasi, prinsip meritrokrasi harus diterapkan dalam pemilihan anggota MWA. Seleksi harus didasarkan pada kemampuan, kualifikasi, dan kontribusi calon terhadap universitas. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 50 Tahun 2020, seleksi anggota MWA seharusnya berfokus pada rekam jejak akademik, pengalaman profesional, dan komitmen terhadap pengembangan universitas. Namun, realitas menunjukkan bahwa pemilihan anggota MWA sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor non-meritorius seperti afiliasi politik atau hubungan pribadi.

Sejumlah laporan media, termasuk dari Tempo (2022), mengungkapkan bahwa pemilihan anggota MWA di beberapa perguruan tinggi, termasuk USU, terkadang dipengaruhi oleh jaringan politik atau afiliasi tertentu. Praktik semacam ini tentu bertentangan dengan prinsip meritrokrasi, yang mengutamakan kompetensi dan kualifikasi sebagai dasar pemilihan. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kualifikasi luar biasa dalam bidang akademik atau manajerial seharusnya lebih diprioritaskan, daripada individu yang hanya memiliki hubungan politik atau status sosial tertentu.

Peluang Gugatan Publik Terhadap Pemilihan Majelis Wali Amanat USU

Mengingat pentingnya prinsip transparansi, demokrasi, dan meritrokrasi dalam pemilihan anggota MWA, banyak pihak yang menilai bahwa pelaksanaan pemilihan yang tidak memenuhi standar ini membuka peluang untuk gugatan publik. Salah satu mekanisme hukum yang bisa digunakan oleh publik atau elemen akademik yang merasa dirugikan adalah melalui judicial review atau gugatan administratif.

Gugatan publik terhadap proses pemilihan MWA bisa diajukan jika ada dugaan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, baik itu UU Pendidikan Tinggi, peraturan pemerintah, maupun peraturan internal USU sendiri. Misalnya, jika proses seleksi tidak memenuhi prinsip transparansi atau melibatkan pihak-pihak yang tidak memenuhi kualifikasi, maka pihak yang merasa dirugikan, seperti dosen atau mahasiswa, berhak untuk menggugat keputusan tersebut di pengadilan atau melalui jalur administratif. Sebagaimana diatur dalam Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, setiap keputusan yang dianggap merugikan kepentingan publik dapat diuji melalui mekanisme administratif.

Lebih lanjut, dalam konteks peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 50 Tahun 2020, terdapat dasar hukum yang cukup kuat bagi siapa saja yang merasa dirugikan oleh proses seleksi yang tidak adil untuk melakukan upaya hukum. Selain itu, penggunaan media massa sebagai sarana untuk menyuarakan ketidakpuasan juga menjadi strategi yang efektif untuk mendorong perubahan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Pemilihan anggota MWA di USU harus mengedepankan prinsip transparansi, demokrasi, dan meritrokrasi yang kuat. Untuk itu, beberapa langkah perlu diambil, antara lain: (1) memastikan prosedur seleksi yang lebih terbuka dan dapat diakses oleh seluruh civitas akademika, (2) memperluas partisipasi dalam pemilihan, baik dari kalangan mahasiswa maupun tenaga kependidikan, serta (3) mengedepankan kualifikasi dan rekam jejak profesional dalam seleksi anggota MWA.

Jika prinsip-prinsip tersebut tidak diterapkan dengan konsisten, maka peluang untuk gugatan publik terhadap pemilihan anggota MWA tetap terbuka lebar. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak yang terlibat dalam pemilihan untuk menjaga integritas proses ini demi tercapainya pengelolaan universitas yang lebih baik.

Demikian
__________
Penulis Mahasiswa FH USU Stambuk 1992, Pernah menjadi Badan Perwakilan Mahasiswa Fak. Hukum (BPM FH) USU Periode 1992-1993, Ketua Kelas Grup A, Medan 23 April 2024

_________
Referensi:

1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

2. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 50 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Universitas Negeri.

3. Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 39 Tahun 2020 tentang Organisasi Perguruan Tinggi Negeri.

4. Suryanto, S. (2022). Demokrasi dalam Proses Pemilihan Anggota MWA USU: Tantangan dan Peluang. Jurnal Manajemen Pendidikan, 18(1), 21-34.

5. Rahmad Sorialam Harahap, M. (2021). Meritrokrasi dalam Seleksi Majelis Wali Amanat: Tantangan di Universitas Sumatera Utara. Pustaka Akademika, 8(4), 102-117.

6. Kompas (2023). Transparansi dalam Pemilihan Anggota MWA USU: Menuntut Kejelasan Prosedur. Diakses dari: www.kompas.com.

7. Tempo (2022). Nepotisme dalam Seleksi Anggota MWA: Menjadi Ancaman Bagi Kemajuan Pendidikan. Diakses dari: www.tempo.co.

Berita Terkini