Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah
Mudanews.com-Opini | Dalam politik, penguasa sering kali menggunakan strategi pengalihan perhatian (distraction strategy) untuk mempertahankan kekuasaan. Salah satu caranya adalah dengan membanjiri publik dengan berbagai isu melalui media arus utama (mainstream media) dan media sosial, sehingga masyarakat kehilangan fokus terhadap isu-isu kritis yang seharusnya mendapat perhatian.
Fenomena ini dikenal sebagai information overload atau flooding the zone, di mana penguasa menciptakan kebisingan informasi (noise) untuk mengaburkan realitas.
Teori ini berkaitan dengan konsep Ornamen Kekuasaan (Ornament of Power), di mana simbol, retorika, atau isu-isu kecil sengaja digulirkan untuk menciptakan ilusi aktivitas politik, sambil mengalihkan perhatian dari masalah struktural yang lebih serius.
Teori Pengalihan Isu dalam Ilmu Politik
1. “Wag the Dog” Theory (1997)
Dicetuskan oleh Larry Beinhart dalam bukunya Wag the Dog: A Novel, yang kemudian diadaptasi menjadi film.
Menyatakan bahwa pemimpin dapat menciptakan krisis atau isu palsu untuk mengalihkan perhatian publik dari skandal atau masalah domestik.
Contoh: Presiden AS Bill Clinton disebut menggunakan serangan militer di Sudan dan Afghanistan (1998) untuk mengalihkan perhatian dari skandal Monica Lewinsky (Hirsch, 1998).
2. “Flooding the Zone” (Steve Bannon, 2016)
Strategi ini dipopulerkan oleh Steve Bannon, mantan penasihat Donald Trump.
Dengan membanjiri media dengan berbagai narasi (benar maupun hoaks), publik menjadi bingung dan sulit membedakan mana informasi yang kredibel.
Contoh: Pemerintahan Trump menggunakan media sosial untuk mengalihkan perhatian dari investigasi Russia Gate dengan memunculkan isu seperti imigrasi dan deep state (Benkler et al., 2018).
3. “Bread and Circuses” (Panem et Circenses, Romawi Kuno)
Kaisar Romawi memberikan hiburan (gladiator, pesta) dan bantuan makanan (bread) untuk mencegah pemberontakan.
Analog modern: Pemerintah menggelar konser, program bantuan simbolis, atau isu-isu sepele untuk menutupi korupsi atau kebijakan kontroversial.
Contoh Negara yang Menggunakan Strategi Ini
1. Rusia di bawah Vladimir Putin
Setiap kali ada protes atau skandal korupsi, Kremlin mengalihkan perhatian dengan isu nasionalisme, seperti konflik dengan Ukraina atau tuduhan campur tangan Barat (Pomerantsev, 2015).
Media Rusia membombardir publik dengan berita tentang “kebangkitan Rusia” atau ancaman NATO, sambil mengecilkan isu ekonomi dalam negeri.
2. Turki di Era Recep Tayyip Erdoğan
Ketika ekonomi Turki mengalami inflasi tinggi (2021–2023), Erdoğan mengalihkan perhatian dengan retorika anti-Kurdistan atau konflik dengan Yunani (Yackley, 2022).
Media pro-pemerintah terus mengangkat isu “pengkhianatan” oposisi, sementara krisis mata uang Lira tidak mendapat sorotan memadai.
3. Amerika Serikat (Perang Irak 2003)
Pemerintahan George W. Bush menggunakan narasi “senjata pemusnah massal” untuk membenarkan invasi Irak, sementara isu domestik seperti defisit anggaran dan kritik terhadap Patriot Act tenggelam (Kellner, 2004).
Mengapa Strategi Pengalihan Bisa Berhasil di Masyarakat Berpendidikan Tinggi?
1. Pendidikan ≠ Melek Politik atau Kritis Media
Contoh AS: Meski tingkat literasi dan pendidikan tinggi, banyak warga terjebak dalam echo chambers karena polarisasi media (Benkler et al., 2018).
Fenomena Smart But Ignorant: Orang bisa ahli di bidangnya (misal dokter, insinyur), tetapi tidak kritis terhadap propaganda politik karena kurangnya literasi media (Kahneman, 2011).
2. Kecepatan Informasi & Overload Kognitif
Attention Economy (Herbert Simon): Di era digital, perhatian manusia adalah sumber daya langka. Media dan algoritma sosial membanjiri orang dengan informasi, menyulitkan pemilahan mana yang penting (Wu, 2017).
Contoh: Saat skandal Trump-Rusia (2017–2019), tim Trump terus mengeluarkan pernyataan kontroversial untuk mengalihkan pembahasan (Fisher & Taub, 2019).
3. Bias Kognitif Manusia
Whataboutism: Masyarakat mudah teralihkan saat diberi pembanding, misalnya: “Tapi negara lain lebih korup!”
Affective Polarization: Orang lebih peduli pada identitas politik daripada fakta (Iyengar et al., 2019).
4. Sistem Media yang Terfragmentasi
AS: CNN vs Fox News menciptakan realitas berbeda untuk liberal vs konservatif.
Turki: Media pro-Erdoğan mendominasi narasi, oposisi diblokir.
Rusia: TV pemerintah menyajikan realitas berbeda dari media independen.
Hasil: Di negara berpendidikan tinggi pun, jika media terkontrol atau terpolarisasi, masyarakat tetap bisa dimanipulasi.
Catatan Perbandingan
AS unik: Pendidikan tinggi, tapi polarisasi dan media bias membuat pengalihan isu tetap efektif.
Negara Nordik (Swedia, Norwegia): Lebih resisten karena kepercayaan sosial tinggi dan pendidikan kritis media.
Contoh ekstrem:
Singapura: Pendidikan tinggi, tapi media dikontrol → pengalihan isu tetap efektif.
Finlandia: Pendidikan tinggi + literasi media kuat → lebih sulit dimanipulasi.
Kesimpulan
Strategi pengalihan isu melalui bombardir ornamen kekuasaan terbukti efektif dalam mempertahankan dominasi politik. Dengan membanjiri ruang publik dengan berbagai narasi, penguasa dapat mengontrol opini masyarakat dan mencegah fokus pada isu-isu kritis.
Fenomena ini semakin kuat di era digital, di mana media sosial mempercepat penyebaran informasi—baik yang relevan maupun sekadar noise.
Pendidikan tinggi tidak otomatis membuat masyarakat kebal terhadap pengalihan isu. Faktor penentunya adalah:
Struktur media (apakah independen atau dikontrol penguasa?),
Kesadaran kritis (media literacy),
Polarisasi politik (masyarakat yang terpecah mudah diadu domba).
Bagaimana dengan negara kita?
Tulisan ini setidaknya mengajak kita untuk merenungi kejadian-kejadian di sekitar kita dan memahami dampak dari apa yang kita pikirkan dan lakukan.
Referensi.
Beinhart, L. Wag the Dog: A Novel. New York: Nation Books, 1994.
Benkler, Y., Faris, R., & Roberts, H. Network Propaganda: Manipulation, Disinformation, and Radicalization in American Politics. Oxford: Oxford University Press, 2018.
Hirsch, M. “The Clinton Doctrine.” Foreign Affairs, 1998.
Pomerantsev, P. Nothing is True and Everything is Possible: The Surreal Heart of the New Russia. New York: PublicAffairs, 2015.
Yackley, A. J. “Erdoğan’s Media Strategy: Distraction Through Conflict.” Politico EU, 2022.
Kahneman, D. Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011.
Wu, T. The Attention Merchants: The Epic Scramble to Get Inside Our Heads. New York: Vintage Books, 2017.
Fisher, M., & Taub, A. “How Trump’s ‘Fake News’ Rhetoric Has Globalized.” The New York Times, 2019.
Iyengar, S., et al. “The Origins and Consequences of Affective Polarization in the United States.” Annual Review of Political Science, Vol. 22, 2019.