Ditulis oleh: Sultan Nasir (Pengurus Kagama Solo Raya)
Mudanews.com-Opini | Apakah tidak bosan membahas mantan Presiden RI ke-7, Joko Widodo, yang kini sudah tidak lagi menjabat? Bandingkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang setelah purna tugas sebagai presiden, kini menikmati masa pensiunnya dengan tenang.
Namun berbeda halnya dengan Jokowi. Meski telah lengser dari jabatan Presiden, ia tampaknya masih memiliki pengaruh besar di tengah pusaran politik nasional. Bahkan, sebagian publik menilai ia masih menyimpan ambisi dan memainkan peran politik aktif. Popularitas serta daya tariknya tak serta-merta surut, dan karena itulah, sosoknya masih terus menjadi bahan pembicaraan dari berbagai sisi.
Sejarah telah mencatat bahwa semua presiden Republik Indonesia selalu menjadi objek penulisan ulang biografi dan sisi kehidupan mereka yang lain. Soekarno, misalnya, ditulis sisi percintaannya oleh Cindy Adams. Soeharto digambarkan dari sisi abuse of power. Begitu pula dengan Gus Dur, Habibie, dan SBY, yang semua memiliki ruangnya masing-masing dalam literatur publik. Maka wajar saja jika hal serupa juga terjadi pada Joko Widodo.
Cerita tentang hidup Jokowi, baik yang menyenangkan publik maupun yang menuai kontroversi, pasti akan ditulis. Entah hari ini, esok, atau bertahun-tahun yang akan datang, akan selalu muncul buku-buku yang mengupas tentang siapa sebenarnya Joko Widodo. Mau disukai atau tidak, publik akan tetap mendapatkan pelajaran berharga dari berbagai narasi tersebut.
Salah satu yang kini mencuat adalah soal ijazah Jokowi. Maka dari itu, tidak perlu ada rasa takut berlebihan jika ada sekelompok masyarakat mempertanyakan keabsahan ijazah seorang mantan presiden. Apalagi jika kita melihat bagaimana gaya komunikasi politik Jokowi pasca jabatannya yang seolah mendorong publik untuk terus membicarakan dirinya.
Saat menjabat sebagai presiden, kebijakan-kebijakan Jokowi memiliki dampak luas terhadap banyak aspek kehidupan: demokrasi, ekonomi, sistem parlemen, hukum, pendidikan, hingga kebudayaan. Setelah beliau turun dari kursi presiden, berbagai dampak tersebut tentu akan terus dirasakan oleh masyarakat. Kepuasan publik atas kebijakan-kebijakan tersebut tentu bersifat relatif dan beragam.
Karena itu, ketika ada pihak yang masih membicarakan Jokowi, seharusnya masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang menghargai pluralitas pandangan, dapat menerima perbedaan dengan lapang dada.
Tim Independen, Mengapa Tidak?
Dari sinilah tulisan ini ingin mengajak publik untuk mencermati secara kritis, terutama mengenai peran kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) saat munculnya polemik ijazah Jokowi yang digugat oleh sekelompok masyarakat. Kejadian pada tanggal 15 April 2025 lalu sangat disayangkan. Terlalu banyak nilai-nilai yang dikorbankan oleh kampus: nilai moralitas, etika akademik, hingga nilai kebudayaan yang semestinya dijunjung tinggi sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Sayangnya, pihak kampus justru mengambil posisi yang terkesan politis, yang tentu saja tidak menyelesaikan masalah secara substansial. Bahkan bisa menimbulkan polemik berkepanjangan dan berujung pada kerugian internal kampus itu sendiri, kecuali memang ada pihak-pihak internal yang bermain dalam ranah politik demi investasi kekuasaan.
Untuk menghindari politisasi, menjaga marwah UGM, serta menghadirkan kepastian hukum terkait status ijazah tersebut, maka sudah selayaknya dibentuk tim investigasi independen. Fakta-fakta yang selama ini muncul di ruang publik sudah sangat jelas dan terbuka. Tim independen itu bisa beranggotakan tokoh-tokoh dari internal dan eksternal kampus yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai kejujuran, keadilan, transparansi, dan integritas akademik.
Kejadian pada Senin, 15 April lalu, juga menjadi catatan penting. Alih-alih membuka ruang dialog dan transparansi informasi, pihak kampus malah membatasi akses dan menghadirkan sekelompok pembela ijazah tanpa pemberitahuan resmi sebelumnya. Ini adalah kesalahan strategis yang seharusnya tidak terjadi di lingkungan akademik.
Jika dibiarkan berlarut-larut, kasus ini justru bisa berdampak negatif terhadap citra lembaga pendidikan dan bahkan berpotensi memasuki ranah hukum yang lebih kompleks. Maka, langkah arif dan solutif adalah membentuk tim independen secepatnya—demi menjaga integritas pendidikan tinggi dan kepercayaan publik.**(RED)