Manifesto Politik Gerindra, Asta Cita Pemerintahan Prabowo Subianto: Dalam Realitas Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi di Indonesi

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)

Pendahuluan

Mudanews.com, Medan – Dalam perjalanan demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, korupsi dan lemahnya penegakan hukum tetap menjadi batu sandungan utama bagi pembangunan nasional. Dalam konteks inilah, manifesto politik Partai Gerindra dan Asta Cita yang diusung oleh Prabowo Subianto menjadi dokumen politik yang tidak hanya menjanjikan perubahan, tetapi juga mengusung agenda moral untuk memperbaiki sistem hukum dan menumbuhkan pemerintahan yang bersih.

Akar Filosofis Manifesto dan Asta Cita

Secara ideologis, manifesto Partai Gerindra bersandar pada semangat nasionalisme kerakyatan—suatu perpaduan antara semangat perjuangan kemerdekaan, kemandirian ekonomi, dan supremasi hukum. Dalam Asta Cita, butir keempat dan kelima secara eksplisit menargetkan “menegakkan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya” serta “meningkatkan kualitas hidup rakyat melalui pelayanan publik yang bersih dan efisien.”

Dari perspektif teori hukum progresif yang diusung Satjipto Rahardjo, hukum harus menjadi alat pembebasan, bukan alat kekuasaan. Dengan demikian, janji politik ini mengandung semangat untuk mereformasi lembaga penegak hukum agar mampu bekerja adil dan tidak terkooptasi oleh kepentingan elit.

Penegakan Hukum: Dari Tekad ke Realitas

Namun, tantangan terbesar bukan pada dokumen politik, melainkan pada implementasi di lapangan. Data dari Indeks Rule of Law 2023 (World Justice Project) menunjukkan Indonesia berada pada peringkat 68 dari 142 negara, dengan skor rendah pada faktor “absence of corruption” dan “criminal justice.” Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dahulu menjadi garda depan pemberantasan korupsi, mengalami penurunan indeks kepercayaan publik menurut survei LSI Denny JA (2023), dari 84% (2019) menjadi hanya 53%.

Fenomena ini menunjukkan bahwa terdapat jurang antara narasi politik dan realitas birokrasi. Janji Prabowo dalam kerangka Asta Cita harus dibenturkan dengan kekuatan oligarki, budaya impunitas, serta sistem hukum yang masih permisif terhadap korupsi struktural.

Tantangan dan Harapan pada Era Prabowo

Kepemimpinan Prabowo, jika konsisten dengan doktrin Asta Cita, akan diuji oleh kemampuannya melakukan reformasi kelembagaan. Hal ini mencakup:

Reformasi institusi penegak hukum: Pembenahan internal Polri, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung untuk menjamin integritas dan akuntabilitas.

Penguatan independensi KPK: Revisi UU KPK No. 19/2019 menjadi keharusan, bukan pilihan, jika pemerintahan baru ingin membalik tren pelemahan institusional.

Pencegahan berbasis digital governance: Mendorong keterbukaan anggaran, transparansi pelayanan, dan digitalisasi sistem pengawasan keuangan.

Membaca Masa Depan

Apakah manifesto Gerindra dan Asta Cita hanya akan menjadi dokumen simbolik? Ataukah ia bisa menjadi kompas moral dalam lima tahun ke depan? Di sinilah signifikansi kontrol publik dan civil society menjadi penting. Demokrasi bukan hanya soal elektoral, tetapi juga soal akuntabilitas dan keadilan.

Sejarah akan mencatat apakah Prabowo Subianto hanya menjadi pelanjut status quo atau pemimpin yang benar-benar menegakkan “hukum yang bermartabat.” Sebab ukuran keberhasilan tidak lagi pada pidato, tetapi pada indikator: berapa banyak kasus korupsi besar yang dituntaskan, berapa hakim yang berintegritas, dan seberapa kuat hukum melindungi rakyat kecil.

Catatan:

Indeks Rule of Law Indonesia 2015–2023

Tren Kepercayaan Publik terhadap KPK (2010–2023)

Peta Lembaga Penegak Hukum dan Agenda Reformasi

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër

Berita Terkini