RUU Polisi Republik Indonesia : “Supremasi Sipil Yang Mengendalikan Polisi Sebagai Institusi Sipil”

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh: Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH (Pemerhati Kepolisian)

Mudanews.com OPINI | polisi adalah alat negara dalam menjaga ketertiban (social order) dan penegakan hukum (law enforcement), bukan kekuasaan itu sendiri. Dalam sistem demokrasi, institusi kepolisian berada di bawah kendali supremasi sipil, tunduk pada hukum, dan bekerja untuk rakyat. Namun, Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) yang kini sedang digodok justru memunculkan kekhawatiran bahwa prinsip dasar tersebut akan tergeser oleh sentralisasi kekuasaan yang berlebihan di tangan kepolisian.

Di negara demokratis, kekuatan bersenjata (termasuk polisi) harus selalu tunduk pada kendali sipil agar tidak menjadi alat represi atau kekuasaan yang otoriter. Jika polisi berdiri di luar kendali sipil, maka ia bisa menjadi “negara dalam negara” yang membahayakan prinsip hukum, keadilan, kebebasan rakyat dan penegakan Hak Asasi Manusia .

Teori Polisi dalam Kendali Sipil

Salah satu fondasi penting dalam sistem demokrasi adalah prinsip kendali sipil atas kekuatan koersif negara, termasuk institusi kepolisian. Dalam teori tata kelola demokratis, kekuasaan yang bersenjata dan berwenang menggunakan kekerasan harus selalu tunduk pada otoritas sipil yang dipilih secara sah, transparan, dan akuntabel.

Pakar seperti David H. Bayley dalam bukunya Democratic Policing
(diterbitkan oleh United Nations, 2006)
menegaskan bahwa legitimasi polisi hanya bisa ditegakkan jika kepolisian:

Bertanggung jawab kepada institusi sipil,

Beroperasi berdasarkan hukum yang disahkan oleh perwakilan rakyat,

Dan diawasi oleh lembaga-lembaga sipil serta masyarakat luas.

Kendali sipil bukan berarti intervensi politik dalam operasional kepolisian, tetapi justru menjadi pagar hukum dan etika agar polisi tidak berubah menjadi alat kekuasaan. Dalam praktiknya, kendali sipil dilakukan melalui pengawasan legislatif, audit anggaran, partisipasi publik, dan mekanisme peradilan independen.

RUU Polri yang sedang dibahas saat ini justru berisiko menjauh dari prinsip kendali sipil. Dengan memperbesar kekuasaan Polri tanpa memperkuat kontrol dari otoritas sipil dan publik, maka bahaya penyalahgunaan wewenang menjadi nyata. Demokrasi hanya dapat bertahan jika kekuatan koersif tunduk, bukan melampaui, kendali sipil.

Dari Penegak Hukum Ke Penguasa Lintas Sektor

RUU Polri memuat berbagai pasal yang memperluas kewenangan Polri di luar tugas konstitusionalnya. Di antaranya adalah pemberian wewenang dalam ruang digital, penyadapan, pengawasan konten, hingga peran intelijen. Kewenangan ini tumpang tindih dengan lembaga lain seperti Kominfo, BSSN, dan BIN, serta membuka ruang pelanggaran hak sipil dan politik warga negara.

Jika tidak ada kontrol yang ketat, Polri tidak lagi sekadar menjadi penegak hukum, tetapi aktor politik dan keamanan yang bisa menjangkau semua lini kehidupan masyarakat.

Ancaman Politisasi Dan Regenerasi Yang Terhambat

Ketentuan baru dalam RUU juga menyentuh usia pensiun Kapolri—diperpanjang dari 58 ke 60 tahun, dengan ruang tambahan bagi Presiden untuk memperpanjangnya lebih jauh. Ini tidak hanya berpotensi mengganggu regenerasi internal, tetapi juga membuka peluang politisasi jabatan strategis. Ketika jabatan bisa diperpanjang atas “pertimbangan Presiden”, maka independensi institusi terancam oleh kepentingan politik jangka pendek.

Membuka Jalan Militerisasi Sipil

Dalam sejumlah pasal, RUU memberi celah bagi Polri untuk berperan dalam urusan pertahanan dan keamanan nasional. Ini mengaburkan garis pemisah antara tugas TNI (sebagai alat pertahanan negara) dan Polri (sebagai penegak hukum sipil). Ketika dua institusi ini memiliki peran yang tumpang tindih, yang terjadi bukan kolaborasi fungsional, melainkan kompetisi kuasa dan potensi represi yang membesar.

Selanjutnya militerisasi sipil dalam RUU Polri bukan hanya soal kewenangan—tapi soal arah kebijakan negara. Ketika Polri mengambil alih peran-peran strategis di luar penegakan hukum, dan dilakukan tanpa batas serta kontrol demokratis, maka yang terjadi bukan keamanan, tetapi dominasi kekuasaan yang sulit diawasi.

Dalam sistem demokrasi, polisi harus tetap sipil, tunduk pada supremasi hukum dan kendali publik. Jika tidak, maka perbedaan antara aparat hukum dan alat kekuasaan akan lenyap.
Supremasi Sipil adalah Kunci

Sejarah panjang demokrasi Indonesia mengajarkan pentingnya supremasi sipil: institusi sipil, termasuk Polri, harus tunduk pada hukum dan kontrol publik. Tidak ada ruang bagi aparat bersenjata untuk berjalan sendiri tanpa akuntabilitas. Dalam konteks ini, RUU Polri seharusnya justru memperkuat pengawasan eksternal, transparansi, dan akuntabilitas institusional—bukan memperluas kekuasaan tanpa kontrol.

*Demokrasi Tak Butuh Polisi Yang Perkasa, Tapi Polisi Yang Dipercaya*

RUU ini bukan sekadar revisi hukum, tapi penentu arah demokrasi kita. Apakah kita ingin negara dengan polisi yang kuat tapi tanpa kontrol? Atau negara hukum dengan polisi profesional yang tunduk pada otoritas sipil?

Jawabannya seharusnya jelas: supremasi sipil harus menjadi prinsip utama dalam setiap desain institusi negara. Dan Polri—sebagai aparat negara sipil—harus tetap dalam kendali publik, bukan menjadi kekuasaan di atas rakyatnya.

*Keterlibatan Polisi Dalam Politik Praktis: Ancaman Nyata Netralitas*

Di luar teks RUU, namun realitas di lapangan menunjukkan adanya indikasi kuat keterlibatan aparat kepolisian dalam politik praktis—terutama dalam momentum Pemilu dan Pilkada. Ini menjadi ancaman serius terhadap prinsip netralitas Polri sebagai institusi sipil.

Bentuk keterlibatan itu bisa bersifat terselubung maupun langsung. Misalnya, dukungan diam-diam terhadap calon tertentu, penggunaan intelijen untuk memetakan kekuatan oposisi, hingga politisasi penegakan hukum untuk menguntungkan kekuatan politik tertentu.

Yang lebih mengkhawatirkan, RUU Polri tidak memberikan penguatan jaminan netralitas atau pengawasan terhadap potensi pelibatan aparat dalam arena politik. Bahkan, dengan diperluasnya kewenangan penyadapan, pengawasan digital, dan peran intelijen, ruang intervensi terhadap proses politik justru semakin terbuka.

Tanpa pengawasan ketat dan sanksi tegas, keterlibatan Polri dalam politik praktis tidak hanya mencederai proses demokrasi, tetapi juga merusak legitimasi institusi itu sendiri di mata rakyat.

Polri Sebagai Institusi Sipil Penegak HAM

Di tengah wacana perluasan kewenangan dan potensi militerisasi, penting untuk mengingat kembali bahwa Polri secara prinsip adalah institusi sipil yang mengemban mandat untuk menegakkan hukum dan melindungi hak asasi manusia (HAM). Fungsi ini tidak hanya tertuang dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga merupakan konsekuensi logis dari posisi Polri sebagai aparat negara yang bekerja di bawah kendali sipil.

Sebagai aparat penegak hukum, polisi bukan alat kekuasaan represif, melainkan penjaga keadilan dan pelindung masyarakat. Tugasnya adalah memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan perlindungan hukum, kebebasan berekspresi, rasa aman, serta hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan diskriminasi.

Namun, perluasan peran Polri dalam RUU Polri justru berpotensi mengaburkan karakter sipil dan fungsi perlindungan HAM tersebut. Ketika Polri diberi kewenangan intelijen, penyadapan, dan pengawasan digital tanpa kontrol yang memadai, maka prinsip-prinsip HAM bisa dikorbankan atas nama “keamanan nasional”.

Oleh karena itu, menjaga Polri sebagai institusi sipil penegak HAM adalah syarat mutlak bagi keberlanjutan demokrasi. RUU Polri seharusnya memperkuat fungsi ini, bukan malah menciptakan potensi penyimpangan yang merugikan rakyat.

Penutup

RUU Polsi bukan sekadar dokumen hukum; ia adalah cerminan arah bangsa dalam menata relasi antara kekuasaan, hukum, dan rakyat. Ketika kewenangan Polsi diperluas tanpa batas yang jelas, tanpa kontrol sipil yang kuat, dan tanpa partisipasi publik yang bermakna, maka demokrasi berada di ujung tanduk.

Sudah saatnya kita kembali pada prinsip dasar: polisi adalah pelayan masyarakat, bukan penguasa atas masyarakat. Supremasi sipil bukan hambatan bagi keamanan, melainkan fondasi bagi keadilan dan kepercayaan publik. Karena dalam negara hukum yang demokratis, kekuasaan tanpa pengawasan bukanlah kekuatan—melainkan ancaman.

Demikian.

Berita Terkini