Pemulis : Putu ayu suniadewi
Ketua bidang sumber daya manusia media televisi perhimpunan pelajar Indonesia seluruh dunia (PPI DUNIA) 2025-2026
Mudanews.com OPINI | Sembari menunggu pawai ogoh-ogoh, sehari menjelang nyepi di Titik nol ubud yang dipenuhi turis asing itu, nampak beberapa anak muda bali berpakaian adat lengkap dengan udengnya itu, sedang asyik memutar spin secara virtual, satu dari mereka kemudian berceloteh kepada yang lain “ ah sial, tiang (saya) kurang hoki, gimana khee (loo) “, kepada seorang kawannya yang tengah menunggu hasil yang ternyata berakhir jackpot itu, si temannya kemudian berkata kepada yang kurang hoki tadi “ ah, tenang aja boleh coba lagi , siapa tahu rezeki”, ujarnya sembari tertawa dihadapan temannya yang mengaruk-garuk kepala karena gagal jackpot. Pada ketika itu , saya yang berdekatan dengan mereka hanya dapat mengelus dada, menyaksikan fenomena semakin masifnya praktik judi online di segala tingkatan umur.
Sama seperti persoalan narkoba, prospitusi, senjata, sampailah pada korupsi yang dipandang sebagai bagian dari “Shadow Economy” yang memberikan kerugian massif sekaligus keuntungan bagi segelintir orang itu begitupun pinjol dan judol yang belakangan ini semakin melekat pada kehidupan berbangsa kita.
Ironisnya, kedua bisnis yang menyebabkan penyakit sosial dan psikologis bagi masyarakat ini belum sepenuhnya diatasi oleh pemerintah bahkan disinyalir judi online yang menurut banyak kajian investigasi kendalikan dari kamboja itu malah didalangi oleh elite-elite lokal sendiri.
Kalau sudah begini rasa-rasanya semakin hambarlah julukan sebagai negara paling religi, jika dihadapkan pada realitas sosial dimana masyarakat semakin akrab dengan judi dan pinjaman online yang justru jauh dari yang sifat-sifat religi.
Tapi Kalau kita cermati eksistensi pinjol dan judol dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih mementingkan religiusitas itu tidak terlepas dari dampak dinamika sosial-budaya yang hari ini dan nanti berada dalam tarik-ulur antara identitas keagamaan yang mengakar dan gelombang budaya global yang justru mendorong dehumanisasi.
Masyarakat Indonesia, yang secara historis dibangun atas nilai-nilai kolektivisme (gotong royong), kesederhanaan (sederhana), dan spiritualitas (religiusitas), kini sedang terjebak dalam kontradiksi akibat infiltrasi budaya hedonistik dan matrealistik yang dipacu oleh teknologi dan kapitalisme global.
Oleh karena itu , memahami Pinjol dan judol bukan sekadar masalah praktik ekonomi yang illegal semata melainkan juga cermin dari pergeseran orientasi hidup masyarakat dari yang merasa berkecukupan menjadi ingin berkelimpahan, dari yang mempunya rasa untuk bersyukur menjadi semakin konsumtif. Tapi jika semata-mata hanya menyalahkan masyarakat dengan segala problematika sehari-hari yang sudah mereka alami apalagi menuding segala yang terjadi itu akibat ulah asing bagi saya merupakan tindakan dan pikiran yang dangkal yang justru memperpanjang mentalitas mencari-cari kambing hitam tanpa menyelesaikan masalah yang sebenarnya.
Saya bersepakat dengan pendapat dari Sukidi, pemikir kebhinekaan dan tokoh Muhammadiyah itu dalam artikelnya yang termut di kompas berjudul “ Mewaspadai berbagai kemungkinan “ tentang hal-hal buruk yang merusak bangsa Indonesia sebenarnya berasal dari bangsa Indonesia itu sendiri artinya kita harus mengoreksi internal kita dahulu yang sudah sistemik rusaknya ini.
Di artikelnya yang lain berjudul “Menyelamatkan Republik Kita”, Sukidi kembali mengingatkan sekaligus memberikan kita dasar untuk mengatasi permasalahan ini dengan cara menyerang akar dari kejahatan (the root of evil) itu sendiri, bukan semata-mata hanya menebas cabang-cabang kejahatan (the branches of evil).
Pinjol dan judol sebagai kekuatan bhuta kala zaman baru
Jika di hubungkan dengan teologi Hindu khususnya nusantara , kepercayaan yang saya yakini. eksistensi judol dan pinjol merupakan manifestasi bhuta kala baru era baru, adapun Bhuta Kala dipercaya sebagai