oleh ; Drs. Muhammad Bardansyah Ch.Cht
Mudanews.com-Opini | Masih terngiang di benak kita ketika ribuan karyawan PT Yihong Novatex Indonesia melakukan demo secara besar-besaran. Demonstrasi yang diikuti oleh ribuan karyawan itu berlangsung panas, dipicu oleh beberapa orang provokator. Bahkan, dalam demonstrasi panas tersebut terlihat spanduk yang bertuliskan Tutup PT Yihong. Akhirnya, pada tanggal 10 Maret 2025, PT Yihong Novatex Indonesia resmi mengumumkan penutupan perusahaan tersebut di Indonesia.
PHK massal dan persyaratan yang melekat pada tawaran pesangon memicu protes keras dari para pekerja yang diberhentikan, yang merasa PHK ini sepihak dan tak adil. Mereka mengadakan demonstrasi, termasuk di kantor Bupati Cirebon, menuntut keadilan dan mempertanyakan legalitas pemutusan hubungan kerja ini pada 11 Maret 2025.
Salah satu mantan pekerja, Sumriah, mengungkapkan bahwa tujuan utama aksi mogok kerja sebenarnya bukan untuk menutup pabrik, melainkan menuntut pengangkatan status menjadi karyawan tetap. Keterangan Sumriah ini tentu mengherankan karena sebelumnya diketahui bahwa demonstrasi karyawan dipicu oleh pemecatan tiga karyawan karena indisipliner.
Kondisi ini menggambarkan bahwa tidak semua karyawan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, alias hanya ikut-ikutan. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi kita; banyak orang menjadi korban hanya karena ikut-ikutan. Apa yang terjadi dengan bangsa ini?
Pada tulisan ini saya ingin memahami apa yang terjadi dengan melihatnya dalam perspektif pendidikan, baik pendidikan secara umum maupun pendidikan karakter warga negeri ini.
Distribusi Pendidikan Penduduk Indonesia (2023–2024)
(Dari data BPS – Badan Pusat Statistik, untuk jenjang SMP, SMA, S1, dan S2, dari total populasi ±270 juta jiwa)
SMP/Sederajat (Sekolah Menengah Pertama): 21,5%
Sekitar 58 juta penduduk.
Termasuk lulusan MTs dan sederajat.
SMA/Sederajat (Sekolah Menengah Atas): 17,3%
Sekitar 46,7 juta penduduk.
Termasuk lulusan SMK, MA, dan sederajat.
Diploma/S1 (Perguruan Tinggi): 8,9%
Sekitar 24 juta penduduk.
Termasuk lulusan D1–D4 dan Sarjana (S1).
S2/S3 (Magister/Doktor): 1,2%
Sekitar 3,2 juta penduduk.
Catatan:
Data diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS dan Sensus Penduduk.
Persentase dihitung dari penduduk berusia di atas 15 tahun yang telah menyelesaikan pendidikan.
Mayoritas penduduk Indonesia masih berpendidikan SD ke bawah (±39%).
Angka buta huruf sekitar 1,7% (usia 15–59 tahun).
Kita terkejut melihat kenyataan ini. Mungkin orang akan berkata: “Anak-anak Indonesia pintar-pintar kok, buktinya anak-anak SMA kita selalu merajai olimpiade sains tingkat dunia!!” Benar! Akan tetapi secara rasio, orang-orang berpendidikan di Indonesia sangat kecil dibanding jumlah keseluruhan penduduk Indonesia, dan juga dibandingkan dengan besarnya potensi sumber daya alam negeri ini.
Jika kita melihat data pendidikan di atas, tentu sangat terkait dengan kejadian demonstrasi yang berujung PHK massal di PT Yihong Novatex Indonesia. Kurangnya nalar akibat rendahnya pendidikan membuat orang-orang sangat mudah terprovokasi untuk ikut-ikutan pada sesuatu yang belum jelas duduk perkaranya.
Memang harus diakui, meningkatkan jumlah orang-orang terdidik di Indonesia adalah PR besar, mengingat luasnya negeri ini ditambah begitu banyaknya jumlah penduduk yang ada. Namun, pemerintah perlu memikirkan strategi untuk meningkatkan jumlah orang-orang terdidik di negeri ini. Di samping pendidikan reguler, harus juga dipikirkan pendidikan karakter dengan kampanye yang masif untuk membentuk karakter bangsa.
Pendidikan Karakter vs. Pendidikan Formal: Dua Pilar Kemajuan Bangsa
Pendidikan formal (SMP, SMA, S1, dll.) memang penting untuk membangun hard skills dan kompetensi teknis. Namun, pendidikan karakter adalah fondasi yang menjadikan kompetensi tersebut bermakna bagi kemajuan bangsa. Berikut analisis mendalam tentang perannya:
Mengapa Pendidikan Karakter Penting?
1. Membangun SDM yang Berintegritas
Pendidikan formal tanpa karakter melahirkan orang pintar tetapi korup (contoh: kasus korupsi oleh elite berpendidikan tinggi).
Karakter seperti jujur, disiplin, dan tanggung jawab mengurangi praktik kecurangan (misal: plagiarisme, manipulasi proyek, manipulasi suara pemilu, dan lain-lain).
2. Mencegah Degradasi Moral
Survei BPS (2023): 23% remaja Indonesia terlibat tawuran, narkoba, atau perundungan — indikator lemahnya karakter.
Pendidikan karakter seperti empati, toleransi, dan respek mengatasi radikalisme, hoaks, dan intoleransi.
3. Menciptakan Pemimpin yang Melayani
Kemajuan bangsa ditentukan oleh pemimpin dengan etos kerja, visi kebangsaan, dan keberpihakan pada rakyat.
Contoh: Negara dengan indeks korupsi rendah (Singapura, Finlandia) menanamkan karakter sejak sekolah dasar.
Pendidikan Karakter vs. Formal: Sinergi untuk Kemajuan
Contoh konkret:
Jepang: Budaya honesty (kejujuran) membuat masyarakat mengembalikan dompet hilang (±90% dikembalikan, data Tokyo Police).
Indonesia: Program PPKN dan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di sekolah belum optimal karena lebih banyak teori daripada praktik.
Cara Memperkuat Pendidikan Karakter
Kurikulum Berbasis Praktik
Project-based learning: Siswa terlibat dalam kegiatan sosial (contoh: membantu komunitas marginal).
Role model: Guru dan orang tua harus konsisten memberi contoh (‘keteladanan lebih efektif dari ceramah’).
Kolaborasi Triple Helix
Sekolah: Integrasikan karakter dalam semua mata pelajaran (tidak hanya agama/PPKN).
Keluarga: Orang tua membatasi gadget dan mengajarkan tanggung jawab lewat tugas rumah.
Masyarakat: Kampanye publik (anti-korupsi, gerakan literasi, menumbuhkan rasa malu jika berbuat salah).
Kebijakan Pemerintah
Revolusi mental harus konkret, misal:
Wajibkan mahasiswa S1 mengabdi ke desa (seperti KKN tematik).
Beri insentif bagi perusahaan yang merekrut berdasarkan soft skills dan karakter.
Dampak Jangka Panjang bagi Indonesia
Ekonomi: Negara dengan indeks kepercayaan tinggi lebih menarik investor (contoh: Denmark, Swiss).
Sosial: Masyarakat berkarakter kuat lebih resilien menghadapi krisis (seperti pandemi).
Politik: Pemimpin berkarakter memprioritaskan kebijakan berkelanjutan, bukan proyek instan.
Kesimpulan
Pendidikan formal adalah “mesin kemajuan”, tetapi pendidikan karakter adalah ‘rohnya’. Indonesia butuh keseimbangan keduanya untuk menjadi bangsa yang unggul, beradab, dan kompetitif di era global.
Kasus ditutup dan di-PHK-nya ribuan karyawan PT Yihong Novatex Indonesia, tawuran antar kelompok, banyaknya orang yang terjebak judi online serta maraknya kasus narkoba mungkin menjadi pelajaran bagi kita, dan peringatan untuk pemerintah tentunya agar lebih konsen memikirkan strategi mencerdaskan kehidupan bangsa ini secara lebih serius, agar bangsa besar dengan penduduk yang besar ini bisa mengelola sumber daya alam melimpah untuk kemaslahatan bangsa.*”(Red)
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). ‘Statistik Pendidikan Indonesia 2023’. Jakarta: BPS. Sumber: [https://www.bps.go.id](https://www.bps.go.id) .
Pikiran Rakyat 2025 https://www.pikiran-rakyat.com/news/pr-019218212/kronologi-kasus-pt-yihong-dari-3-pekerja-yang-diberhentikan-hingga-phk-massal-dan-penutupan-pabrik?page=all
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2022). ‘Laporan Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di Satuan Pendidikan’. Jakarta: Kemendikbud.
Transparency International. (2023). ‘Corruption Perceptions Index 2023’. Sumber: [https://www.transparency.org](https://www.transparency.org)
Tokyo Metropolitan Police. (2022). ‘Annual Report on Lost and Found Items’. Jepang.
King, M. L. (1947). ‘The Purpose of Education’. Morehouse College Student Paper. Kutipan asli: “Intelligence plus character—that is the goal of true education.”
OECD. (2019). ‘Social and Emotional Skills for Student Success’. PISA Report. Menekankan peran ‘soft skills’ dalam pembangunan bangsa.
Nucci, L., & Narvaez, D. (Eds.). (2008). ‘Handbook of Moral and Character Education’. Routledge. Literatur tentang praktik pendidikan karakter global.
Indonesia Ministry of National Development Planning (Bappenas). (2021). ‘Visi Indonesia 2045: Membangun SDM Unggul’. Jakarta.
Lickona, T. (1991). ‘Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility’. Bantam Books. Klasik tentang integrasi karakter dalam kurikulum.
World Bank. (2020). ‘The Human Capital Index (HCI) and the Role of Character Education’. Sumber: [https://www.worldbank.org](https://www.worldbank.org)