Oleh: Drs. Muhammad Bardansyah Ch., Cht.
mudanews.com-Opini | Adolf Hitler dan Donald Trump adalah dua sosok politik yang kerap dibandingkan dalam diskursus akademik maupun opini publik, terutama karena kemiripan dalam retorika nasionalis ekstrem, kebijakan kontroversial, dan gaya kepemimpinan yang cenderung memecah belah. Meskipun mereka muncul dalam konteks sejarah dan sosial yang sangat berbeda, sejumlah pengamat dan ilmuwan politik menilai adanya pola yang serupa dalam pendekatan politik keduanya, khususnya dalam hal ultranasionalisme, xenofobia, dan kecenderungan otoriter.
Tulisan ini mencoba menelaah titik-titik kesamaan tersebut dengan merujuk pada kebijakan, retorika, dan literatur akademis yang relevan.
1. Nasionalisme Ekstrem dan Populisme
Baik Hitler maupun Trump meraih dukungan politik melalui penggalangan sentimen nasionalisme yang intens.
Hitler memanfaatkan penderitaan rakyat Jerman pasca-Perang Dunia I dan Perjanjian Versailles untuk membangkitkan nasionalisme berbasis ras. Ideologi völkisch yang diusungnya menekankan superioritas ras Arya dan kebencian terhadap Yahudi, komunis, serta kelompok minoritas lainnya (Kershaw, 2008).
Trump, di sisi lain, mengusung slogan “America First” sebagai cerminan proteksionisme ekonomi dan penolakan terhadap imigran, khususnya dari negara-negara Muslim dan Amerika Latin (Mudde, 2016).
Menurut Roger Griffin (1991), meskipun tidak identik dengan fasisme klasik, gaya populisme sayap kanan ala Trump mengandung unsur-unsur retoris yang mirip dengan narasi fasisme.
2. Kebijakan Imigrasi yang Bersifat Xenofobia
Persamaan selanjutnya tampak dalam kebijakan imigrasi yang dibangun atas dasar eksklusivitas etnis dan klaim keamanan nasional.
Hitler memberlakukan kebijakan Blut und Boden (Darah dan Tanah) yang menolak hak kewarganegaraan bagi non-Jerman, dan kemudian memuncak dalam Holocaust (Evans, 2005).
Trump memperkenalkan kebijakan kontroversial seperti Muslim Ban, pembangunan tembok perbatasan Meksiko, serta pemisahan keluarga imigran (Sierra & Soboroff, 2020).
Jason Stanley (2018), dalam How Fascism Works, mencatat bahwa Trump sering menggunakan taktik khas fasisme: menciptakan musuh bersama — dalam hal ini imigran dan media — untuk memobilisasi dukungan rakyat.
3. Serangan terhadap Media dan Kebebasan Pers
Keduanya juga memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap media independen.
Hitler melalui Reich Ministry of Propaganda mengontrol penuh media dan menyebut pers yang kritis sebagai Lügenpresse (pers pembohong) (Kershaw, 2008).
Trump secara konsisten melabeli media arus utama seperti CNN dan The New York Times sebagai fake news. Menurut Levitsky dan Ziblatt (2018) dalam How Democracies Die, serangan semacam ini merupakan indikasi tergerusnya fondasi demokrasi.
4. Kecenderungan Otoriter dan Penolakan terhadap Hasil Pemilu
Hitler dan Trump sama-sama menunjukkan kecenderungan tidak menghormati proses demokrasi ketika hasilnya tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Hitler memanfaatkan Reichstag Fire Decree untuk mencabut hak-hak sipil dan membubarkan sistem demokrasi di Jerman (Evans, 2005).
Trump menolak hasil Pemilu 2020 dan menyulut peristiwa penyerbuan Capitol pada 6 Januari 2021, sembari terus menggaungkan narasi “pemilu curang” (Rutenberg et al., 2021).
Robert O. Paxton (2004) dalam The Anatomy of Fascism menekankan bahwa penolakan terhadap hasil pemilu dan upaya mempertahankan kekuasaan di luar jalur konstitusional adalah ciri khas rezim otoriter.
Kesimpulan
Walau terdapat perbedaan signifikan — terutama dalam skala kekerasan dan konteks institusional — antara Hitler dan Trump, terdapat kesamaan mencolok yang patut dicermati, yakni:
Retorika ultranasionalis dan eksklusivisme etnis
Kebijakan imigrasi yang xenofobia
Serangan sistematis terhadap media dan kebebasan pers
Kecenderungan otoriter yang melemahkan demokrasi
Hitler tumbuh di atas reruntuhan Republik Weimar, sementara Trump berada dalam sistem demokrasi yang lebih mapan. Namun sebagaimana diingatkan oleh Snyder (2017) dalam On Tyranny, demokrasi bukanlah sistem yang kebal. Retorika yang menormalisasi kebencian dan ketakutan bisa menjadi pintu masuk menuju otoritarianisme jika dibiarkan tanpa perlawanan kritis.**(RED)
Daftar Referensi:
Evans, R. J. (2005). The Third Reich in Power. Penguin.
Griffin, R. (2011). Fascism: An Introduction to Comparative Fascist Studies. Polity Press.
Kershaw, I. (2008). Hitler: A Biography. W.W. Norton & Company.
Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How Democracies Die. Crown.
Mudde, C. (2016). The Populist Radical Right: A Pathological Normalcy. Routledge.
Paxton, R. O. (2004). The Anatomy of Fascism. Knopf.
Snyder, T. (2017). On Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth Century. Tim Duggan Books.
Stanley, J. (2018). How Fascism Works: The Politics of Us and Them. Random House.
Sierra, J., & Soboroff, J. (2020). NBC Reports on Immigration Policies.