Ditulis Oleh : Heru Subagia Pengamat Politik dan Ekonomi
Mudanews.com OPINI | Keseharian hidup di pinggir jalan nasional yang membelah Kota Cirebon Jawa Barat. Jadi akhirnya bisa jadi reporter jalanan dan atau menjadi sumber inspirasi menulis. Banyak aspek dan juga perspektif beserta analisanya yang menggambarkan ekosistem di jalan raya.
Nama jalan tersebut adalah Jl. Brigjen Darsono ( By Pas) . Dulu, sebelum ada jalan Tol Palimasan- Kanci, arus lalu lintas kendaraan antar pulau melalui jalur dalam kota yakni melalui jalur by pas.
Menempati sepetak kantor di by pas hampir 15 tahun. Jadi sangat hafal ritme kendaraan lewat hingga, jenis angkutan umum yang lewat, tahu juga daerah yang sering terjadi kecelakaan beserta penyebabnya.
Jalan tol tidak membikin jalur ini mati, tetapi masih ada paruh waktu sisa keramaian kendaraan. Jalan nasional ini masih menyisakan kepadatan arus kendaraan di hari biasa oleh kendaraan truck berukuran besar. Pernah menanyakan sopir truk, mengapa masih menggunakan jalan nasional padahal sudah ada jalan tol yang terintegrasi sampai ke Jakarta atau Bandung?
Jawabannya cukup realistis, yakni irit biaya dan biaya tersebut bisa digunakan untuk makan atau membeli rokok.
Pemandangan yang tidak biasa di Jl By Pas ini ketika musim mudik lebaran. Nyaris jalur ini dilimpahi oleh warga yang mudik menggunakan roda dua. Dalam kondisi mudik normal, nyaris arus mudik motor memadati 24 jam non stop. Trafik tinggi 24 jam tersebut terjadi H-7 lebaran. Jalan by pas full banget dipadati kendaraan yang rata-rata berpelat B ( Jakarta dan sekitarnya).
Apa yang terjadi sekarang?
Sinyal keramaian motor itu nyaris berkurang hingga 60-70 persen. Hitungan kepadatan motor bisa terlihat jelas kasat mata. Tanda -tanda hilangnya pemudik ini sudah terendus 10 hari menjelang lebaran.
Biasanya arus mudik yang melalui jalan by pas sudah padat merayap . Kebetulan saya berkantor di depan jalan putaran arah sehingga bisa melihat hilir mudik motor lewat. Bisa juga jalan putaran arah ini ditutup karena menghindari kemacetan akibat lalu lalang motor antara yang lurus dan yang belok.
Namun hingga hari H-7 volume kendaraan perkiraan hanya naik sekitar 20-30 persen. Jelas banget, nampak tidak terlihat keramaian arus mudik.
Pertanyaan Mendalam
Apakah kiranya pemerintah sadar jika telah terjadi anomali arus mudik tahun ini?
Begitu juga, para elite politik dan juga para pembantu presiden paham bahayanya penurunan arus mudik dan pengaruhnya bagi perekonomian nasional?
Terakhir, apakah negara juga paham bahwa pihak negara telah mereduksi budaya mudik lebaran?
Efisien Anggaran Ekonomi Turun
Dampak efisiensi anggaran bagi perekonomian nasional akhirnya mengalami puncaknya. Kali ini masyarakat awam harus memikul tekanan ekonomi dan psikologis. Arus mudik lebaran turun drastis dampaknya bagi ekosistem ekonomi sangat tragis. Program anggaran yang sedang berjalan, dalam hitungan hari langsung menimbulkan dampak sistemik.
Yang sangat mengharukan kali ini adalah masyarakat Indonesia banyak yang tidak bisa merayakan Lebaran 2025 bersama keluarga di kampung halamannya. Ini adalah sejarah paling buruk semenjak Covid di mana mobilisasi arus mudik lebaran turun drastis.
Efisiensi anggaran secara nyata-nyata menurunkan daya beli masyarakat. Dampak ekonomi sangat jelas, masyarakat sudah banyak terkena penurunan pendapatan, pengurangan jam kerja dan juga perusahaan harus gulung tikar karena produk yang dihasilkan tidak terserap pasar.
Sungguh ironi besaran anggaran terdampak efisiensi semakin menggelembung. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan rincikan kebijakan efisiensi anggaran yang disebut Presiden Prabowo Subianto akan mencapai Rp 750 triliun, bukan Rp 306,69 triliun sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Kenaikan efisiensi anggaran lebih dari 100 persen dan bisa diprediksi akan terjadi hujan dan badai kerusakan ekonomi maha dshayai.
Bayangan, puluhan post anggaran dengan nominal efisiensi anggaran yang disebut Prabowo itu merupakan hasil akumulasi dari kebijakan efisiensi anggaran yang telah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu, artinya dampak lesunya daya beli dan mobilitas masyarakat sudah meresahkan.
Alhasil, puluhan juta masyarakat Indonesia menunda atau membatalkan mulut lebaran 2025. Terbayangkah begitu dendam dan marahnya masyarakat Indonesia dengan kondisi ekonomi saat ini hingga mereka tidak bisa merasakan kehangatan dan juga aktualisasi sosial di kampung halaman.
Dosa Besar
Akhirnya, dapat dikatakan jika negara telah berdosa besar telah membuat ekonomi berantakan, menjadikan daya beli masyarakat turun drastis dan yang paling sadis efisiensi anggaran membikin masyarakat kehilangan pekerjaan, menghilangkan peluang berusaha.
Dampak makro ekonomi sudah nyata-nyata melumpuhkan ekosistem nasional. Indikator deflasi, anjloknya IHSG gabungan dan melemahkan nilai rupiah terhadap dollar. Berbagai kejadian tersebut berangsur namun pasti akan melumpuhkan keseluruhan ekonomi nasional.
Jadi, masyarakat sudah tidak bisa mudik lebaran, pemerintah pun tidak menjamin kehidupan rakyatnya yang sedang bertahan hidup di perkotaan. Pertanyaannya, sebenarnya apa yg sedang pemerintah pikirkan dan kerjakan saat ini? Untuk siapa mereka bekerja?