Penulis : Agung Wibawanto
Mudanews.com. OPINI | Produk Parcok dengan sipil emang beda. Dulu eranya ABRI pendekatan yang dilakukan selalu kekerasan dengan dasar curiga (itu sudah doktrin dan karakter aparat), dengan alasan agar mereka tidak lengah (kecolongan atau terpedaya).
Dalam menjaga demi kelancaran dan ketertiban pengendara publik (arus lalu lintas), sesungguhnya tidak dibutuhkan personil TNI kecuali polri membutuhkan karena kekurangan personil. Sesungguhnya ormas agama juga ada dan siap.
Banser, Kokam dll bahkan Pramuka di seluruh daerah juga bersedia membantu aparat kepolisian. Mereka kan tidak butuh dilengkapi dengan senjata apapun. Memangnya mau perang atau mengawal tahanan militer dari negara luar?
Inilah jika kepala daerah memiliki watak fasis, yang semuanya diukur dengan sikap represi. Jika memang ada sesuatu yang membutuhkan tindakan cepat dan terukur, misal terorisme, maka siapkan anggota tim gerak cepat (Gegana).
Memang untuk situasi seperti iulah tim gerak cepat disiapkan. Situasi yang tidak terduga dan dadakan. Tapi jika hanya mengatur arus lalu lintas atau menjaga pelaksanaan ibadah saat sholat ied, ya tentu berlebihan aparat bawa senjata.
Hal begini yang dikhawatirkan jika TNI ikut mengurusi urusan sipil. TNI memang terbiasa memanggul senjata dan menembakkannya. Sedikit ada kesalahan di lapangan sipil, TNI akan bertindak dengan senjatanya. Begitupun polisi’.
Kali ini sudah terbukti (percayalah), jadi publik sipil tidak perlu janji “tidak mungkin terjadi”. Lha wong sudah kerap terbukti terjadi kok.