Ditulis: Heru Subagia. Penulis dan Pengamat Ekonomi-Politik
Mudanews.com OPINI | Diketahui bahwa anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 tampak terjun bebas. Penurunan ini disebabkan baik pendapatan dan belanja mengalami pertumbuhan negatif dari realisasi pada periode yang sama di tahun lalu.
Tercatat, APBN defisit Rp31,2 triliun atau 0,13% terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga akhir Februari. Belanja negara dalam dua bulan pertama sebesar Rp348,1 triliun atau 9,6 % dari target APBN.
Per akhir Februari 2025, pendapatan negara tercatat mencapai Rp316,9 triliun, atau 10,5% dari target di dalam APBN 2025. Namun realisasi itu tercatat tumbuh -20,8% dari realisasi pendapatan di Februari 2024 (year on year/yoy).
Sementara belanja negara tercatat sebesar Rp348,1 triliun, setara 9,6% dari alokasi yang tersedia. Namun kinerja belanja tersebut tercatat tumbuh -7,0% dari periode yang sama di tahun lalu.
Tetap Ngeles
Dalam ilmu ekonomi, deflasi adalah suatu periode di mana harga-harga secara umum mengalami penurunan dan nilai uang bertambah. Ekonomi yang mengalami deflasi akan menunjukkan gejala harga-harga, gaji, dan upah menurun.
Pengurangan pendapatan ini sering memaksa perusahaan untuk memotong biaya, termasuk pengurangan tenaga kerja. Akibatnya, tingkat pengangguran meningkat, yang pada gilirannya menurunkan daya beli masyarakat dan memperparah situasi ekonomi.
Deflasi menjadi momok menakutkan bagi sebuah rezim berkuasa. Pemerintah terus menolak adanya resesi atau lebih galaknya sedang menuju krisis ekonomi. Diyakini jika Indonesia mengalami deflasi tahunan untuk yang pertama kali dalam 25 tahun terakhir, namun pemerintah masih bisa menjaga tingkat inflasi dalam rentang aman.
Kebijakan Progresif
Sri Mulyani secara meyakinkan bahwa deflasi di Indonesia yang terjadi secara beruntun pada awal 2025, yakni 0,76% secara bulanan pada Januari, dan 0,48% pada Februari 2025 adalah hasil desain pemerintah untuk menurunkan berbagai harga-harga yang bisa diatur pemerintah (administered prices).
Bendahara Negara yang juga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tetap konsisten menolak dan membantah terjadi pelemahan daya beli paska masyarakat Indonesia mengalami deflasi dua bulan berturut-turut pada awal 2025.
Justru Sri Mulyani menunjukkan momentum terjadinya deflasi disebabkan oleh berbagai kebijakan progresif pro rakyat yang telah diambil oleh pemerintah.
Sri Mulyani dengan alibinya mengatakan deflasi ini justru dipicu oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang diklaim telah meringankan beban masyarakat.
Dikatai kebijakan itu diantarinya diskon tarif listrik 50 persen pada Januari hingga Februari 2025. Pemerintah juga memberikan diskon tarif tol hingga insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) tiket pesawat selama periode Lebaran 2025.
Sementara itu, bagi Sri Mulyani, deflasi di Indonesia yang terjadi secara beruntun pada awal 2025, yakni 0,76% secara bulanan pada Januari, dan 0,48% pada Februari 2025 merupakan hasil desain pemerintah untuk menurunkan berbagai harga-harga yang bisa diatur pemerintah (administered prices).
Tantangan Buat Menkeu
Pertanyaan untuk Menkeu Sri Mulyani adalah ketika deflasi diyakini adalah politik kebijakan terkendali , apakah yakin dengan serta merta daya beli masyarakat akan naik?
Kenyataannya tetap terjadi deflasi, artinya kepercayaan pemerintah menurunkan pos-pos pengeluaran masyarakat melalui kebijakan pemerintah harusnya disambut oleh pergeseran kebutuhan. Namun demikian yang terjadi di lapangan adalah masyarakat tidak punya tabungan atau celah potensi untuk berbelanja.
Dengan demikian, timbul pertanyaan berikutnya adalah jika deflasi ditakdirkan menjadi dewa keselamatan ekonomi yang didesain oleh pemerintah, langkah apa saja yang akan meneruskan kebijakan progresif tersebut untuk mempertahankan deflasi?
Bukannya penerimaan hanya sebatas tarik ulur dan tawar menawar dengan masyarakat untuk kepentingan paket politik sesaat?
Berhenti Berbohong
Beranikah Pemerintah akan mempertahankan dengan memperpanjang tempo pelaksanaan program bantu masyarakat, diskon listrik, tarif jalan tol atau tarif tiket pesawat?
Di tengah defisit anggaran, bobroknya kinerja BUMN, buruknya situasi ekonomi global, sanksi dan perang dagang dan tariff Donald Trump, penulis meyakinkan kali Sri Mulyani tidak bisa lagi ngeles. Cukup sekian drama -drama pembelaannya dan segera untuk bertobat, membuka topeng sebenar-benarnya apa yang sedang terjadi di perekonomian Indonesia. Kali ini berikan berita jujur dan jangan bohongin masyarakat lagi.