Penulis: Drs. Muhammad Bardansyah Ch, Cht
Mudanews.com-(OPINI) | Flexing, atau perilaku menunjukkan kemewahan dan kekayaan secara publik, telah menjadi fenomena yang cukup umum di berbagai negara, termasuk Indonesia. Fenomena ini terutama terlihat pada kalangan istri dan anak-anak pejabat, yang sering menggunakan media sosial untuk menunjukkan barang-barang mewah mereka, seperti tas Hermes.
Di samping hal negatif di atas, flexing juga bisa dikatakan sebagai cara Tuhan menunjukkan atau membongkar aib banyak pejabat. Banyak skandal korupsi terdeteksi akibat flexing yang dilakukan oleh anak atau istri para pejabat tersebut.
Sebenarnya, Apa Sih Motivasi di Balik Flexing Ini?
Pencarian Identitas dan Pengakuan
Salah satu alasan utama orang melakukan flexing adalah untuk mencari pengakuan dan penghargaan dari lingkungan sosial mereka. Dalam konteks istri dan anak pejabat, mereka mungkin merasa perlu untuk menunjukkan status sosial mereka melalui barang-barang mewah.
Pengaruh Sosial dan Budaya
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, status sosial sering kali diukur melalui kepemilikan barang mewah. Lingkungan sosial yang kompetitif dan budaya yang menghargai kemewahan memperkuat perilaku ini.
Pengaruh Media dan Selebriti
Media sosial dan selebriti juga berperan besar dalam mempromosikan gaya hidup mewah. Selebriti yang sering menunjukkan barang-barang mewah mereka di media sosial menjadi panutan bagi kalangan istri pejabat.
Peran Brand Internasional dalam Fenomena Flexing
Brand internasional seperti Hermes dan merek terkenal lainnya memanfaatkan fenomena flexing dengan sangat baik. Mereka memahami bahwa barang-barang mewah adalah simbol status sosial yang sangat kuat. Berikut adalah beberapa strategi yang mereka gunakan:
Pengaturan Harga Tinggi
Contohnya, harga jual tas Hermes Birkin bisa mencapai antara Rp150 juta hingga Rp500 juta, padahal biaya produksi tas ini sebenarnya jauh lebih rendah dari harga jualnya (sekitar Rp10 juta). Harga tinggi ini sebenarnya adalah bagian dari strategi branding yang bertujuan untuk menciptakan persepsi eksklusivitas dan kemewahan.
Pemasaran yang Strategis
Brand seperti Hermes menggunakan pemasaran yang sangat strategis, termasuk kolaborasi dengan selebriti dan influencer, serta acara-acara eksklusif yang menargetkan kalangan elit. Hal ini membantu mereka untuk memperkuat citra mewah dan eksklusif mereka.
Penggunaan Media Sosial
Mereka juga memanfaatkan media sosial untuk menampilkan produk-produk mereka dalam konteks yang menarik dan menginspirasi. Hal ini memperkuat keinginan konsumen untuk memiliki produk-produk mereka.
Pemilik brand ini tahu betul bagaimana memanfaatkan orang-orang kaya baru di Asia. Strategi cerdas ini menjadikan tas merek terkenal ini sangat populer bagi istri, anak pejabat, serta orang kaya baru di Indonesia, China, dan keluarga bangsawan Timur Tengah.
Mereka meniru para selebriti di Eropa dan Amerika yang ditunjuk sebagai brand ambassador dari produk ternama ini. Padahal, para selebriti ini tidak membayar sama sekali untuk tas atau merek mewah lainnya yang mereka pakai. Alhasil, pemilik brand meraup untung besar dari penjualan produk mereka karena harga jualnya berkali-kali lipat dari ongkos produksinya.
Di sisi lain, para selebriti menjadi semakin populer karena peran mereka sebagai brand ambassador, sementara orang kaya baru di Asia, seperti istri dan anak pejabat di Indonesia, Malaysia, China, serta keluarga Sultan Arab, tidak menyadari hal ini dan terus asyik memamerkan kemewahan (flexing), tanpa menyadari bahwa mereka sedang dimanfaatkan.
Dampak Sosial dari Fenomena Flexing
Pembentukan Citra dan Status Sosial
Flexing membantu individu membangun citra dan status sosial yang mereka inginkan. Namun, hal ini juga dapat menciptakan kesenjangan sosial yang lebih besar, karena mereka yang tidak mampu untuk menunjukkan kemewahan dapat merasa terpinggirkan.
Pengaruh pada Perilaku Konsumen
Fenomena flexing juga mempengaruhi perilaku konsumen lainnya. Mereka yang melihat orang lain menunjukkan barang-barang mewah dapat merasa terdorong untuk melakukan hal yang sama, meskipun mereka mungkin tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup.
Pengaruh pada Masyarakat Umum
Fenomena flexing juga dapat menciptakan persepsi yang salah tentang kekayaan dan kemiskinan. Masyarakat umum mungkin merasa bahwa kemewahan adalah norma, padahal kenyataannya hanya sebagian kecil orang yang mampu hidup dalam kemewahan seperti itu. Sebagian besar dari mereka pun sebenarnya adalah orang-orang bodoh atau terbodohi karena kekayaan yang mereka miliki.
Kesimpulan
Fenomena flexing, atau pamer kekayaan melalui barang mewah di media sosial, terutama di kalangan istri dan anak pejabat, tidak hanya sekadar pencarian identitas dan pengakuan sosial. Di baliknya, terdapat ironi yang tajam: perilaku ini justru sering menjadi pintu masuk terungkapnya kasus korupsi, karena kekayaan yang dipamerkan tidak sejalan dengan penghasilan resmi.
Merek internasional seperti Hermes turut memanfaatkan fenomena ini dengan strategi pemasaran eksklusif, harga tinggi, dan kolaborasi dengan selebriti, menciptakan ilusi status sosial yang diidamkan. Namun, dampak sosialnya serius—kesenjangan ekonomi semakin terasa, tekanan konsumtif meningkat, dan masyarakat terjebak dalam persepsi palsu bahwa kemewahan adalah norma.
Flexing bukan hanya tentang gaya hidup, tetapi juga cermin dari ketimpangan, manipulasi pasar, dan kebodohan yang dibungkus dalam glamor.**(RED)