Islam Transitif Sebuah Alegori (Mengenal Pemikiran Prof Ansari Yamamah)

Breaking News

- Advertisement -

Oleh: Nasrullah

Mudanews.com- Jakarta (Opini) | Dalam gemuruh wacana keislaman kontemporer, nama Prof. Dr. Ansari Yamamah, MA menjulang sebagai pemikir yang menggagas konsep Islam Transitif—sebuah tafsir progresif atas dinamika syariat di tengah arus zaman. Sebagian menatapnya dengan sinisme, menganggapnya sebagai keberanian yang melampaui pakem, menantang ortodoksi dengan keluwesan hermeneutik. Sebagian lagi mencibirnya sebagai utopia, idealisme yang tak berpijak pada realitas, bagai menulis di atas air. Namun, tak sedikit yang menaruh harapan, mengangguk kepala dengan optimisme, meyakini bahwa Islam memang senantiasa bergerak, merespons perubahan tanpa kehilangan esensinya. Dalam dialektika pemikiran, ia hadir bukan sebagai peniup badai, tetapi sebagai pemantik kesadaran bahwa hukum dan realitas tak selamanya bersetubuh dalam kebekuan.

Di antara riak pemikiran yang mengalir deras, muncul suara-suara yang meragukan kebaruan gagasan ini. Ada yang berkata bahwa Islam Transitif bukanlah temuan yang benar-benar baru, sekadar wajah lama dengan riasan segar, sebentuk dialektika yang hanya mengganti terminologi tanpa menghadirkan esensi yang benar-benar berbeda. Mereka melihatnya sebagai jejak yang telah ditapaki para pemikir sebelumnya, hanya dikemas ulang dalam bahasa yang lebih modern. Namun, di balik skeptisisme itu, terselip pertanyaan yang lebih mendasar, apakah kebaruan selalu harus dimaknai sebagai pemutusan total dari tradisi? Ataukah justru dalam kesinambungan itu, pemikiran menemukan relevansinya di tiap zaman?

Di sinilah letak pergumulan dialektika yang tak berkesudahan—antara mereka yang menerima dan yang menolak, antara yang meragu dan yang berharap, antara pesimisme yang mencurigai dan optimisme yang merayakan. Prof. Ansari Yamamah telah menghadirkan lebih dari sekadar gagasan; ia menyalakan “cahaya” di antara gesekan elektron negatif dan positif, membiarkan percikan-percikan itu membangun kilat pemahaman baru. Dalam arus pemikiran yang kerap berayun antara konservatisme yang beku dan progresivisme yang liar, ia memilih menjadi medan di mana tegangan itu berjumpa, melahirkan energi yang menggerakkan peradaban.

Sebuah Alegori Bermetafora

Islam Transitif adalah sebuah alegori yang terus bermetamorfosis, menangkap denyut zaman dalam pusaran pemikiran yang dinamis. Ia bukan dogma yang membatu, bukan pula gelombang liar tanpa arah, melainkan harmoni antara yang tetap dan yang berubah, antara warisan dan inovasi. Dalam kilauannya, ia merefleksikan esensi Islam yang hidup—senantiasa bergerak, menyesuaikan diri tanpa kehilangan substansi, menjembatani yang tekstual dengan yang kontekstual. Seperti aliran sungai yang setia pada hulunya tetapi tak pernah sama dalam setiap arusnya, Islam Transitif menghadirkan dialektika yang terus berkelindan antara masa lalu, kini, dan esok.

Alegori bukanlah keyakinan, tetapi jendela metaforis yang memperkuat keyakinan itu sendiri—menghidupkan makna di balik simbol, membingkai realitas dalam lanskap pemikiran yang lebih luas. Ia membuka cakrawala bahwa Islam bukan sekadar agama teologis ansich, melainkan sebuah kosmologi intelektual yang berdenyut dalam perubahan, yang menari dalam dialektika zaman tanpa kehilangan akar. Di sinilah Islam menemukan dirinya, sebagai ruang yang merangkul pembaruan tanpa mereduksi otentisitasnya, sebagai arus pemikiran yang terus bergerak tanpa menegasikan kedalaman khazanah literasi klasik yang telah menjadi fondasi peradaban.

Islam Transitif bukan sekadar gagasan latah yang mengalir mengikuti arus zaman, tetapi jembatan yang menghubungkan kejernihan tradisi dengan keberanian inovasi. Ia menjaga warisan kekayaan literasi Islam klasik sebagai mahakarya ulama terdahulu, bukan sebagai monumen yang beku, tetapi sebagai khazanah yang terus bernapas dalam denyut peradaban. Dalam cahaya pemikirannya, warisan itu tidak sekadar dikagumi, tetapi dihidupkan kembali—direkonstruksi dalam konteks yang lebih luas, menembus batas perubahan politik, ekonomi, pendidikan, budaya, hukum, sosial, dan pranata lainnya. Di sinilah Islam Transitif menegaskan dirinya, sebagai tafsir yang dinamis, merawat yang telah lalu, dan menata yang akan datang.

Ushul Fiqih Islam Transitif

Pada 18 Februari 2025 lalu, sebuah diskursus ilmiah yang sarat gagasan segar digelar di UIN Sumatera Utara—bedah buku Ushul Fiqih Islam Transitif karya Prof. Dr. Ansari Yamamah, MA. Para guru besar, doktor, dan akademisi dari berbagai disiplin ilmu berkumpul, menelaah dan mendialogkan pemikiran yang ditawarkan dalam buku ini.

Sebagai sebuah metodologi dan epistemologi, Ushul Fiqih Transitif hadir bukan sekadar menafsirkan realitas hukum Islam, tetapi juga menawarkan perspektif bahwa ilmu Ushul Fiqih dapat dijadikan alat analisis dan instrumen perumusan hukum, yang mampu bersanding dengan hukum positivistik, khususnya dalam konteks sistem hukum di Indonesia. Dengan pendekatan ini, hukum Islam tidak hanya menjadi entitas normatif yang berdiri sendiri, tetapi turut serta dalam konstelasi hukum modern—membuka ruang dialog antara tradisi dan inovasi, antara teks dan konteks, antara masa lalu dan masa depan.

Ushul Fiqih Islam Transitif bukan sekadar menapaktilasi kaidah-kaidah ushul fiqih yang telah baku, tetapi menjelma sebagai instrumen epistemologis yang hidup—sebuah metodologi yang melampaui batasan klasik, menghadirkan dirinya dalam percaturan politik hukum kontemporer. Ia tidak lagi hanya membahas fondasi normatif, tetapi berani menyeberang ke ranah praksis, merumuskan hukum yang dinamis seiring perubahan zaman.

Dalam kerangka ini, Ushul Fiqih Transitif tidak hanya berbicara tentang hukum pidana dan perdata, tetapi juga menyentuh jantung hukum ketatanegaraan, menawarkan perspektif bahwa fikih bukan hanya warisan tekstual, melainkan sebuah perangkat analitis yang mampu berdialog dengan hukum positivistik. Ia menjadi jembatan antara nilai-nilai Islam dan dinamika hukum modern, merajut tradisi dengan realitas, menjadikan syariat bukan sekadar sejarah, tetapi juga masa depan.

Dalam gemuruh pemikiran hukum kontemporer, terbenam sebuah pertanyaan fundamental yang menantang batasan-batasan tradisional. Apakah para sarjana ahli hukum Islam mampu mereposisi ushul fiqih—sebuah warisan intelektual yang kaya dan mendalam—menjadi sebuah metodologi yang sejajar dengan ilmu hukum lainnya?

Penutup

Kini umat Islam dihadapkan pada pertanyaan yang lebih besar: apakah kita mampu menjaga keseimbangan antara warisan intelektual yang telah ada dengan gairah untuk merumuskan kembali pemikiran hukum Islam dalam konteks kontemporer? Ushul Fiqih Islam Transitif bukan sekadar ajakan untuk merefleksikan kembali metodologi yang telah mapan, tetapi juga untuk membuka ruang bagi kemungkinan baru dalam politik hukum, yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa melupakan akar dan identitasnya.

Di sinilah, dalam ketegangan dan dinamika itu, pemikiran-pemikiran seperti yang ditawarkan oleh Prof. Ansari Yamamah membuka jalan menuju pencerahan yang lebih luas, bagi ilmuwan, praktisi hukum, dan seluruh umat manusia.**(RED)

Penulis: Nasrullah, Kolumnis Ilmu Hukum dan Sosial

Berita Terkini