RIDO Tidak Jadi Gugat ke MK, Khawatir Terbuka Borok Sendiri atau Sudah Ridho?

Breaking News

- Advertisement -

Penulis : Agung Wibawanto
Bukan sesuatu yang terlalu penting tapi sangat menarik. Publik bertanya-tanya mengapa kubu Rido yang awalnya kekeh akan mempermasalahkan kemenangan Pramono Anung-Rano Karno, bahkan akan memberi imbalan bagi yang menemukan kecurangan, namun tiba-tiba tidak ada pendaftaran gugatan di meja MK. Mengapa?

Sementara pada pilkada Sumut dan Jateng, terkonfirmasi adanya laporan gugatan sengketa pemilu ke MK. Asumsinya, penggugat hasil Pilkada di kedua wilayah terakhir telah memiliki bukti-bukti kuat adanya atau terjadinya ‘pelanggaran’ konstitusi pemilu. Di kedua wilayah yang disebut tadi menunjukkan hasil kemenangan bagi kandidat dukungan Jokowi dan KIM Plus.

Ada pameo bahwa sebuah tindak kriminal akan terbongkar jika diproses oleh perangkat penegak hukum adalah benar. Pihak yang playing victim tidak akan berani jika kasus yang ia permasalahkan diproses hukum. Hal ini sudah banyak terjadi di beberapa kasus, misal kasus diduga penganiayaan Ratna Sarumpaet.

Ratna yang dianggap sebagai korban tidak berani melaporkan. Karena ‘penganiayaan’ yang disangkakan hanyalah sebuah rekayasa belaka. Begitu kemungkinan yang terjadi pada pilkada DKI Jakarta. Apa yang semula dituduhkan kubu Rido merupakan asumsi belaka yang tidak memiliki bukti. Justru jika diproses akan berbalik menekan kubu Rido.

Kasus sengketa pemilu yang ditangani MK memang ada yang hanya dicari-cari oleh pihak yang kalah, namun juga memang diduga kuat terjadi kecurangan disertai bukti-bukti. Pada kasus Pilkada DKI Jakarta, diduga kuat bahwa kubu Rido tidak memiliki bukti kuat adanya pelanggaran yang dilakukan kubu Pram-Rano.

Diasumsikan pula, hal tersebut menyebabkan ‘Bos Besar’ meminta untuk tidak menggugat ke MK. Namun sikap ini pastilah sangat melukai Rido sendiri sebagai kandidat. Rido akan merasa diabaikan bahkan sesungguhnya tidak terlalu diperhatikan. Bayangkan saja, seluruh partai pendukung Rido melawan PDIP dan Hanura, mustahil kalah.

Rido bisa saja menuding balik bahwa dukungan partai KIM Plus beserta endores Prabowo dan Jokowi tidak lah serius. Sistem dan strategi yang sama diberlakukan di Sumut, Jateng, Jatim dan Banten, nyatanya berhasil. Mengapa di DKI Jakarta gagal? Juga, mengapa tidak ditempuh upaya hukum ke MK karena setidaknya mereka masih punya peluang jika bisa ke putaran kedua.

Ataukah Jokowi-Prabowo cs sudah bisa menerima kekalahan di DKI Jakarta? Mengikuti alasan ini rasa-rasanya sangat naif. Bagaimana pun DKI Jakarta (yang kini berubah menjadi DKJ), adalah suatu wilayah yang sangat prestisius untuk dimenangkan, selain Jateng dan Sumut. Ketiga wilayah tersebut menjadi pertaruhan nama Jokowi.

Terlebih Jokowi merupakan mantan Gubernur DKI Jakarta. Meskipun kini DKI Jakarta berganti nama menjadi DKJ (Daerah Khusus Jakarta), namun IKN juga belum ditetapkan sebagai ibukota negara karena belum keluar Perpres. DKI Jakarta untuk sementara masih sebagai ibukota negara. Kekalahan di Jakarta mencoreng nama Jokowi dikalahkan PDIP.

Seolah PDIP ingin membalas karena kandang Banteng di Jateng yang takluk, namun berhasil memenangkan di DKI Jakarta. Orang tidak bisa begitu saja mengatakan Jokowi lebih sakti ketimbang PDIP, karena buktinya DKI Jakarta yang bukan kandang Banteng berhasil dimenangkan PDIP. Meskipun Jokowi telah melakukan segala cara.

Begitupun dengan Bali bisa menjadi antitesa Jateng, bahwa basis banteng di Bali nyatanya bisa dipertahankan dan dimenangkan kader PDIP. Hal ini membuktikan bahwa memang tengah terjadi persaingan sengit antara Jokowi dengan PDIP dalam menguasai kemenangan pilkada. Terbukti tidak semua yang bermain keroyokan bisa dimenangkan.

Selain akan membuka borok sendiri, selisih suara antara Ridwan Kamil-Suswono dan Pramono Anung-Rano Karno cukup jauh, yaitu mencapai sekitar 10 persen. Padahal, dalam Undang-Undang Pilkada disebutkan untuk provinsi dengan jumlah penduduknya 6-12 juta, selisih suara yang bisa digugat maksimal 1 persen. Mereka mengambil langkah realistis***

Berita Terkini