Penulis : Agung Wibawanto
Wacana pilkada dikembalikan kepada DPRD menjadi wacana yang berulang setelah tahun 2022 sempat ramai menjadi konsumsi partai politik. Jika pada waktu itu dilontarkan oleh MPR RI yang sempat dibahas bersama Wantimpres, maka kini Presiden Prabowo mengusulkan hal yang sama pada acara HUT Golkar kemarin.
Tidak hanya mengusulkan bahkan Presiden mengajak langsung kepada seluruh ketua partai yang hadir untuk memutuskannya malam itu juga. Alasan utama yang disampaikan Prabowo terkait pemborosan keuangan negara. Menurutnya lagi, lebih baik anggaran tersebut untuk hal lain yang dibutuhkan rakyat.
Apakah benar semata ingin melakukan penghematan kas negara sehingga mengusulkan pilkada dikembalikan kepada DPRD? Apakah tidak mungkin ada kepentingan politik yang tersembunyi yang tidak mungkin disampaikan kepada publik? Jika bicara ataupun melakukan pembahasan terkait perangkat negara, maka tidak mungkin tanpa alasan politik.
Jika kembali diperhatikan landasan konstitusional Pilkada langsung, pada asasnya masih berada dalam keadaan norma yang kabur (vague norm). Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945 hanya menegaskan: “Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.”
Pasal ini sangat mungkin menjadi multi tafsir, karena tidak disebut secara tegas kalimat ‘pemilihan langsung’. Meski dalam UU turunan yang mengaturnya yakni UU Pemilu dan UU Pilkada secara tegas disebut pemilihan langsung, namun pilkada melalui DPRD sangat mungkin dilakukan tanpa perlu mengubah konstitusi. Ini berbahaya bagi kelangsungan demokratisasi.
Disebutkan ‘kembali’ ke DPRD bermaknakan bahwa sebelumnya pernah dilakukan proses pilkada oleh DPRD yakni di era orde baru. Gubernur, Bupati/Walikota dipilih melalui mekanisme pemilihan di DPRD. Hal ini memang sesuai dengan karakter pemerintah orde baru di bawah Suharto yang sentralistik. Daerah tidak otonom melainkan dikontrol oleh Pusat.
Sedangkan jika kita mengikuti sejarah pemerintahan Indonesia paska orde baru, tahun 1998 terjadi gerakan reformasi. Adanya tuntutan reformasi menyeluruh karena sistem pemerintahan yang berjalan ketika itu dianggap sudah tidak sesuai karena mengekang kebebasan berpolitik rakyat (partai politik). Begitupun dengan pemerintah daerah.
Salah satu tuntutan reformasi adalah menerapkan otonomi daerah seluas-luasnya. Dalam hal ini terkait juga proses pemilihan kepala daerah melalui pemilihan langsung. Asumsinya, kepala daerah yang dipilih dan diangkat oleh DPRD cenderung “rekomendasi” pusat hingga dapat dikuasai. Seluruh kepala daerah akan tunduk kepada pusat.
Dengan demikian, jika proses pilkada dikembalikan kepada DPRD, maka demokrasi kita mundur jauh ke belakang. Selain itu, gaya-gaya pemerintahan rezim orde baru yang sentralistik akan dibangun kembali. Jelas hal ini bertentangan dengan semangat reformasi. Akankah rakyat mau menerima usulan tersebut? Logikanya pemerintah yang dipilih 58% suara rakyat akan menang.
Hal ini justru menjadi pertaruhan apakah koalisi pemerintah benar mendapat legitimasi rakyat atau hasil pilpres kemarin penuh rekayasa? Masyarakat sekarang sudah jauh lebih cerdas dalam memahami politik baik dari sisi luar (tersurat) maupun dari sisi dalamnya (tersirat). Tidak ada sebuah produk politik yang tanpa pertimbangan dan kepentingan politik.
Gejala kebangkitan orde baru sudah semakin nyata dengan mengubah sistem pemerintahan yang demokratis ke sentralistik. Setelah DPR dikuasai melalui koalisi partai pemerintah, partai politik pun demikian dikooptasi. Kini kepala daerah juga ingin dikuasai melalui usulan pilkada melalui DPRD. Sebelumnya, lembaga yudikatif bahkan aparat keamanan termasuk yang dikuasai.
Dalam analisa politik orang bodoh sekalipun, jika semua sektor lembaga negara berikut kewenangannya berada dalam satu tangan (sentralistik) maka dipastikan model pemerintahan Prabowo bergeser gaya otoriter. Mirip dengan bapak mertuanya dulu, Suharto, yang melanggengkan kekuasaan selama 32 tahun. Karena bisa jadi pilpres pun akan diarahkan dipilih melalui lembaga DPR RI.
Itu kepentingan tersembunyi yang bisa dilihat. Karena jika hanya alasan boros, memang masuk akal, tapi tentu tidak semata itu. Yang harus dilakukan mestinya mencari solusi bagaimana agar pilkada tidak high cost? Pemerintah bisa membuat aturan (UU) melarang penggunaan baliho, sablon dll sebagai alat peraga. Tidak diperbolehkan memberi apapun kepada pemilih terkait pemilu.
Rakyat harus dilatih dan dididik agar tidak mengharapkan apa-apa dari kandidat sebagai dasar ia memilih. Pemilihan melalui elektronik perlu dipikirkan agar tidak membuang banyak uang untuk biaya cetak kertas/surat suara dll. Rakyat pun bisa memilih melalui online tanpa harus membuat TPS. Ada banyak inovasi berbasis teknologi untuk membuat pilkada yang hemat***