Post Power Syndrom, Jokowi Permalukan Diri Sendiri “Ngatur” Calon Kepala Daerah

Breaking News

- Advertisement -

Penulis : Agung Wibawanto
Orang yang terkena sindrom post power saat ini adalah Jokowi. Jelas sekali terlihat. Pertama, dia masih berambisi akan kekuasaan dengan ikut cawe-cawe dalam pilkada serentak 2024. Jika mau mendukung untuk pilkada Jateng dan Solo, tentu masih wajar karena domisili Jokowi di Solo-Jateng. Tapi jika sudah ikut-ikut mendukung bahkan bikin video “jastip” ke daerah lain apa urusannya?

Kedua, Jokowi merasa dirinya masih berkuasa, setidak masih punya pengaruh buat mengatur ini dan itu. Ia tidak menyadari dirinya hanyalah rakyat biasa setelah menjadi mantan presiden. Dia juga bukan ketua partai (jadi anggota partai saja dipecat dengan tidak hormat karena dianggap berkhianat). Yang tersisa, ia hanyalah patron dari klien yang bernama Projo. Berapa member Projo? Apakah ada 25 jt?

PDIP berhasil menjadi juara pileg 2024 dengan raihan suara atau dipilih rakyat sebanyak 25 jt lebih (16% 110 kursi parlemen). Jika suara pendukung Jokowi (Projo) melebihi 25 jt maka ia akan mengungguli PDIP. Artinya, “Jokowi tidak ada apa-apanya tanpa PDIP” adalah salah. Tapi jika suara Projo di bawah angka tersebut, maka artinya, “PDIP tidak ada apa-apanya tanpa Jokowi” adalah salah.

PDIP dalam pileg yang tidak mendukung Gibran saja (tanpa embel-embel nama Jokowi) masih tetap menduduki rangking pertama perolehan suara. Jadi tidak pengaruh (meski ada penurunan 3% dan capres PDIP mengalami kekalahan). Secara logika, saat pilpres PDIP hanya bersama 2 partai kecil, sedangkan Prabowo-Gibran merupakan koalisi partai besar. Secara hitungan suara partai saja sudah kalah.

Skema koalisi partai pemerintah ini (KIM Plus) juga ingin diterapkan dalam pilkada serentak. Jokowi ingin menunjukkan siapa dirinya. Betapa berpengaruhnya dirinya. Betapa ia masih bisa mengatur-atur calon kepala daerah di seluruh wilayah dan partai pendukung mereka. Seharusnya, kedudukan calon kepala daerah jauh lebih tinggi dibanding rakyat biasa seperti Jokowi. Lantas mengapa mereka mau diatur?

Ini kan sesuatu yang aneh. Lihatlah para calon kepala daerah sampai manggut-manggut dan berkata, “Siap pak!” di hadapan Jokowi (lihat video Jokowi menggunakan jasa titipan). Sekali lagi jika dinalar, memangnya Jokowi itu siapa? Ia kini hanya sebagai warga Solo biasa, yang setiap arisan RT ya harusnya ikut iuran. Mantan presiden itu kini harus tunduk dan patuh kepada aturan yang dibuat oleh ketua RT nya.

Hal ini yang tidak siap diterima Jokowi dan mungkin juga istri dan anak-anak serta menantunya. Atas semua sikap Jokowi ini membuat rakyat tergelak geli hingga ngakak membuat mules perut. Si Mantan yang kini rakyat biasa sudah hilang aura kepemimpinannya, bahkan mengenaskan. Membuat malu seluruh rakyat karena menunjukkan sindrom post power secara terang-terangan.

Bagaimana jika calon yang diendores itu kalah? Bagaimana juga jika menang? Ya tidak apa-apa (pasti akan dijawab demikian). Jika tidak apa-apa, lalu buat apa mempermalukan diri pakai “titip-titip” begitu? Terbukti, tidak sedikit jagonya Jokowi mengalami kekalahan. Artinya, Jokowi sudah tidak memiliki efek elektoral untuk calon kepala daerah. Sementara kalaupun menang, itu lebih karena dukungan banyak partai tadi.

Sementara kalau jagonya PDIP kalah dianggap wajar karena melawan 15 partai. Sedangkan kalau PDIP bisa menang maka penilaiannya luar biasa karena 1 partai bisa mengalahkan 15 partai sudah termasuk Jokowi plus parcok plus sembako. Ini suara masyarakat yang bicara. Jika berhitung secara psikologi massa, maka kondisi ini (1 partai melawan 15 partai) justru menguntungkan PDIP.

Tekanan berat malah ditanggung Jokowi dkk karena harus dan wajib menang. Masakan sudah dikerahkan semua kekuatan begitu masih kalah sama satu partai? Jadi, kalaupun calon KIM Plus menang, ya tidak bisa dibanggakan juga. Masyarakat anggap biasa saja. Dampak ini yang tidak dipikirkan Jokowi. Nama baiknya selama 2 periode menjabat presiden (kecuali setahun terakhir), bisa hilang tak berbekas.

Kekuasaan itu memang nikmat dan bahkan bisa menjadi candu. Meskipun sudah berhenti memakai candu, tetap akan ketagihan (sakaw). Ini yang tengah dialami Jokowi yakni post power syndrom ataupun sakaw kekuasaan. Ia merasa masih berkuasa untuk mengatur-atur siapapun. Mungkin saja, tapi ia tidak bisa mengatur rakyat kecuali ia harus mengeluarkan dana banyak untuk membagi sembako.

Dulu Jokowi punya power karena jabatan presiden. Kini powernya berbasis logistik dan cuan. No money no power. Untung Sang Anak, Gibran, menjadi wakil presiden yang bisa mengawal beberapa mega proyek untuk bapaknya. Terutama tambang dan IKN. Dua sumber itu saja sudah bisa membuat Jokowi memiliki power kembali. Tinggal menunggu sikap Prabowo mau jadi macan bagi rakyat atau menjadi kucing manis peliharaan Jokowi?

Berita Terkini