MUDANEWS.COM, Pematangsiantar – Di Indonesia, dinasti politik kian berkembang dan kerap dianggap sebagai fenomena yang lumrah. Anak-anak pejabat, tanpa pandang bulu terhadap kompetensi, seringkali melenggang ke posisi strategis, memanfaatkan jaringan kekuasaan yang sudah terbangun oleh keluarga mereka. Meskipun terlihat sebagai “pewarisan” yang sah, praktik ini menimbulkan banyak pertanyaan terkait meritokrasi dan kualitas kepemimpinan yang dihasilkan.
Sistem pendidikan yang tidak merata semakin memperkuat kesenjangan ini. Akses pendidikan berkualitas yang terbatas mengakibatkan hanya kalangan tertentu yang mampu mempersiapkan diri untuk jabatan-jabatan publik. Dinasti politik yang awalnya terlihat sebagai anomali, kini justru dianggap wajar oleh sebagian besar masyarakat.
Ambivalensi Anak Muda di Jabatan Publik
Keterlibatan anak muda dalam posisi strategis di politik kerap memunculkan perdebatan. Di satu sisi, jika mereka memiliki kompetensi yang memadai—baik dari segi pendidikan maupun pengalaman—kehadiran mereka dapat menjadi angin segar yang membawa perubahan positif. Anak muda cenderung lebih adaptif terhadap perubahan, yang menjadikannya aset penting dalam menghadapi tantangan zaman.
Namun, di sisi lain, banyak di antara mereka yang duduk di kursi kekuasaan bukan karena keahlian, melainkan karena faktor kekerabatan. Patronase dan nepotisme inilah yang menciptakan ketimpangan dalam sistem politik, mengabaikan prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi landasan demokrasi. Hal ini tidak hanya mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem politik, tetapi juga menciptakan ketidakadilan bagi mereka yang lebih kompeten tetapi tidak memiliki akses ke kekuasaan.
Dampak Nepotisme dan Dinasti Politik
Nepotisme dalam politik, yang memunculkan dinasti, merupakan bentuk dari ketidakadilan struktural. Menurut data dari Pilkada Serentak 2024, setidaknya 35 daerah di Indonesia terindikasi memiliki dinasti politik. Di sini, 42 calon kepala daerah berasal dari keluarga politikus yang sudah mapan. Di beberapa daerah, seperti Banten, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur, dinasti-dinasti tersebut menguasai panggung politik lokal secara turun-temurun.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana keluarga-keluarga politik tertentu dapat mempertahankan kekuasaan, bahkan di tengah perubahan sosial dan politik. Hal ini terjadi karena sistem politik kita sering kali didasarkan pada loyalitas keluarga dan patronase, bukan pada prinsip-prinsip demokrasi dan kompetensi.
Dalam jangka panjang, dinasti politik ini dapat melemahkan legitimasi politik dan menciptakan ruang bagi praktik korupsi serta pengambilan keputusan yang bias kepentingan keluarga.
Langkah Perubahan yang Dibutuhkan
Untuk mengatasi masalah ini, reformasi mendalam diperlukan. Pertama, regulasi politik harus diperkuat untuk memastikan bahwa jabatan publik diberikan berdasarkan kompetensi dan rekam jejak, bukan kekerabatan.
Partai politik juga harus lebih selektif dalam mengusung calon pemimpin, dengan menempatkan integritas dan kompetensi di atas hubungan keluarga.
Kedua, masyarakat harus didorong untuk lebih kritis dalam memilih pemimpin. Pemilih perlu memeriksa lebih jauh rekam jejak dan visi misi kandidat, bukan sekadar memilih berdasarkan pengenalan nama. Kesadaran politik masyarakat yang lebih tinggi akan mempersempit ruang bagi praktik patronase.
Kesimpulan: Menegakkan Meritokrasi
Keberadaan dinasti politik di Indonesia mungkin memberikan stabilitas kekuasaan jangka pendek, tetapi efek jangka panjangnya berpotensi menggerus fondasi demokrasi. Kita perlu mendorong partisipasi politik yang lebih terbuka, adil, dan inklusif. Reformasi politik yang mendorong meritokrasi akan memastikan bahwa jabatan-jabatan publik diisi oleh individu yang benar-benar kompeten dan mampu melayani kepentingan rakyat dengan baik.
Dengan demikian, Indonesia dapat membangun masa depan politik yang lebih berintegritas, di mana posisi kekuasaan tidak lagi diwariskan, tetapi diperoleh melalui kerja keras, kompetensi, dan dedikasi terhadap kepentingan publik.