Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Pendiri The Activist Cyber.
Menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada Minggu, 20 Oktober 2024, publik dikejutkan dengan susunan kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Alih-alih mencerminkan semangat perubahan yang dijanjikan, kabinet ini dipenuhi figur-figur loyalis Jokowi dan tokoh-tokoh dengan kedekatan kuat para kartel oligarki tambang dan ekonomi. Publik pun meragukan apakah ini sepenuhnya pilihan Prabowo atau justru bentuk cawe-cawe Jokowi menjelang akhir masa jabatannya.
Kecemasan dan kekecewaan ini menyeruak karena banyak yang merasa kabinet tersebut bukan cerminan kemandirian Prabowo, melainkan kompromi politik untuk menjaga stabilitas dan menghindari konflik dengan elite penguasa lama. Sebagian orang meragukan apakah Prabowo mampu menjaga independensinya, namun ada pula yang melihat strategi ini sebagai bentuk kesabaran, mirip dengan filosofi pewayangan Pandawa melalui ajaran Hastabrata.
Filosofi Hastabrata, Kepemimpinan Berbasis Delapan Sifat Alam
Dalam pewayangan, ajaran Hastabrata menuntun seorang pemimpin untuk meneladani delapan elemen alam. Sifat-sifat ini mengajarkan keseimbangan antara ketegasan dan kesabaran, kekuatan dan kelembutan. Filosofi ini dicontohkan oleh Yudhistira, raja Pandawa, yang dikenal lebih memilih mengalah untuk menjaga kedamaian daripada bersikap arogan.
Berikut delapan sifat Hastabrata yang relevan bagi kepemimpinan Prabowo:
1. Bumi: Pemimpin harus sabar dan kuat menghadapi segala tekanan.
2. Matahari: Pemimpin memberi penerangan dan harapan tanpa pilih kasih.
3. Bulan: Pemimpin menenangkan rakyat di masa-masa sulit.
4. Bintang: Pemimpin menjadi penunjuk arah moral dan etika.
5. Samudera: Pemimpin menampung masukan dan kritik tanpa batas.
6. Angin: Pemimpin fleksibel dan tanggap dalam setiap situasi.
7. Api: Pemimpin tegas ketika diperlukan untuk memadamkan masalah.
8. Awan: Pemimpin rendah hati, menghindari kesombongan.
Strategi Prabowo untuk menghindari konfrontasi langsung dengan loyalis Jokowi dan elite penguasa lama sejalan dengan ajaran Hastabrata. Dia memilih bersabar dan berkompromi untuk menjaga stabilitas, sembari menunggu waktu yang tepat untuk bertindak lebih tegas.
Preseden di Pemerintahan Jokowi dan Kabinet Awal 2014
Langkah kompromistis ini bukanlah hal baru dalam sejarah politik Indonesia. Pada 2014, ketika Jokowi pertama kali terpilih sebagai presiden, ia juga menyusun kabinet dengan banyak kompromi. Beberapa posisi strategis diisi oleh tokoh dari partai politik yang sebelumnya berseberangan, seperti Golkar dan PPP. Meski awalnya publik berharap Jokowi menghadirkan perubahan, kehadiran elite lama membuat banyak pihak meragukan kebaruan yang dijanjikan. Namun, Jokowi tampaknya sadar bahwa menjaga keseimbangan politik adalah kunci untuk memulai pemerintahannya dengan lancar.
Langkah Jokowi kala itu berhasil menurunkan ketegangan politik di awal pemerintahannya, meskipun di kemudian hari ia tetap menghadapi kritik terkait relasi dekatnya dengan para oligarki. Prabowo tampaknya mengikuti pola serupa, menempatkan stabilitas sebagai prioritas, meski harus menanggung risiko dicap tunduk pada elite lama.
Contoh dari Joe Biden dan Kompromi Politik di AS
Contoh serupa juga dapat ditemukan dalam pemerintahan Presiden Joe Biden di Amerika Serikat. Setelah memenangkan pemilu 2020, Biden menghadapi tantangan besar berupa polarisasi politik ekstrem antara Partai Demokrat dan Republik. Meski mendapat dukungan kuat dari progresif, Biden justru menyusun kabinet yang relatif moderat dengan melibatkan tokoh-tokoh berhaluan tengah dan mantan pejabat dari era Obama. Keputusan ini diambil untuk meredam ketegangan dan memastikan transisi kekuasaan berjalan lancar.
Strategi ini membuahkan hasil, Biden berhasil meloloskan beberapa kebijakan penting, termasuk paket pemulihan ekonomi dan reformasi infrastruktur, meski harus berkompromi dengan oposisi. Namun, seperti halnya Prabowo, Biden juga mendapat kritik dari kubu progresif yang menganggap dirinya terlalu kompromistis dan gagal memenuhi janji perubahan radikal.
Mengalah untuk Menang, Strategi atau Kelemahan?
Pilihan Prabowo untuk merangkul loyalis Jokowi dan oligarki tambang mungkin terlihat sebagai bentuk kelemahan di mata sebagian publik. Namun, bisa jadi ini adalah langkah strategis untuk menjaga keseimbangan politik dan menghindari kekacauan di awal pemerintahannya. Sama seperti Yudhistira dalam pewayangan yang memilih mengalah demi mempertahankan perdamaian, Prabowo tampaknya meyakini bahwa kesabaran adalah kunci dalam menghadapi lawan politik yang kuat.
Bagi Prabowo, langkah ini mungkin bukan soal tunduk atau kalah, melainkan soal mengulur waktu hingga publik melihat dengan jelas siapa yang sebenarnya berambisi mempertahankan kekuasaan. Dalam konteks ini, Prabowo tampaknya menaruh harapannya pada persepsi jangka panjang rakyat, bahwa stabilitas lebih penting daripada konfrontasi di awal masa kepemimpinan.
Strategi ini menempatkan Prabowo dalam posisi unik. Dia tampaknya memahami bahwa kemenangan sejati bukan hanya soal menguasai kekuasaan secara langsung, tetapi juga soal memenangkan hati dan kepercayaan rakyat dalam jangka panjang. Sama seperti Joe Biden di AS atau Jokowi pada 2014, Prabowo memilih jalan kompromi jalan yang penuh risiko, tapi juga penuh potensi kemenangan di masa depan.
Kepemimpinan Berbasis Keseimbangan
Susunan kabinet Prabowo-Gibran mungkin mengecewakan sebagian publik yang berharap perubahan besar. Namun, seperti ajaran Hastabrata, Prabowo tampaknya memilih untuk bersabar dan menjaga keseimbangan politik. Mengalah bukan berarti menyerah, melainkan strategi untuk memenangkan waktu dan kepercayaan rakyat.
Jika strategi ini berhasil, Prabowo akan dikenang sebagai pemimpin yang mengutamakan stabilitas dan keseimbangan, bukan ambisi pribadi. Waktu akan membuktikan apakah langkah kompromi ini hanyalah penundaan sebelum perubahan besar, atau justru awal dari babak baru politik Indonesia yang lebih matang dan dewasa.
Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat 18 Oktober 2024, 07:09 Wib.