Oleh: Timothy Apriyanto
Mudanews.com Hastinapura sebagai kerajaan yang megah dengan istana yang mewah. Taman-taman indah menghiasi lingkungan istana. Namun, di balik keindahannya, terdapat intrik dan perebutan kekuasaan yang terjadi di kalangan para pangeran.
Kerajaan Mulwarengka dan Hastinapura adalah dua kerajaan fiktif yang berasal dari babad Mahabharata, sebuah epik kuno dari India. Hastinapura merupakan kerajaan utama dalam kisah Mahabharata, yang menjadi pusat konflik antara dua kelompok keluarga besar, yaitu Pandawa dan Kurawa. Sedangkan Mulwarengka sering muncul dalam interpretasi cerita pewayangan di Jawa dan Nusantara sebagai salah satu kerajaan yang memiliki peran dalam latar budaya dan mitologi lokal.
Relasi antara kedua kerajaan ini tidak secara eksplisit disebutkan dalam teks Mahabharata asli, tetapi dalam versi pewayangan di Indonesia, Mulwarengka biasanya digambarkan sebagai kerajaan dengan keterkaitan pada periode yang sama dengan Hastinapura, terutama dalam konteks politik dan perang besar, seperti Perang Bharatayudha. Dalam beberapa versi pewayangan, raja Mulwarengka bisa menjadi sekutu atau lawan tergantung pada adaptasi cerita tersebut.
Relasi ini mencerminkan bagaimana epik Mahabharata diadopsi dan diintegrasikan ke dalam tradisi budaya Jawa dan Nusantara, menambahkan elemen lokal dan menggabungkan karakter serta kerajaan tambahan yang tidak ada dalam versi asli.
LAKON wayang Petruk Jadi Raja adalah lakon “carangan” atau cerita pengembangan (bukan lakon pakem) dalam serial Mahabarata. Dalam keadaan yang genting, para dewa mengadakan sayembara untuk mencari seorang pemimpin yang bijaksana dan adil. Tak disangka, Petruk, dengan segala kelucuannya dan kecerdasannya yang unik, justru terpilih menjadi raja di Kerajaan Mulwarengka bergelar Prabu Belgedhuwel Beh. Nama itu akronim dari “Sugih mblegedhu rakyate dhedhel dhuwel kabeh” yang artinya rajanya kaya raya, tetapi rakyatnya menderita sengsara sampai pakaiannya “dhedhel dhuwel” compang camping.,
Semar, sebagai bapak spiritual para Punakawan, merestui keputusan para dewa ini. Para Punakawan dalam pewayangan Jawa, seperti Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong, memiliki peran yang sangat mendalam. Mereka bukan hanya tokoh komedi, tetapi juga representasi dari kebijaksanaan rakyat kecil yang sederhana namun penuh makna. Mereka adalah suara nurani yang mengingatkan para pemimpin untuk selalu rendah hati dan bijaksana dalam menjalankan kekuasaan.
Petruk sebagai raja memiliki visi untuk menjadikan kerajaan sebagai “khayangan di bumi”. Ia mengajak Semar, Gareng, dan Bagong untuk membantunya mewujudkan cita-citanya. Mereka bersama-sama membangun infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menciptakan sistem pemerintahan yang adil. Pada awal kepemimpinannya, Petruk sering kali diremehkan oleh banyak orang karena penampilannya yang kurus tinggi dan nampak tidak berkarisma sebagai seorang raja.
Pendukung Petruk berupaya keras untuk merubah penampilannya dari sosok Punakawan menjadi sosok yang berwibawa dan mampu membuktikan kinerjanya sebagai raja dengan baik. Upaya untuk memoles penampilan Petruk ini dilakukan dengan sangat berhati-hati agar menjaga perubahan ini nampak alami.
Kepemimpinan Petruk diuji ketika para Kurawa melancarkan serangan untuk merebut kembali tahta. Dengan dibantu oleh para Pandawa yang telah kembali dari pembuangan, Petruk berhasil mengalahkan para Kurawa dalam perang Bharatayudha.
“Petruk Kelangan Pethel”
Suatu ketika “Petruk Kelangan Pethel” atau “Petruk Kehilangan Pethel”, diceritakan bagaimana jadinya jika Petruk kehilangan pethel-nya menjelang suksesi raja. Peristiwa ini merupakan simbol kehilangan jati diri Petruk dan kemampuan untuk mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak baik. Tanpa pethel, Petruk tidak lagi mampu menyingkirkan nafsu negatif yang tumbuh dalam dirinya, sehingga ia kehilangan arah dan pengendalian diri. Lakon ini menggambarkan betapa pentingnya menjaga jati diri dan prinsip hidup agar tidak tersesat oleh godaan dan hal-hal yang merugikan.
Pethel adalah sebuah alat mirip kapak kecil yang digunakan oleh Petruk, salah satu tokoh punakawan dalam cerita wayang. Jika dilihat dalam posisi vertikal, pethel ini menyerupai kapak kecil, tetapi ketika diputar secara horizontal, bentuknya mirip dengan cangkul kecil. Petruk selalu membawa pethel ke mana-mana, menggunakannya untuk membersihkan apapun, termasuk tanaman liar di sekelilingnya.
Tanaman liar dalam lakon ini adalah simbol dari nafsu negatif yang tumbuh di batin dan hati manusia. Nafsu-nafsu negatif ini harus selalu dibersihkan dan dikendalikan, sama seperti Petruk menggunakan pethel-nya untuk membersihkan tanaman liar. Secara filosofis, pethel melambangkan alat yang digunakan untuk menjaga kebersihan batin dan hati dari godaan duniawi yang bisa mengotori diri seseorang.
Setelah berhasil menyatukan kembali kerajaan dan menciptakan kedamaian, Petruk merasa sudah saatnya untuk menyerahkan tahta kepada Pandawa yang berhak. Ia memilih untuk kembali menjalani hidup sederhana sebagai seorang punakawan, ditemani oleh Semar, Gareng, dan Bagong.
Petruk, dalam perjalanannya dari abdi menjadi raja dan kembali lagi sebagai punakawan, menggambarkan bahwa kekuasaan dapat merusak moral jika tidak dijaga dengan baik. Punakawan selalu mengingatkan bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan sebuah tanggung jawab yang besar. Sebagai abdi rakyat, Petruk dan para Punakawan adalah simbol penting dalam kebudayaan Jawa yang mengajarkan bahwa dalam segala kebesaran, selalu ada tanggung jawab moral untuk tetap berbuat baik dan adil.
Berikut ini beberapa catatan kondisi Kerajaan Mulwarengka sebelum Petruk lengser keprabon
1. Ekonomi
Ekonomi Mulwarengka menghadapi tantangan berat di tengah ketidakpastian global. Meskipun suku bunga Bank Mulwarengka turun sebesar 0,25% menjadi 6,25% pada September 2024, dan The Fed menurunkan Fed Funds Rate sebesar 0,5%, dampak terhadap perekonomian domestik masih terbatas. Sektor manufaktur yang tercermin dari Purchasing Manager Index (PMI) mengalami kontraksi, menandakan lemahnya permintaan. Penurunan rata-rata tabungan rumah tangga memperlihatkan daya beli yang menurun, mencerminkan kondisi ekonomi yang masih tertekan.
Deflasi di Mulwarengka, meskipun sering dianggap positif karena penurunan harga barang dan jasa, dapat mengindikasikan masalah ekonomi yang lebih dalam jika terjadi dalam waktu yang lama atau secara terus-menerus. Deflasi berarti turunnya harga secara umum yang disebabkan oleh penurunan permintaan agregat atau kelebihan pasokan, dan bisa menjadi tanda stagnasi ekonomi. Beberapa dampak kritis yang dapat ditimbulkan oleh deflasi di Mulwarengka:
a) Penurunan Daya Beli dan Konsumsi
Salah satu efek langsung dari deflasi adalah turunnya harga barang, yang mungkin tampak menguntungkan bagi konsumen dalam jangka pendek. Namun, jika deflasi terjadi karena penurunan permintaan, ini menandakan bahwa daya beli masyarakat melemah atau mereka menunda konsumsi dengan harapan harga akan terus turun. Hal ini dapat memperlambat aktivitas ekonomi dan memperpanjang periode stagnasi.
b) Penurunan Investasi
Deflasi dapat menurunkan insentif bagi pelaku usaha untuk berinvestasi. Ketika harga-harga barang dan jasa terus turun, keuntungan perusahaan berkurang, yang menyebabkan mereka menahan investasi dan ekspansi bisnis. Ini memperlambat pertumbuhan ekonomi dan berpotensi menyebabkan pengangguran meningkat.
c) Peningkatan Beban Utang
Deflasi memperbesar nilai riil dari utang, baik untuk sektor publik maupun swasta. Jika perusahaan atau individu memiliki utang dalam jumlah besar, deflasi membuat mereka harus membayar kembali utang tersebut dengan uang yang nilainya lebih tinggi daripada saat mereka meminjam. Hal ini bisa memicu kebangkrutan perusahaan dan kesulitan ekonomi bagi individu, yang pada akhirnya memperburuk kondisi ekonomi secara keseluruhan.
d) Risiko Spiral Deflasi
Salah satu bahaya terbesar dari deflasi adalah terjebak dalam spiral deflasi, di mana penurunan harga menyebabkan penurunan keuntungan bisnis, yang kemudian memicu pemutusan hubungan kerja, menurunkan pendapatan masyarakat, dan kembali menurunkan konsumsi. Jika ini terjadi, ekonomi bisa terus melemah dan sulit keluar dari siklus negatif tersebut.
2. Politik
Menjelang suksesi pada Oktober 2024, suasana politik dipenuhi ketidakpastian dan manuver partai-partai politik. Tarik menarik kekuasaan antar partai dari kubu Kurawa dan Pandawa untuk mengisi posisi strategis dalam pemerintahan berpotensi mengganggu konsistensi kebijakan publik. Kekhawatiran muncul bahwa agenda reformasi bisa terpinggirkan oleh kepentingan politik jangka pendek. Stabilitas politik di masa transisi ini menjadi isu krusial, karena ketidakpastian dapat menimbulkan penundaan dalam implementasi kebijakan yang dibutuhkan untuk mendorong pemulihan ekonomi.
3. Hukum dan Keamanan
Penegakan hukum masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi. Aparat penegak hukum dinilai lambat dalam merespons skandal korupsi dan isu-isu besar lainnya. Meskipun stabilitas keamanan tetap relatif terjaga, potensi konflik di beberapa daerah masih ada, dan ancaman terorisme di perbatasan tetap menjadi perhatian. Reformasi sistem peradilan diperlukan untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, terutama di masa transisi pemerintahan.
4. Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Kasus korupsi terus mencuat, mencerminkan tantangan serius bagi upaya pemberantasan korupsi di Mulwarengka. Penanganan tindak pidana Korupsi mendapat sorotan karena dinilai kurang efektif dalam menangani kasus-kasus korupsi besar. Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa praktik korupsi akan semakin sulit diberantas di tengah situasi politik yang dinamis dan kepentingan pribadi yang mendominasi. Reformasi birokrasi dan penguatan lembaga anti-korupsi sangat diperlukan agar bisa memperbaiki tata kelola pemerintahan dan membangun integritas di sektor publik.
Konon di masa pensiunnya, Petruk berjanji tidak lagi mengejar kekuasaan atau kemegahan, melainkan memilih untuk kembali pada akar kehidupannya yang sederhana. Inilah makna sejati dari kepemimpinan menjadi abdi, bukan raja yang berkuasa tanpa batas. (TA)