Kriminalisasi Pelanggaran ITE : Antara Kebebasan Berekspresi dan Pembatasan Hukum

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Kebebasan berekspresi merupakan hak fundamental yang dijamin oleh Undang- Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28E ayat 3 yang menyebutkanbahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat. Namun, di era digital saat ini, kebebasan tersebut sering kali berbenturan dengan regulasi hukum yang bertujuan untuk menjaga ketertiban sosial. Salah satu regulasi tersebut adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang banyak diperdebatkan terkait batasan-batasan hukum yang diberikan pada ruang kebebasanberekspresi.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kasus yang melibatkan pelanggaran UU ITE di Indonesia, memunculkan diskusi antara kebebasan berbicara di internet dan konsekuensi hukum yang mengikuti. UU ITE di satu sisi dianggap penting untuk mengontrol konten negatif dan menjaga ketertiban dunia maya, namun di sisi lain, dianggap sebagai alat untuk membungkam kritik atau ekspresi yang sah.

Konteks Sosial dan Hukum UU ITE

UU ITE pertama kali diundangkan pada tahun 2008 dan telah mengalami beberapa kali revisi, terutama terkait Pasal 27 ayat 3 yang mengatur tentang pencemaran nama baik. Pasal ini dianggap menjadi salah satu pasal yang paling kontroversial karena memberikan ruang yang cukup luas untuk menjerat individu yang dinilai mencemarkan nama baik melalui media elektronik.

Dari perspektif sosiologi hukum, fenomena ini mencerminkan bagaimana hukum kadang-kadang dapat dipergunakan untuk mengontrol norma sosial yang berkembang. Dunia digital memberikan platform yang lebih luas bagi individu untuk menyampaikan pendapat dan mengkritik berbagai hal, namun ketika pendapat tersebut dianggap melanggar hukum, terjadi benturan antara hak kebebasan berekspresi dengan batasan hukum.

Penggunaan UU ITE secara masif dalam kasus-kasus pencemaran nama baik atau ujaran kebencian menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat,pengamat hukum, serta aktivis kebebasan berekspresi. Banyak yang merasa bahwaUU ITE, terutama setelah revisi 2016, telah menjadi instrumen hukum yang over- regulated, sehingga membuka peluang kriminalisasi yang tidak proporsional terhadap ekspresi yang sah di dunia maya.

Kasus-Kasus Kriminalisasi Kebebasan Berekspresi

Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah penangkapan beberapa aktivis dan jurnalis yang dilaporkan atas dasar pencemaran nama baik atau penyebaran hoaks berdasarkan UU ITE. Kasus-kasus ini menciptakan ketakutan di kalangan pengguna internet bahwa kebebasan mereka untuk berbicara bisa berakhir di balik jeruji besi.

Misalnya, kasus Prita Mulyasari pada tahun 2009, yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit melalui email dan akhirnya di dakwa dengan pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE. Meskipun pada akhirnya ia dibebaskan, kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE bisadigunakan untuk menekan kebebasan berekspresi.

Fenomena serupa juga terjadi pada jurnalis dan pengguna media sosial yang dilaporkan karena kritik mereka terhadap pejabat publik atau institusi. Hal ini mengarah pada pertanyaan besar: apakah UU ITE lebih condong untuk melindungiinstitusi atau individu yang berkuasa daripada melindungi hak-hak warga negara?

Dilema Hukum dan Kebebasan

Dalam analisis sosiologi hukum, hukum seharusnya menjadi instrumen yang menciptakan ketertiban dan keadilan sosial. Namun, ketika hukum digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi, maka ada potensi penyalahgunaan kekuasaan yang harus diawasi. UU ITE dalam konteks ini menjadi cerminan bagaimana negara mencoba mengendalikan ruang publik yang sekarang berkembang ke dunia maya.

Di satu sisi, hukum diperlukan untuk mencegah penyebaran hoaks, fitnah, ujaran kebencian, dan konten negatif lainnya yang merugikan masyarakat secara luas. Namun, di sisi lain, batasan-batasan hukum tersebut tidak boleh terlalu ketat hingga mengekang hak-hak konstitusional masyarakat. Kriminalisasi berlebihan atas ekspresi bisa menciptakan efek “chilling effect”, di mana individu takut untuk berbicara atau menyampaikan pendapat yang berlawanan dengan pandangan arus utama atau penguasa.

Masa Depan Kebijakan UU ITE

Melihat perkembangan UU ITE dan kritik terhadap implementasinya, pemerintah telah menyatakan bahwa revisi lebih lanjut mungkin akan dilakukan untuk memperjelas batasan antara kritik yang sah dan pencemaran nama baik. Harapan ini muncul dari semakin banyaknya kritik yang disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, jurnalis, dan aktivis hak asasi manusia.

Masyarakat memerlukan perlindungan yang lebih jelas mengenai hak kebebasan berpendapat, terutama dalam ruang digital yang semakin luas. Revisi UU ITE diharapkan dapat memperkuat perlindungan kebebasan berekspresi tanpa mengorbankan kepentingan hukum yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari tindakan yang merugikan.

Kriminalisasi pelanggaran ITE, khususnya dalam konteks kebebasan berekspresi, menunjukkan dilema antara perlindungan hukum dan hak asasi manusia. Dalam era digital ini, di mana informasi dan pendapat dapat tersebar luashanya dalam hitungan detik, perlu ada keseimbangan yang tepat antara kebebasan berekspresi dan pembatasan hukum yang adil.

UU ITE adalah alat penting untuk menjaga ketertiban di dunia maya, namun penggunaannya harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu. Masa depan UU ITE akan sangat bergantungpada bagaimana kita, sebagai masyarakat, mendefinisikan batas antara ekspresi yang sah dan pelanggaran hukum di era digital.

Dampak Empiris terhadap Kebijakan UU ITE ke Depannya

Kebijakan UU ITE, khususnya dalam kaitannya dengan kebebasan berekspresi di ruang digital, akan mengalami sejumlah dampak empiris yang perlu diperhatikan ke depannya. Salah satu dampak yang paling jelas adalah peningkatan kesadaran publik mengenai hak-hak mereka di dunia maya. Kasus- kasus yang melibatkan pelanggaran UU ITE, seperti pencemaran nama baik atau penyebaran hoaks, telah mendorong masyarakat untuk lebih memahami batasan kebebasan berbicara mereka.

Kesadaran ini didukung oleh berbagai kelompok advokasi yang semakin vokal dalam memperjuangkan revisi UU ITE agar tidak digunakan secara represif. Dampak ini membuat isu kebebasan berekspresi semakin menjadi sorotan, baik dari sisi publik maupun pemerintah.

Pemerintah sendiri telah merespons kritik dengan mempertimbangkan revisi UU ITE. Hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa dampak empiris dari kebijakan ini akan terlihat dalam penyesuaian regulasi di masa mendatang. Kejelasan batasan mengenai pencemaran nama baik dan ujaran kebencian menjadiperhatian utama. Reformasi UU ITE diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara perlindungan hukum dan kebebasan berpendapat, sehingga masyarakat tetap terlindungi tanpa merasa kebebasan mereka dibatasi secara berlebihan.

Di sisi lain, implementasi UU ITE yang ketat dapat mempengaruhi demokrasi digital di Indonesia. Efek yang disebut sebagai “chilling effect,” di mana orang takut untuk menyuarakan pendapatnya karena khawatir dijerat hukum, bisa menurunkan kualitas diskusi publik. Jika UU ITE tidak segera direvisi, ini bisa mengakibatkan penurunan kebebasan berekspresi yang memengaruhi kemajuan demokrasi digital, di mana kritik dan perbedaan pendapat seharusnya bisa berkembang dengan bebas tanpa ancaman hukum yang berlebihan.

Dampak positif yang mungkin timbul dari UU ITE adalah meningkatnya literasi digital di kalangan masyarakat. Dengan adanya aturan yang mengatur konten online, pengguna internet akan semakin sadar akan pentingnya etika dalam berkomunikasi dan menyebarkan informasi. Literasi digital yang lebih baik akan mengurangi penyebaran

hoaks serta meningkatkan kualitas interaksi di dunia maya, karena masyarakat lebih hati- hati dalam mengakses dan membagikan informasi. Hal ini berpotensi memperbaiki ekosistem digital di Indonesia yang lebih sehat danbertanggung jawab.

Tak hanya itu, platform digital juga akan memainkan peran penting dalam penegakan UU ITE. Ke depan, perusahaan media sosial kemungkinan besar akan memperketat kebijakan moderasi konten untuk menghindari potensi pelanggaran hukum oleh pengguna mereka. Hal ini akan mengubah dinamika interaksi digital, di mana konten yang bersifat provokatif atau melanggar hukum bisa lebih cepat ditindaklanjuti atau dihapus. Meski tujuannya untuk menjaga ketertiban, langkahini harus dilakukan secara hati-hati agar tidak membungkam suara-suara sah yang masih dalam koridor kebebasan berpendapat.

Aktivisme sosial dan kritik terhadap pemerintah juga akan terdampak oleh kebijakan UU ITE. Jika hukum ini tetap diberlakukan dengan ruang yang terlalu luas untuk mengkriminalisasi kritik, kebebasan sipil di Indonesia bisa terancam. Aktivis, jurnalis, dan penggiat hak asasi manusia yang kerap bersuara kritis terhadap pemerintah mungkin akan semakin berhati-hati atau bahkan takut berbicara secara terbuka.

Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan yang tepat antara perlindungan hukum terhadap penyebaran informasi yang merugikan dan perlindungan terhadap hak asasi untuk berekspresi.

Dengan berbagai dampak tersebut, masa depan UU ITE sangat bergantung pada bagaimana kebijakan ini direvisi dan diterapkan di masa mendatang. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menemukan keseimbangan yang adil antara menjaga ketertiban hukum dan mempertahankan kebebasan berpendapat di era digital yang terus berkembang.

Penulis : Helwa Faris Bashel, S.H
Mahasiswa : Mahasiswa Magister Ilmu Hukum USU

Dosen : Dr Utary Maharany Barus SH MHum

Berita Terkini