Artis di Panggung Politik: Menakar Legalitas dan Kualitas Representasi dalam Pemilihan DPR

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Pemilihan artis sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menjadi fenomena yang semakin umum dalam pemilu di Indonesia. Banyak dari mereka berhasil memenangkan kursi legislatif, bukan hanya karena pengalaman politik yang mereka miliki, tetapi sering kali karena popularitas di kalangan masyarakat luas.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru-baru ini menetapkan 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2024-2029, termasuk beberapa artis yang sukses terpilih melalui Pemilu 2024. Keputusan ini tertuang dalam KPU RI Nomor 1206 Tahun 2024 tentang Penetapan Calon Terpilih Anggota DPR RI dalam Pemilu 2024. Penetapan artis sebagai anggota DPR ini kembali memicu perdebatan publik mengenai keterlibatan selebritas dalam politik. Dari perspektif hukum, keputusan ini menimbulkan beberapa isu penting yang perlu dikaji, terutama terkait legalitas, hak politik, dan implikasi terhadap kualitas demokrasi.

Secara hukum, tidak ada yang melarang artis untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, menjamin hak politik setiap warga negara untuk dipilih dan memilih tanpa diskriminasi. Artis, sebagai warga negara Indonesia, memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Ini berarti, profesi mereka sebagai artis tidak membatasi hak konstitusional mereka untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Selain itu, persyaratan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, hanya mengatur ketentuan umum seperti usia minimal 21 tahun, memiliki pendidikan minimal sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat, serta tidak sedang menjalani hukuman pidana. Tidak ada persyaratan yang mengharuskan calon memiliki pengalaman politik atau latar belakang tertentu, sehingga artis secara legal memiliki hak untuk maju dalam kontestasi politik.

Meskipun legalitas pemilihan artis sebagai anggota DPR tidak bisa diperdebatkan, pertanyaan yang lebih dalam adalah terkait dengan kualitas representasi yang mereka tawarkan. Fungsi utama seorang anggota adalah sebagai legislator yang bertanggung jawab membuat undang-undang, menyusun anggaran negara, dan mengawasi jalannya pemerintahan, ketiga fungsi tersebut terdapat dalam Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 20A dan Undang-undang No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Tugas ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang sistem politik, hukum, ekonomi, dan berbagai sektor kehidupan masyarakat.

Profesi artis umumnya berfokus pada dunia kreatif, yang jauh berbeda dari dunia legislasi yang sangat teknis dan kompleks. Hal ini memunculkan keraguan apakah popularitas semata dapat diterjemahkan menjadi kapasitas politik yang memadai. Masyarakat sering kali memilih artis bukan karena visi politik atau program kerjanya, tetapi karena keterkenalan dan pesona yang mereka bangun di dunia hiburan. Fenomena ini sering disebut sebagai politik pencitraan, di mana pemilih cenderung lebih memprioritaskan popularitas daripada kemampuan.

Artis yang terpilih sebagai anggota DPR dapat dilihat sebagai simbol dari demokrasi yang sehat, di mana berbagai lapisan masyarakat, termasuk kalangan selebritas, bisa terlibat dalam proses pembuatan kebijakan. Kehadiran artis di parlemen juga dapat membantu mengangkat isu-isu tertentu yang mungkin kurang terperhatikan, seperti seni, budaya, dan hiburan. Sebagai figur publik, artis memiliki kemampuan untuk menarik perhatian media dan masyarakat terhadap berbagai persoalan sosial yang penting.

Namun, tantangan terbesar yang dihadapi oleh artis di panggung politik yaitu mengubah popularitas menjadi efektivitas. Banyak yang khawatir bahwa artis yang kurang memahami proses legislasi akan sulit memberikan kontribusi substansial dalam pembuatan undang-undang atau pengawasan kebijakan. Selain itu, artis yang tidak memiliki landasan politik atau ideologi yang jelas dapat menjadi kurang

Berorientasi pada program kerja konkret, sehingga hanya berperan sebagai “penggembira” di parlemen tanpa memberikan dampak signifikan terhadap kebijakan publik.Selain pertimbangan legalitas dan kapasitas, aspek etika politik juga menjadi relevan dalam pemilihan artis sebagai anggota DPR. Menjadi wakil rakyat bukanlah peran yang bisa dijalankan setengah hati.

Artis yang memasuki dunia politik harus menyadari bahwa mereka tidak lagi berperan hanya sebagai selebritas, tetapi sebagai wakil rakyat yang memiliki tanggung jawab besar untuk mengedepankan kepentingan masyarakat luas. Mereka harus berkomitmen untuk terus belajar, meningkatkan kompetensinya di bidang politik, dan terlibat aktif dalam proses legislasi dan pengawasan kebijakan.

Artis yang terjun ke dunia politik harus mampu membedakan peran mereka sebagai figur publik di dunia hiburan dan sebagai legislator yang bertanggung jawab. Dengan adanya pemahaman dan komitmen ini, kehadiran mereka di parlemen akan memperbaik citra institusi DPR yang sudah sering dipandang negatif oleh masyarakat.

Pemilihan artis sebagai anggota DPR, dari segi hukum, tidak menimbulkan masalah karena hak mereka sebagai warga negara dijamin oleh konstitusi. Namun, tantangan terbesar terletak pada kualitas representasi yang mereka tawarkan. Popularitas tidak selalu sejalan dengan kompetensi, dan artis yang ingin sukses di dunia politik harus membuktikan bahwa mereka tidak hanya sekadar memanfaatkan ketenaran, tetapi juga siap belajar dan berkontribusi secara efektif dalam pembuatan kebijakan publik.

Masyarakat sebagai pemilih juga memiliki peran penting dalam memilih wakil rakyat yang tidak hanya populer, tetapi juga memiliki kemampuan dan visi yang jelas untuk memajukan bangsa. Pemilihan artis sebagai anggota DPR tidak dilihat semata-mata dari perspektif legalitas, tetapi juga kualitas representasi yang mereka bawa ke panggung politik.

Penulis : Dara Santari SH
Mahasiswa : Megister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
Dosen : Dr Uttary Maharany Barus SH MHum, Dr Afilla SH MHum

Berita Terkini