Cerita Pilu di Akhir Kekuasaan Jokowi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Penulis : Agung Wibawanto

Dulu mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia terutama mereka yang die harder Jokowi akan membayangkan sebuah farewell yang indah di akhir jabatan Jokowi. Jokowi akan dilepas dan diagungkan bak pahlawan penuh kehormatan oleh simpatisannya. Turun dari singgasana dengan anggun dan penuh pujian, kembali ke kota asalnya di Solo.

Semua itu memang sudah dibayangkan bahkan direncanakan oleh relawan, sebuah panggung peripurna seorang “Antitesis”. Sebagian simpul relawan sempat berkumpul dan membincangkan acara tersebut sebagai sebuah penghormatan terakhir untuk Jokowi atas kontribusinya dalam pembangunan dan pemerintahan Indonesia.

Itu di saat beberapa bulan sebelum pemilu 2024. Pada saat itu relawan masih dalam satu koridor dan memiliki keyakinan bahwa Jokowi akan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinannya kepada orang yang tepat, yakni Ganjar Pranowo, mengingat Jokowi adalah kader loyal PDIP (waktu itu). Jika pun ada nama Prabowo, maka menjadi kombinasi Ganjar-Prabowo atau sebaliknya.

Relawan tidak masalah siapa yang menjadi presiden dan siapa yang menjadi wakil presiden, sepanjang Jokowi dan PDIP masih seiring sejalan. Untung tak dapat diraih buntung tak dapat ditolak. Kenyataannya berujung beda dengan yang diharapkan. Jokowi dan PDIP pecah kongsi. Jokowi ingin komposisinya adalah Prabowo-Ganjar, namun PDIP ingin sebaliknya.

Pertanyaan relawan ketika itu, mengapa Jokowi yang kader loyal PDIP lebih menghendaki Prabowo sebagai presiden? Terkuak kemudian, ada ketidakharmonisan keinginan antara Jokowi dan PDIP. PDIP tidak akan memberi keistimewaan apa-apa (kekuasaan) kepada Jokowi, sedangkan jika memilih Prabowo, Jokowi masih bisa menyetir apa yang menjadi inginnya.

Kondisi tersebut sesungguhnya sudah terlihat lama ketika ada wacana tiga periode dimunculkan (oleh Bahlil cs). Wacana itu ditolak mentah-mentah oleh Megawati yang berpegang kepada aturan konstitusi (2 periode). Lalu diusulkan penundaan pemilu hingga perpanjangan masa jabatan presiden. Itu pun tidak didukung oleh PDIP. Relawan melihat itu semua sebagai pertanda perpecahan.

Bahkan ketika Jokowi memilih bersikap membangkang bahkan dianggap menusuk dari belakang kepada PDIP yang sudah membuatnya menjadi “seseorang”, sebagian besar relawan masih tetap setia tegak lurus kepada Jokowi. Karena jika dilihat irisan pendukung Jokowi, maka mayoritas adalah non-partai, dan dari sebagian non-partai itu termasuk para pembenci PDIP.

Sebagian kecil pendukung setia Jokowi ada juga yang merupakan kader dan simpatisan PDIP. Bagi kader loyal PDIP, sikap memisahkan diri Jokowi sudah jelas dianggap penghianatan. Artinya, massa pendukung Jokowi mengalami pengurangan secara kuantitas meski kecil. Relawan Jokowi sebagian besar masih bertahan dalam posisi mendukung Jokowi.

Namun tiba pada satu titik yang itu dianggap sebagai puncak kebimbangan relawan kepada Jokowi. Putera mahkota alias Gibran dengan sangat tiba-tiba dan dengan cara yang dianggap sama sekali tidak etis, diangkat sebagai calon wakil presiden yang akan mendampingi Prabowo (ketika itu). Irisan relawan Jokowi lainnya yang berasal dari kalangan terdidik kelas menengah (civil society), menganggap Jokowi sudah off side.

Mereka kalangan profesional, akademisi, budayawan/seniman dan media, menyatakan keprihatinan hingga menyatakan mencabut dukungan dari Jokowi. Jokowi dianggap pula telah menghianati cita-cita dan perjuangan demokrasi yang selama ini didengungkan kaum civil society. Jokowi sudah tidak ada tempat bagi mereka, meski mereka juga bukan “kaki-tangan” PDIP.

Hingga pula Prabowo-Gibran berhasil menang mutlak 58% namun melalui cara-cara yang sekali lagi dianggap unfair, tidak demokratis dan tidak etis. Kemenangan Prabowo sudah diprediksi dan tidak mengejutkan mengingat koalisi besar yang mendukungnya. Terlebih pemilih sudah diberi “sesuatu” pada saat kampanye. Kesemuanya membuat relawan yang tadinya pendukung setia Jokowi justru menjadi anti pati.

Sekali lagi relawan melihat ini bukan soal siapa tapi soal bagaimana (cara). Jokowi dulu didukung juga karena nilai-nilainya, bukan karena nama dan siapa partai yang pendukungnya. Kini relawan tidak rela nilai-nilai hukum dan demokrasi diobok-obok hanya demi melanggengkan kekuasaan keluarga Jokowi. Secara karakter, Prabowo juga jauh dibandingkan dengan Jokowi yang dulu.

Kini di akhir masa jabatan, terlihat langkah Jokowi semakin tertatih-tatih kelelahan mengejar ambisinya sendiri. Utang negara semakin menumpuk, proyek banyak yang belum selesai, IKN diambang ketidakpastian. Bahkan kini pribadi dan keluarga menjadi target pengulikan netizen yang dulu sebagian besar sebagai pendukung Jokowi.

Kini Jokowi seperti kehilangan pegangan dan partner yang dulu selalu menjaganya, yakni PDIP. Orang di sekitaran dan juga partai pendukungnya belum ada yang dianggap mumpuni mengawal Jokowi seperti yang dilakukan PDIP. Ingat, dulu juga sudah dimulai penghujatan pribadi Jokowi dan keluarga. Juga terkait dengan program kebijakan Jokowi.

Namun kini makin berlarut di setiap isu penyerangan yang muncul. Lihat saja kasus fufufafa sebenarnya hal yang sangat receh (dilihat materinya), juga terkait dengan jet pribadi yang ditumpangi Kaesang dan Bobby. Pendukung setianya sekarang sibuk memberi alasan pembenar. Mereka menjelaskan. Sayangnya, materi penjelasan tidak sinkron yang membuat makin kacau dan aneh.

Fufufafa semula dianggap akun milik Gibran tapi sudah lama tidak dipakai karena lupa passwordnya, lalu digunakan orang yang tidak bertanggungjawab. Soal kapan mulai tidak dipakai tidak dijelaskan. Lalu berubah dikatakan itu bukan milik Gibran meski akun rekeningnya jelas atas nama Gibran (meski sudah diganti sebagai nama Slamet). Ini bukan soal materinya, melainkan substansinya yakni soal integritas.

Pemimpin yang baik akan selalu berani bersikap jujur mengakui. Gibran, misalnya, mengakui saja itu memang akun miliknya, lalu meminta maaf. Apa salahnya jika dulu (2014) Gibran menyerang Prabowo sebagai kompetitor Jokowi (bapaknya), tapi sekarang mendukung Prabowo? Toh juga banyak relawan Jokowi yang dulu memaki Prabowo tapi kini menjilatnya, seperti PSI?

Lihatlah Kaesang dan Gibran yang menghilang (tepatnya menghindar), namun pendukungnya yang sibuk menjawab mengklarifikasi. Nyaris semua orang kini memojokkan Jokowi dan keluarga. Sebaliknya orang-orang penting nan cerdas pendukung Jokowi justru diam. Prabowo diam, begitupun Airlangga, Zulhas dan Surya Paloh. Mereka tidak berani bersuara atas isu-isu yang menyerang Jokowi seputar IKN dan keluarga.

Budiman Sudjatmiko, Maruara Sirait, mereka bungkam atau memang sudah tidak dipakai lagi? Kasihan sebenarnya Jokowi, tapi itulah harga yang harus dibayarnya sebagai politisi yang memiliki hasrat berkuasa berlebih. Relawan dulu membayangkan akan anggun jika Jokowi turun saat masih berposisi di puncaknya. Sangat elegan ketika dia meninggalkan panggung di saat kebintangannya masih bersinar. Tapi kini terlambat sudah***

Berita Terkini