Jokowi Efek, Postur APBN 2025 Tak Menjamin Pemerintahan Prabowo Stabil

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era 90an.

Berapapun besar nominal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) suatu negara, tidak akan mampu menjamin tercapainya kemakmuran ekonomi jika tidak didukung oleh kepastian hukum (rule of law) dan stabilitas sosial politik yang kokoh. APBN, dengan segala detail angka dan perencanaan, hanya akan menjadi alat yang tidak efektif jika elemen-elemen fundamental dalam tata kelola negara diabaikan. Di awal pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto, tantangan ini akan semakin nyata ketika kemungkinan munculnya tuntutan dari berbagai elemen masyarakat, mahasiswa, aktivis, hingga rakyat umum yang mendesak proses hukum terkait dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melibatkan mantan Presiden Joko Widodo, keluarganya, serta kroni-kroninya dalam sejumlah proyek pembangunan nasional.

Sejarah menunjukkan bahwa ketidakpastian hukum dan ketidakstabilan sosial politik sering kali menjadi batu sandungan terbesar bagi keberhasilan kebijakan ekonomi. Tanpa adanya kejelasan dalam penegakan hukum dan pemerintahan yang bersih, investor enggan menanamkan modal, pasar menjadi ragu, dan akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Apapun asumsi makro yang telah direncanakan, dari pertumbuhan ekonomi hingga inflasi, akan sangat rentan terhadap gejolak politik yang tidak menentu.

Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis, 19 September 2024, yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Lodewijk Freidrich Paulus, menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dengan nilai mencapai Rp3.621 triliun. APBN ini akan menjadi instrumen yang dipegang oleh Presiden Prabowo untuk menjalankan pemerintahan dalam lima tahun ke depan dengan warisan utang jumbo pemerintahan Jokowi. Namun, dengan kehadiran Menteri Keuangan Sri Mulyani dan jajaran pemerintah lainnya dalam sidang, kita diingatkan bahwa meskipun perencanaan fiskal telah disusun dengan matang, stabilitas sosial politik dan kepastian hukum tetap menjadi penentu utama dalam keberhasilan implementasi anggaran ini.

Analisis Resiko APBN 2025

1. Pendapatan Negara Rp.3.006,12 triliun. Jika ketidakpastian politik terjadi akibat tuntutan penegakan hukum terkait dugaan KKN pemerintahan sebelumnya, pemerintah akan menghadapi resiko gagal mencapai target pendapatan, terutama dari pajak dan investasi. Investor asing dan domestik akan cenderung menunda atau membatalkan investasi mereka jika melihat instabilitas politik. Sebagai contoh, krisis di Brazil pada era Presiden Dilma Rousseff, yang dihadapkan pada skandal korupsi besar (Operation Car Wash), membuat ekonomi terpuruk karena kepercayaan investor menurun drastis. Jika kasus serupa terjadi di Indonesia, resiko terhadap ketidakmampuan pemerintah untuk mengumpulkan pendapatan negara menjadi nyata.

2. Penerimaan Pajak Rp.2.189,30 triliun. Kegagalan menanggapi tuntutan publik terhadap penegakan hukum akan mengikis kepercayaan terhadap pemerintah, dan ini bisa memicu penurunan kepatuhan wajib pajak. Skandal korupsi yang terjadi di negara-negara seperti Yunani, di mana pemerintah gagal menanggulangi korupsi dan ketidakpastian hukum, menyebabkan menurunnya kepatuhan pajak dan memperparah krisis ekonomi di negara tersebut. Indonesia berisiko menghadapi hal serupa jika tidak segera merespons dengan transparansi dan ketegasan hukum.

3. Belanja Pemerintah Pusat Rp.2.701,44 triliun. Ketidakstabilan politik menyebabkan belanja pemerintah tidak berjalan sesuai rencana, baik karena protes masyarakat yang terus meningkat, maupun karena penurunan penerimaan negara yang memaksa pemotongan belanja. Ini pernah dialami oleh Argentina saat krisis ekonomi pada tahun 2001, di mana pemerintah gagal mengelola pengeluaran negara akibat ketidakstabilan politik dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Jika kondisi ini terjadi di Indonesia, proyek-proyek infrastruktur penting bisa tertunda, atau bahkan dihentikan.

4. Belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) Rp.1.094,55 triliun. Ketidakpastian politik juga bisa memperlambat implementasi program-program kementerian dan lembaga negara, karena birokrasi cenderung menahan diri dalam situasi yang tidak stabil. Seperti yang terjadi di Venezuela di bawah pemerintahan Hugo Chavez, di mana ketidakstabilan politik menyebabkan runtuhnya kinerja birokrasi dan kegagalan dalam implementasi berbagai program pembangunan. Dampak yang sama dapat terjadi di Indonesia jika tidak ada tindakan cepat untuk menstabilkan situasi politik.

5. Transfer ke Daerah (TKD) Rp.919,87 triliun. Ketidakstabilan politik di tingkat pusat bisa memicu gejolak di daerah, terutama jika terjadi penundaan transfer anggaran. Hal ini akan mempengaruhi pembangunan daerah dan pelayanan publik. Pengalaman buruk yang dialami oleh negara Sudan, di mana ketidakstabilan politik pusat berujung pada konflik daerah dan penurunan drastis dalam pembangunan regional.

Rumania dan Penegakan Hukum

Rumania pernah mengalami krisis politik dan sosial besar-besaran akibat kegagalan pemerintah dalam menangani korupsi di level tertinggi. Pada awal tahun 2017, jutaan warga Rumania turun ke jalan menentang keputusan pemerintah yang dianggap melemahkan upaya penegakan hukum dalam kasus korupsi. Akar masalah ini dimulai ketika pemerintahan Perdana Menteri Sorin Grindeanu mencoba menerbitkan Emergency Ordinance 13 pada Januari 2017, sebuah peraturan yang bertujuan untuk meringankan hukuman bagi sejumlah pelaku korupsi, termasuk tokoh politik. Salah satu figur utama yang terkait adalah Liviu Dragnea, Ketua Partai Sosial Demokrat (PSD) yang saat itu merupakan penguasa politik terbesar di Rumania. Dragnea tidak dapat menjadi Perdana Menteri karena terlibat dalam kasus penyalahgunaan kekuasaan dan manipulasi pemilu, namun tetap menjadi pengaruh besar di balik kebijakan pemerintah.

Protes nasional yang terjadi saat itu merupakan yang terbesar sejak jatuhnya rezim komunis pada tahun 1989, dengan lebih dari 500.000 orang memadati jalan-jalan di Bucharest dan kota-kota besar lainnya. Mereka menuntut pembatalan peraturan yang dianggap sebagai langkah mundur dalam perang melawan korupsi. Pemerintah Grindeanu akhirnya menarik peraturan tersebut, namun krisis politik yang diakibatkannya tetap meninggalkan bekas dalam lanskap politik dan ekonomi negara tersebut.

Krisis ini menunjukkan bagaimana ketidakmampuan pemerintah untuk merespons tuntutan rakyat terkait penegakan hukum bisa berdampak buruk pada stabilitas politik dan ekonomi. Dampaknya, kepercayaan investor menurun, mata uang Rumania (Leu) melemah, dan ekonomi negara itu mengalami goncangan. Sejak saat itu, Rumania terus berjuang untuk memperbaiki citra penegakan hukum dan korupsi yang masih menjadi isu utama di negara tersebut.

Kejadian di Rumania ini memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, tentang risiko besar yang muncul ketika pemerintah gagal merespons tuntutan rakyat untuk memberantas korupsi secara tegas. Di Indonesia, jika kasus dugaan KKN yang melibatkan mantan Presiden Joko Widodo, keluarganya, dan kroni-kroninya tidak diatasi dengan baik oleh pemerintahan baru, situasi serupa dapat terulang.

Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat 20 September 2024, 06:09 Wib.

Berita Terkini