Cakada Berijasah SMA dan Kejar Paket C, Mencari Pemimpin Dengan Standar Kapasitas Atau Isi Tas?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Penulis : Dahono Prasetyo
Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, persyaratan pendidikan terakhir calon kepala daerah ditetapkan berijasah SMU atau sederajat. Beberapa calon kepala daerah memanfaatkan syarat pendidikan minimal tersebut untuk maju, dengan mempertimbangkan popularitas dan ketokohan lebih banyak berperan dalam  menarik simpati pemilih.

Namun di sisi lain banyak pihak menilai, kelas intelektual calon kepala daerah akan banyak ditentukan oleh melalui backround pendidikan yang pernah dijalaninya. Seberapa pentingnya latar belakang pendidikan terkait visi misi membangun daerahnya kelak jika terpilih?

Kepala Daerah terpilih karena ketokohannya itu ada di kelas empati sosial, bukan empati intelektual. Saya tidak mengatakan calon kepala daerah berijasah Sarjana lebih pintar daripada yang hanya berijasah SMU sederajat. Tetapi kita berada di era keterbukaan informasi dimana kemampuan intelektual menyikapi persaingan global dibutuhkan kebijakan secara akademis

Beberapa calon kepala daerah menggunakan ijasah persamaan Kejar Paket C (setara SMA) sebagai syarat minimal pendidikan di KPU. Secara konstitusional sah, namun kepala daerah adalah jabatan publik yang sarat dengan produk kebijakan berorientasi akademis.

Karena ketokohannya, seorang kepala daerah yang hanya berijasah Kejar Paket C bisa mendapat suara terbanyak dalam Pilkada. Namun setelah menjabat dia akan berhadapan pembantu dan penasihat kebijakan dengan background pendidikan di atasnya. Bertemu manajemen dan birokrasi pemerintahan hingga digitalisasi tehnologi di beberapa bidang. Ketokohan selesai seiring Pilkada, selanjutnya kapasitas intelektual sosok akan teruji saat memegang jabatan.

Kepala daerah yang berstatus jabatan politik lahir dari dukungan Partai Politik, sesungguhnya bertentangan dengan prinsip pelayanan pemerintahan kepada warga masyarakat.

Kepala Daerah saat sudah dilantik berubah menjadi pelayan rakyat, bukan lagi kepanjangan tangan kekuasaan dan kepentingan Parpol. Bagaimana melahirkan kebijakan yang adil dan berlaku tidak hanya kepada pendukungnya saja. Bupati, Walikota atau Gubernur yang suatu saat terlibat korupsi disebabkan mereka lebih cenderung menjalankan “misi” daripada visi. Dalam definisinya orientasi misi terselip substansi kepentingan, bisa pribadi atau kelompok parpol pengusungnya.

Pilkada serentak 2024 dengan segala dinamikan tarik ulur kepentingan politik  tidak sedikit diikuti oleh calon kepala daerah dengan proses instant. Perebutan rekomendasi partai politik di ratusan daerah secara bersamaan bukan lagi mempertimbangkan kualitas. Tetapi akan berkoalisi dengan kubu apa lengkap dengan mahar transaksi surat rekomendasi.

Cari sosok yang bisa dikendalikan, rebut dulu kekuasaan, urusan kapasitas dipikir belakangan yang penting maju dulu. Barangkali itu yang terjadi beberapa minggu sebelum KPU resmi menutup jadwal pendaftaran paslon.  Yang terjadi kemudian banyak Cakada yang cenderung menjadi boneka parpol karena ketokohannya, bukan dicalonkan karena kapasitas intelektualnya berlatar belakang pendidikan. Tidak sedikit sosok potensial justru tersingkir karena tidak mau menjadi boneka kekuasaan dan mendapat dukungan Parpol.

Bagi oligarki parpol yang menginginkan pilkada lebih simple ya bikin paslon melawan kotak kosong. Dan kita bisa mengukur kualitas kepala derah hasil pilkada serentak tidak lebih baik dibanding pilkades. Pesta demokrasi hanya menjadi alat mempertahankan oligarki kekuasaan dan itulah mengapa Indonesia kali ini sedang tidak baik-baik saja.

Berita Terkini