Faisal Basri: guru, kompor, inspirasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Penulis : Ari Perdana

“Saya bisa melihat jauh ke depan karena saya berdiri di pundak seorang raksasa.” Ini diucapkan oleh Sir Isaac Newton pada satu ketika, untuk menggambarkan bagaimana pengetahuan kita tentang dunia merupakan kelanjutan dari pemikiran orang-orang sebelum kita.

Di bulan September 1993 saya bertemu dengan seorang raksasa bernama Faisal Basri—Bang Faisal, begitu ia dikenal. Saya adalah mahasiswa baru Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (sekarang Fakultas Ekonomi dan Bisnis) yang sedang mengikuti Orientasi Perguruan Tinggi (OPT). Faisal Basri adalah salah satu dosen muda yang diundang untuk mengisi salah satu kuliah umum. Saya belum pernah mendengar namanya, meski agaknya ia sudah banyak menulis atau dikutip oleh media.

Kami duduk di Ruang 02 kampus Salemba. Dalam kurang dari sebulan, FEUI akan resmi pindah ke kampus Depok. Tapi kami masih sempat merasakan duduk di ruangan yang menghasilkan sekian banyak guru besar dan praktisi ekonomi sejak tahun 1950an. Saya lupa apa judul makalah Bang Faisal di buku pegangan OPT. Kurang lebih semacam “Perkonomian Indonesia di Era Orde Baru.” Saya juga lupa isinya. Tapi saya tidak bisa lupa bagaimana di kuliah umum itu Bang Faisal menjelaskan sisi lain dari pertumbuhan ekonomi yang dinikmati Indonesia. Dengan gamblang ia juga menyebutkan bagaimana praktek korupsi dan kroniisme yang dijalankan Orde Baru adalah masalah besar.

Di tahun 1993 Orde Baru sedang di puncak legitimasi. Ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 7%. Kelas menengah, setidaknya dalam hal ekonomi, membesar dan merasakan berbagai kenyamanan yang tidak ada sebelumnya. Dalam situasi yang serba “baik-baik” saja itu, Bang Faisal memberikan perspektif yang berbeda. Ia bahkan berani menyebut nama Suharto; butuh keberanian untuk melakukan hal itu di sebuah forum di tahun 1993. Istilahnya, Bang Faisal adalah ‘kompor’, seorang ‘agent provocateur’. Saat itu setidaknya ia mendapatkan satu pengikut.

Kuliah umum Bang Faisal adalah momen yang membentuk saya sebagai mahasiswa. Pertama, itu membuat saya yakin untuk memilih jurusan Ekonomi Studi Pembangunan (ESP, sekarang disebut Ilmu Ekonomi). Saat itu mahasiswa baru FEUI baru akan memilih jurusan di tahun kedua. Seleksi alam membuat jurusan ESP adalah jurusan paling sedikit peminatnya. Hanya ada 11 orang di angkatan saya yang masuk ESP. Di angkatan atas, agaknya jumlah mahasiswa ESP tidak pernah lebih dari 20 orang.

Kedua, Bang Faisal memberikan inspirasi bahwa diskusi yang kritis, sedikit menyerempet subversif (sekali lagi, ini label yang sangat berat di waktu itu) adalah bagian dari kehidupan kampus. Saya mulai melamun, siapa tahu nanti saat saya jadi mahasiswa akan ada demonstrasi besar dan Suharto bisa turun… (Di tahun 1993, ini adalah lamunan; di tahun 1998 lamunan ini jadi kenyataan).

Selanjutnya, setahun kemudian saya resmi menjadi mahasiswa ESP. Hanya satu mata kuliah Bang Faisal yang saya ambil: Ekonomi Politik. Tapi di luar itu kalau Bang Faisal menjadi pembicara diskusi, saya dan beberapa teman berusaha untuk hadir. Isi kuliah dan ceramahnya ya ujung-ujungnya adalah: kompor! Dalam mengompori audiens, Bang Faisal bisa mengemas esensi kritiknya dalam diksi yang indah, pemikiran yang runut, dan data yang solid.

Di kampus, saya akan cari-cari alasan untuk bisa main ke ruangan beliau. Biasanya saya tanya ke Mbak Tuti, admin di jurusan, kapan Bang Faisal ke kampus Depok. Kalau sudah tahu jadwal Bang Faisal ke Depok, saya akan pura-pura mengerjakan sesuatu di Gedung jurusan (penekanan pada “pura-pura”). Dari kejauhan kita sudah bisa melihat kalau Bang Faisal datang: sosok kurus mengenakan kemeja biru muda, celana khaki, dan sandal gunung sambil memanggul ransel dan menghisap rokok. Sampai tahun 2000an ini adalah fashion statement tipikalnya.

Bang Faisal tidak pernah menolak kalau kami mampir ke ruangan. Dia juga hampir tidak pernah menolak undangan diskusi dari mahasiswa. “Haram hukumnya buat saya menolak undangan mahasiswa,” katanya di suatu ketika. Tapi itu juga yang membuat sulit untuk ketemu dia.

Lalu 1997-98 datang. Apa yang Bang Faisal sampaikan di September dan di berbagai kesempatan setelah itu, 1993 tentang keroposnya landasan ekonomi Orde Baru, menjadi kenyataan. Demikian lamunan saya saat jadi mahasiswa tahun pertama: tanda-tanda kejatuhan Orde Baru sudah di depan mata. Saya bergabung dengan teman-teman di Kesatuan Aksi Keluarga Besar Universitas Indonesia (KA-KBUI). Di satu-dua kesempatan kami mengundang Bang Faisal untuk memberikan orasi.

Tapi Bang Faisal bukan tipe orang yang mencari panggung. Dia tahu bahwa panggung 1998 adalah milik mahasiswa. Dia akan tampil saat diminta, atau membaur bersama mahasiswa. Ketika Semanggi II pecah, saya sedang melanjutkan kuliah di Canberra. Tapi saya mendengar cerita Bang Faisal ikut di kampus Atma Jaya, terperangkap bersama mahasiswa. Ia ikut memaki apparat yang melakukan kekerasan. Tapi makian paling kasar yang pernah keluar dari mulutnya adalah “bedebah…!”

Setelah Suharto turun, Bang Faisal terpanggil untuk masuk politik. Ia masih punya romantisme untuk “berjuang dang mengubah dari dalam.” Bersama sejumlah tokoh politik dan masyarakat, Bang Faisal ikut mendirikan Partai Amanat Nasional. Ia bahkan menjadi Sekjen PAN yang pertama. Saat itu PAN dicita-citakan menjadi partai yang terbuka dan inklusif. Tapi setelah Pemilu 1999, PAN hanya meraih 7% suara, PAN berubah haluan. Bang Faisal memutuskan untuk keluar.

Di tahun 2012 Bang Faisal kembali mencoba berjuang di jalur politik. Ia maju sebagai kandidat independen di Pilgub DKI. Some things are just not meant to be. Dunia politik agaknya bukan panggung yang sesuai buat Faisal Basri. Meski demikian, Bang Faisal menunjukkan bahwa ia sudah mencoba, dan sudah sebaik-baiknya berusaha.

Bang Faisal juga sempat menjadi anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan anggota Satgas ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi. Tapi kami yang pernah mengenalnya di kampus akan mengenangnya sebagai guru, sebagai kompor, dan sebagai inspirasi.

Selamat jalan, Bang Faisal. Hidupmu sudah lengkap, sekarang beristirahatlah… **

Berita Terkini