Jangan Jual Suaramu

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Penulis : JD Kuncoro Pemerhati masalah Sosial dan Politik tinggal di Semarang

Mudanews.com Montesquieu (1689 – 1755) membagi kekuasaan dalam negara menjadi tiga cabang kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif yang membentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang-undang dan kekuasaan yudikatif yang melaksanakan hukum. Itulah konsep trias politica yang kita jalankan hari ini. Dengan pembagian itu diandaikan timbul mekanisme check and balance yang theoretically dapat mencegah penyalah gunaan kekuasaan. Namun barangkali Montesquieu tidak pernah menduga bahwa pembagian kekuasaan yang nampaknya ideal itu bisa berwajah anti demokrasi ditangan penguasa yang “cerdik”. Saya gunakan diksi cerdik karena tidak mudah “mengangkangi” tiga cabang kekuasaan tersebut sekaligus, dimana sebelumnya tak terbayangkan bisa terjadi dalam sistem demokrasi liberal.

Selain tiga cabang kekuasaan itu, Montesquieu mungkin tidak menyadari – di jaman itu – bahwa kemudian muncul satu cabang kekuasaan ekstra government tetapi kekuasaannya sangat besar yakni sektor ekonomi swasta. Pada sistem demokrasi langsung seperti Indonesia maupun tidak langsung seperti Amerika Serikat, kekuatan ekonomi/finansial terbukti ikut menentukan arah pemerintahan, meskipun partisipasinya bersifat informal. Mengapa? karena demokrasi itu costly, sangat mahal dan seringkali tidak masuk akal bagi awam. Disinilah celah sektor prifat masuk untuk melindungi investasinya. Selain untuk menangkap opportunity dari proyek-proyek pemerintah. Tak pelak kedekatan mereka dengan pusat-pusat kekuasaan menjadi strategis. Praduga ini menjelaskan mengapa oligarki semacam “9 Naga” bisa terbentuk berkelanjutan.

Sekarang bayangkan seandainya keempat cabang kekuasaan itu tunduk dalam satu “genggaman tangan” seorang Kepala Negara, niscaya negara is in danger. Demokrasi tereduksi menjadi kerangka formal yang rapuh dan menjauh dari nilai hakikinya. Demokrasi melemah menjadi sekedar “gimmick” yang nampak benar secara prosedural namun salah secara hakekat. Mengapa? Karena elemen-elemen demokrasi seperti legislatif, yudikatif dan civil society tidak berdaya dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Mereka ditumpulkan oleh “Sang Raja” dengan menjadikan cabang kekuasaan yudikatif sebagai “instrument” kekuasaan. Praktis kekuasaan berpusat di satu tangan.  Dengan demikian dia dapat melebarkan pengaruhnya, mengintimidasi lawan politiknya dan otomatis lebih mudah melanggengkan kekuasaannya. Alhasil trias politica tidak bekerja sesuai harapan Montesquieu. Seandainya beliau masih hidup tentu bakalan merevisi teorinya sambil menangis sedih.

Paska tumbangnya Orde Baru, kita memasuki era demokrasi liberal, dimana saluran aspirasi rakyat tersedia melimpah berkat penemuan media sosial semacam Instagram, Facebook, Tik Tok, Whatsapp dsb.  Sayangnya keriuhan media sosial yang sejatinya sarat aspirasi rakyat, tidak berbanding lurus dengan perilaku penguasa dalam memenuhi kehendak rakyat. Penguasa bisa “stay tone deaf” dengan dalih demokrasi telah dijalankan sesuai ketentuan Undang Undang. Alhasil persoalan mendasar seperti kebodohan, kemiskinan, korupsi, kolusi dan nepotisme sulit diberantas. Saluran politik nampak seolah terbuka tetapi sejatinya tertutup. Kebuntuan ini lantas menciptakan bottle neck permasalahan. Inilah yang saya maksud negara dalam keadaan bahaya, in danger. Hanya butuh pemantik kecil kemarahan rakyat bisa meledak dan berujung riot. Kita telah menyaksikannya beberapa waktu yang lalu di negara ini dan di Bangladesh.

Kekuasaan bagi elit politik ibarat narkoba yang menyebabkan “sakau” ketika tidak ditangan. Maka kekuasaan harus dipertahankan apapun caranya. Seorang tokoh politik bahkan pernah mengatakan bahwa dalam kamus politiknya kekalahan itu haram hukumnya. Maka selain itu halal. Semua boleh dilakukan asal menang. Ironisnya ketika duduk ditampuk kekuasaan, seorang politisi bisa tiba-tiba “tuli” telinganya, “buta” matanya, dan “beku” hatinya terhadap aspirasai rakyat. Hanya satu yang mereka peduli yakni mempertahankan kekuasaannya selama mungkin. Itulah mengapa (sengaja dibuat) tidak ada aturan yang membatasi berapa kali seseorang boleh menjabat anggota DPR/DPRD. Disini anggota DPR/DPRD dapat memuaskan nafsu berkuasa selamanya. Mereka boleh menjabat kapan saja sepanjang terpilih. Secara sadar mereka telah mengkonfirmasi teori Lord Acton, the power tends to corrupt, power absolutely corrupt absolutely. Ini tentu tidak fair karena merugikan rakyat dan negara mengingat jabatan selain anggota DPR/DPRD berlaku pembatasan masa jabatan. Alhasil regenerasi terhambat, generasi muda potensiil tapi miskin tidak mendapat kesempatan.

Saya kira sudah saatnya dilakukan pembatasan periode jabatan anggota DPR dan DPRD, misalnya maksimal dua kali atau tiga kali. Dengan demikian regenerasi kepemimpinan berjalan baik, birokrasi negara berjalan lebih efektif dan akomodatif terhadap dinamika jaman. Jangan menunggu chaos baru dilakukan pembatasan karena “harganya” terlalu mahal.

Sylvester Stallone dalam  film Judge Dredd (1995) berperan sebagai hakim Dredd mengatakan: “Saya tidak pernah bersalah karena saya adalah hukum, I am the law”. Metaphor ini sangat tepat menggambarkan kondisi Indonesia, dimana seorang Kepala Negara bisa menguasai tiga cabang kekuasaan negara plus satu kekuasaan ekonomi sekaligus, sehingga bisa mengatakan “I am the law”. Pada titik ini tidak ada kritik yang layak didengar, tidak ada nasehat yang patut diperhatikan karena I am the lawVox populi vox dei? it’s bullshit because I am the law. Rakyat hanya dianggap sebagai angka untuk mengkonfirmasi popularitas dan elektabilitas belaka. Tatkala semua bisa diatur, kekuasaan menjadi absolut. Sungguh sebuah ironi bagi negara demokrasi sebesar Indonesia.

Rakyat hanya berkuasa ketika pemilu. Oleh karena itu jangan jual suara kalian wahai rakyat Indonesia!, karena hanya itulah momen dimana kalian sebagai rakyat berkuasa. Setelah itu kalian dilupakan dan hanya mampu menjadi penonton menyaksikan pesta pora elit negeri menikmati kue kekuasaan yang telah kalian berikan.

Paham? Semoga

 

Berita Terkini