Gerakan ke-NU-an dan Kesadaran Internal

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Membicarakan NU tidak ada habisnya. Ia bisa didekati melalui berbagai tema dan perspektif. Mulai sejarah kehadirannya hingga pertarungan ideologi kontemporer. Hal ini terjadi karena perjalanannya yang acapkali zig zag.

Pada suatu saat, ia begitu intens dalam dunia politik dan pada saat yang lain, ia sangat serius dengan pemberdayaan masyarakat pinggiran dan tertinggal. Pada jaman ORLA, NU secara organisatoris menjadi sebuah partai politik. Era ORBA, terutama pasca 1984, NU mengambil posisi gerakan high politics dengan konsentrasi pada empowering civil society dan di era reformasi, para punggawa NU beramai- ramai terjun dalam dunia politik praktis walau secara organisatoris ia tetap independen.

Di pihak lain, posisi NU, walau ia hanya diam, akan ditarik oleh berbagai kepentingan di luar dirinya. Alasanya adalah karena di samping jumlah anggotanya yang besar, juga karena komposisi anggotanya yang unik. Keunikan anggota NU bisa dilihat dari aspek sosiologis berikut.

Secara sosiologis, NU didirikan oleh elit keagamaan pedesaan yang terkumpul dalam komunitas lembaga pesantren. K.H. Hasyim Asy’ari adalah pemimpin pesantren pedesaan di Tebuireng. K.H. Wahab Hasbullah dan K.H. Bisri Syamsuri pun demikian. Mereka berdua adalah pemimpin pesantren di Denanyar dan Tambak Beras Jombang. Tidak lupa peran K.H. Cholil dalam memberi restu atas inisiatif pendirian NU. Ia adalah pemimpin pesantren pedesaan di daerah Bangkalan Madura.

Sebagai elit keagamaan, peran sosial mereka sangat mengakar kuat. Tidak hanya masalah ekonomi mereka yang lebih mapan, tetapi mereka menjadi tempat rujukan berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat seperti persoalan pernikahan, bercocok tanam hingga pengobatan.

Peran seperti ini menjadikan mereka sebagai unsur pemersatu masyarakat sekaligus tempat penyaringan berbagai informasi dan pengetahuan luar yang masuk dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat kepada mereka sangat tinggi. Banyak para sosiolog menggambarkan hubungan masyarakat dengan mereka adalah hubungan patron clien, yaitu suatu hubungan kepatuhan dan tidak terlalu bersikap kritis atas tindakan mereka.

Karakter sosiologis pendiri ini dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin berikutnya. Para pemimpin organisasi ini mulai tingkat pusat hingga ranting banyak dipegang oleh orang yang bergelar Kiai atau pemimpin pesantren. Ada semacam aturan tidak tertulis bahwa organisasi ini ”wajib” dipimpin oleh pemimpin pesantren atau minimal yang memiliki kekerabatan dengan pesantren.

Logo NU.

Akibatnya seringkali dijumpai dua hal fakta. Pertama, sering ditemukan seseorang karena ingin mencari legalitas tidak tertulis tersebut mendirikan pesantren walaupun secara keilmuan ia tidak memiliki kualifikasi memadai untuk menjadi kiai. Kedua, mutasi organisasi. Orang- orang tertentu yang memiliki managerial dan kemampuan keagamaan baik, tetapi tidak memiliki kekerabatan kiai direkrut oleh organisasi lain, atau dengan keinginan sendiri untuk pindah organisasi. Keanggotan yang unik tersebut memunculkan berbagai asumsi berikut.

Pertama, menguasai kiai berarti menguasai orang-orang NU. Para kiai, melalui pesantren, memproduksi anggota NU kultural secara generatif. Ikatan antara kiai dan santri anggota NU ini tidak saja bersifat organisatoris kelembagaan pesantren tetapi lebih kuat sebagai ikatan ideologi keagamaan.

Seorang santri bisa saja sendiko dawuh atas apapun yang diucapkan oleh kiai. Asumsi pertama ini benar dengan bukti banyaknya partai politik atau organisasi sosial yang menjadikan kiai sebagai sosok figur untuk mendulang suara.

Kedua, organisasi NU adalah organisasinya kyai. Bedanya dengan asumsi yang pertama, asumsi kedua seolah ingin mengatakan bahwa maju tidaknya NU terletak pada kesiapan kiai untuk melakukan perubahan pada dirinya, baik perubahan paradigmatik atas pola pikir yang dimiliki kyai selama ini (termasuk interpretasi atas teks-teks klasik dalam kitab kuning) maupun perubahan organisasional.

Ketiga, munculnya kapling- kapling organisasi keagamaan di Indonesia. Organisasi masyarakat agraris dikuasi oleh NU pedesaan. Organisasi masyarakat urban kota dikuasi oleh organisasi keislaman lainnya.

Organisasi-organisasi lain adalah organisasi-organisasi kecil –yang tidak bisa dianggap kecil- mengisi kekosongan di antara dua organisasi besar tersebut. Khusus untuk organisasi/perkumpulan NU, kapling ini adalah keunggulan sekaligus tanggung jawab. Sebagai keunggulan, organisasi/perkumpulan ini masih memiliki ikatan solidaritas organik yang kuat.

Hubungan antar anggota tidak didasarkan pada ikatan kapitalisme serba uang, tetapi lebih pada ikatan emosional paguyuban kekeluargaan. Bila ini tetap dijaga serta ditambah dengan rekonstruksi managemen organisasional yang baik, NU akan menjadi perkumpulan yang tidak hanya besar dan produktif, tetapi juga sebagai perkumpulan penjaga gawang atas budaya dan tradisi bangsa Indonesia asli.

Sebagai tanggungjawab, perkumpulan NU dituntut untuk mengawal perubahan masyarakat. Tanggung jawab tersebut sesungguhnya adalah tanggungjawab lanjutan dari gerakan sosial sebelumnya yang dilakukan oleh para Walisongo. Apa yang dilakukan Walisongo tersebut dalam kategori gerakan sosial disebut sebagai gerakan sosial kultural. Gerakan itu secara faktual telah melahirkan sebuah peradaban yang terwariskan hingga sekarang, sebuah peradaban yang banyak diikuti oleh orang-orang NU.

Tulisan ini sedikit akan membahas bagaimana pelanjut peradaban tersebut mempertahankan diri dalam wadah perkumpulan NU dan langkah-langkah apa yang sebaiknya dilakukan untuk meneruskan gerakan sosial tersebut, dalam skala kecil, di Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

Berbagai Fakta tentang NU

Ketua Pimpinan Cabang Serikat Nelayan
PC Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama

Di bawah ini akan dielaborasi berbagai fakta yang menyelimuti kemunculan NU sebagai perkumpulan. Berbagai fakta tersebut perlu dihadirkan untuk memunculkan sebuah kesadaran, sebagai kesadaran gerakan sosial, yang akan dibangun pada akhir tulisan ini.

NU lahir dari sebuah kekecewaan dan kekhawatiran. Sebagai organisasi yang telah memiliki embrio jama’ah lebih awal dari wadah perkumpulanya, sebagian jama’ahnya merasa terpanggil untuk membentuk sebuah komunitas.

Komunitas tersebut dimaksudkan untuk merespon berbagai persoalan yang memiliki hubungan dengan jama’ah seperti isu purifikasi ajaran, tradisi bermadzhab dan isu-isu pembebasan imperialisme.

Komunitas awal yang dibentuk adalah komunitas diskusi prestisius Tashwirul Afkar tahun 1918 oleh pemuda progressif, Wahab Chasbullah. Komunitas inilah yang sering aktif dalam forum-forum organisasi keagamaan nusantara awal yaitu Kongres Ummat Islam Indonesia dengan anggota seperti Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, al-Irsyad, dan lain-lain.

Dalam forum ini peran Wahab Chasbullah sangat menentukan. Dalam kongres pertama yang diadakan di Cirebon 1922, kelompok NU yang masih berupa komunitas Tashwirul Afkar mendapat serangan tajam dari kelompok modernis dalam hal pembaruan sistem pendidikan Islam dan syarat-syarat Ijtihad. Wahab Chasbullah dan Asnawi sebagai perwakilan mendapat serangan dari organisasi-organisasi purifikatif tersebut. Mereka kecewa dan keluar dari forum Inilah kekecewaan pertama.

Kekecewaan kedua terjadi pada saat akan merespon jatuhnya Makkah dan Madinah di tangan Abdul Aziz bin Saud. Abdul Aziz berhasil merebut kekuasaan dari tangan Syarif Husain. Abdul Aziz kemudian berniat akan mengadakan pertemuan internasional Islam untuk membahas tentang pengaturan Makkah dan Madinah. Pada saat Kongres Umat Islam di Bandung Februari 1926, kalangan komunitas Tashwirul Afkar ditinggal dan tidak dilibatkan sebagai delegasi.

Padahal sebelumnya Wahab Chasbullah sempat dipilih untuk menghadiri kongres khilafat yang tertunda di Mesir setelah Turki dikuasai oleh Mustafa Kamal.

Kongres khilafat ditunda karena Abdul Aziz telah menguasai tanah Hijaz. Merasa kecewa atas saran KH. Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah mengumpulkan ulama-ulama seideologi keagamaan membentuk barisan dan memperkuat jama’ah menjadi jam’iyah yang lebih kuat. Pada pertemuan tersebut disepakati nama Nahdlatul Ulama’ sebagai nama dari jam’iyah. Pertemuan tersebut dilakukan pada tanggal 31 Januari 1926.

Tipologi Gerakan Sosial

Syah Afandin
Wakil Gubernur Sumut H Musa Rajekshan, Plt Bupati Langkat H Syah Afandin, Wakil Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama KH Zulfa Mustofa, Ketua PW NU Sumut Marahalim Harahap foto bersama dengan tamu undangan yang berhadir (Foto: Diskominfo Langkat)

Pola keberagamaan NU yang besar tersebut akan kita telusuri tipologi gerakannya di sini. Hasilnya bisa dijadikan cermin untuk gerakan sosial sekarang dan berikutnya. Allen Turen, intellektual Perancis, menyebutkan bahwa ada tiga tipologi gerakan perubahan social, :

1. Gerakan revolusi. Gerakan ini bersumber dari semangat bahwa kekuasaan baik kultural maupun struktural memiliki watak menindas dan tidak akan diberikan kepada orang lain. Cara untuk menggantikan kekuasaan tersebut adalah melalui perebutan paksa. Karena sifatnya perebutan paksa, gerakan revolusi sering memunculkan korban.

Ia membutuhkan modal sosial yang besar. Lebih dari itu, revolusi untuk keberhasilan gerakannya membutuhkan pelaku-pelaku yang berpikiran revolusioner. Gerakan ini juga berpotensi memunculkan pemimpin, atas nama gerakan revolusioner, yang otoriter dan dispotik. Karena kelemahan ini, banyak pemikir seperti Gramsci tidak menyarankan cara ini dilakukan.

2. Gerakan social movement, yaitu gerakan sosial yang dilakukan secara massif dengan tujuan jelas oleh pemimpin kharismatik. Gerakan ini sayangnya bersifat spontan, sporadis dan jangka pendek. Karena wataknya tersebut gerakan ini diragukan kontinuitasnya.

Diantara keraguan tersebut seperti bagaimana nasib gerakan ini apabila pemimpin kharismatik meninggal terlebih dahulu sebelum tujuan tercapai? Karena tujuan gerakan jangka pendek, bagaimana pelaku gerakan ini mengawal kondisi pasca perubahan? Contoh gerakan ini adalah seperti demo kenaikan harga BBM, gerakan menuntut mengusut tuntas pelaku korupsi, gerakan menuntut kenaikan UMR buruh dan lain-lain. Persis dengan gerakan revolusi, gerakan sosial ini tidak bisa bertahan lama. Tuntutannya hanya pada isu-isu tertentu dan kurang mengakar pada inti masalah.

3. Gerakan social cultural movement (gerakan sosial kultural). Gerakan ini membutuhkan waktu yang lama serta pelaku-pelaku yang memiliki tingkat istiqomah tingkat tinggi. Karena lamanya, pelakunya sendiri terkadang tidak menikmati hasil gerakan yang dilakukan.

Gerakan ini tidak hanya menyerang isu-isu partikular, tetapi merubah inti masalah. Ia ingin merubah sistem secara perlahan tetapi pasti. Gerakan sosial kultural ini seperti pendidikan, pengajian rutin, media massa dan lain-lain. Tahapan pertama yang dilakukan dalam gerakan ini adalah perubahan pola pikir sehingga membentuk paradigma.

Paradigma adalah kacamata batin untuk melihat realitas. Paradigma menentukan tingkat progresifitas seseorang. Dengan demikian, melihat kemajuan sebuah negara bisa dilihat bagaimana paradigma masyarakatnya dalam melihat berbagai aspek kehidupan. Perubahan paradigma inilah yang dilakukan oleh para penyebar ajaran Islam penganut tradisi keberagamaan jama’ah NU. Ajaran NU disebarkan melalui gerakan sosial kultural ini.

Gerakan ini tidak berarti bahwa ajaran NU hanya disebarkan melalui gerakan sosial kultural dan tidak menggunakan cara-cara yang lain. Gerakan protes atas ajaran Kiai Mutamakkin, pelaku ajaran mistik Manunggaling Kawula lan Gusti misalnya adalah gambaran gerakan sosial. Sementara pembunuhan atas Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging dan lain-lain adalah gambaran revolusi.

Melalui gerakan apa saja perubahan sosial kultural ajaran NU disosialisasikan?

– Melalui lembaga pendidikan berupa pesantren. Para Walisongo, sebagai pelaku gerakan yang bisa diidentifikasi, sejak tahun 1400-an mendirikan lembaga pendidikan untuk penyebaran ajaran melalui pesantren. Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Denta, Sunan Bonang mendirikan pesantren di Tuban, sunan Drajat di Lamongan.

Demikian pula generasi-generasi setelahnya seperti Muhammad Besari mendirikan pesantren di Tegalsari Ponorogo, Hasyim Asy’ari di Tebuireng dan lain sebagainya. Lembaga ini berperan penting dalam transmisi pengetahuan agama tanpa putus hingga sekarang. Murid-murid sebuah pesantren mendirikan pesantren pula di daerah asal atau daerah lain. Ada berbagai fenomena menarik dari proses transmisi ini yang berbeda dengan lembaga-lembaga lain.

– Adanya buku pedoman pengajaran agama yang seragam di setiap lembaga pendidikan. Dalam bidang fiqh misalnya mereka mempelajari Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, dan Sulam Tawfiq.

Dalam bidang tauhid mereka mempelajari Aqidat al-’Awam, Jawahir al-Kalamiyah dan Fath al-Majid. Dalam bidang tasawuf mereka mempelajari Kifayat al-Atqiya’, Bidayat al-Hidayah dan Ihya’ Ulumuddin. Kesamaan buku pedoman tersebut menjadikan keilmuan mereka bisa dipraktekkan dalam lingkungan yang berbeda. Belum ada determinasi pemerintah dalam penentuan buku pedoman. Di saat ada campur tangan pemerintah dan ketergantungan pesantren pada pemerintah, penguasaan atas buku pedoman tersebut semakin memudar.

– Lembaga pesantren mengajarkan pengamalan ajaran keagamaan yang akulturatif. Para santri tidak hitam putih dalam menjalankan agama. Tradisi seperti Rebo Wekasan, kirim doa pasca kematian, bersih desa, petungan hari baik, tradisi wifq atau rajah dan lain sebagainya dilakukan secara terbuka oleh mereka. Wujud akulturatif ini dibuktikan dengan adanya pengajaran kitab al-Awfaq, Syams al-Ma’arif, Syumus al-Anwar, Mamba’u Ushul al-Hikmah serta doa-doa Jawa gubahan ulama’ sebelumnya.

– Lembaga pendidikan didirikan di daerah-daerah terpencil, pelosok desa dan jauh dari pusat kota. Daerah ini adalah daerah jauh dari informasi dan daerah dengan ekonomi rendah. Motif dakwah dari pelaku perubahan sosial kultural ini sangat tinggi.

Salat Jumat Dua Gelombang saat Pandemi, Ini Kata NU DIY
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). (detik.com/Foto)

Para pelaku mendedikasikan pendidikannya dari hingar bingar kegiatan ekonomi perkotaan. Banyaknya lembaga pendidikan pesantren di desa berimplikasi pada sosiologi NU sebagai organisasi warga pedesaan. Para pemerhati NU akhirnya berkesimpulan bahwa organisasi NU adalah organisasi tradisional.

Kesadaran ”Ancaman” dan Kritik Internal
Kehadiran NU diawali dari kesadaran akan bahaya hilangnya tradisi keberagamaan oleh kekuatan atau keberagamaan lain. Kekuatan itu seperti kekuatan purifikasi gerakan Wahabi. Inilah ancaman Wahabi tahap pertama.

Akhir-akhir ini, NU juga disibukkan oleh usaha menyaringi ide-ide transnasional yang motornya juga digerakkan oleh ajaran Wahabi. NU saat ini sedang menghadapi ancaman gerakan Wahabi tahap kedua.

Ancaman tersebut berimplikasi pada banyak hal seperti mutasi jamaah NU kepada jamaah organisai keagamaan lain, semakin menyusutnya tradisi NU dipraktekkan oleh orang-orang NU, semakin mengurangnya kader-kader ideologis NU, sedikitnya anak-anak NU menempuh pendidikan di lembaga-lembaga NU dan hilangnya peran-peran sosial NU di masyarakat serta hilangnya apresisasi masyarakat atas perkumpulan NU dalam berbagai bidang.

Kesadaran akan ”ancaman” adalah kata kunci untuk menggerakkan semangat gerakan sosial kultural NU sebagaimana sebelum secara organisatoris ia dilembagakan. Secara psikologis, kesadaran akan ”ancaman” menentukan sikap dan prilaku seseorang.

Seseorang yang tinggal sendirian di rumah misalnya, ia akan menutup pintu rapat-rapat bahkan menyewa security untuk menjaga di luar rumah dan memasang CCTV. Ia sadar bahwa di dalam rumah banyak barang berharga. Banyak kemungkinan akan datang pencuri menginginkan barang tersebut. Ia sadar bahwa ancaman bisa datang setiap waktu.

Kesadaran akan berharganya anggota NU yang besar, banyaknya organisasi lain mengincar anggota NU dan sedikitnya penjaga perkumpulan NU penting untuk ditumbuhkan. Secara organisatoris barangkali belum pernah ada penelitian berapa jumlah anggota NU yang berasal selain dari faktor keturunan sebagaimana belum pernah ada penelitian tentang berapa jumlah anggota NU yang telah berpindah ke organisasi keagamaan lain. Bila kesadaran akan ”ancaman” belum di sadari secara kolektif, barangkali data ilmiah melalui penelitian wajib dilakukan.

Harus diakui, kesadaran tersebut semakin memudar seiring dengan pola hidup pragmatisme. Watak pragmatisme tersebut bisa kita lihat dalam beberapa contoh berikut,:

– Pertama, banyak anggota NU tergiur pada politik praktis. Mereka masuk partai politik dan mengurangi peran-peran sosial kultural mereka. Pesantren diserahkan kepada orang lain, majlis taklim dipegang oleh orang-orang yang kurang mumpuni, mushalla atau masjid kekurangan kader dan para kiyai kehilangan kridebilitas akibat masuk partai.

Kondisi seperti ini memungkinkan organisasi keagamaan lain memasuki ruang-ruang kosong tersebut dan secara perlahan bisa menarik minat anggota NU. Hal ini bisa disaksikan dari banyaknya masjid-masjid atau mushalla-mushalla yang sudah tidak dipegang oleh jamaah NU.

– Kedua, para kader NU tergiur dengan wilayah kota dari pada desa. Hal ini berbeda dengan tahun awal Islam menyebar di Nusantara. Para penyiar Islam beramai-ramai menyebarkan Islam ke desa. Mereka menyerbu desa. Mereka mendirikan padepokan dan pesantren untuk pembelajaran Islam. Saat ini, berjuang bersama masyarakat desa dianggap tidak menghasilkan.

Madrasah-madrasah diniyah desa, akibatnya, mengalami dilema, mati segan-hidup tak mau. Mushalla-mushalla sedikit jamaahnya.
Para kader NU melupakan bahwa kekuatan mereka pada awalnya adalah desa. Mereka harusnya tetap merawat dan menjaga desa.

Ketika kader ideologis NU menyerbu kota, desa mengalami kekosongan kadernya (kader ideologis). Seperti kita tahu, setiap organisasi memiliki tiga model kader; kader militan, kader ideologis dan kader mengambang. Kader militan adalah kader yang cintanya pada organisasi mendarah daging karena ketundukannya pada tokoh yang diidolakan.

Kabupaten Langkat
Wakil Ketua Umum PBNU Prof Dr H Nizar Ali MAg saat melantik PCNU Langkat

Kader militan sayangnya, kurang memiliki alasan rasional kenapa ia menjadi kader. Kader ideologis adalah kader yang secara rasional mengerti apa, mengapa dan bagaimana ia hidup dalam sebuah organisasi. Di tangan kader ideologislah, kehidupan organisasi dipertaruhkan.

Sedangkan kader mengambang adalah kader organisasi yang di samping tidak memiliki alasan rasional, mereka juga tidak memiliki patronase pada seorang tokoh. Sebuah desa yang hanya dihuni oleh kader militan dan kader mengambang memiliki potensi untuk berpindah organisasi. Kader militan menggantungkan pertahanan organisasional pada sosok tokoh.

Ketika tokoh tersebut meninggal atau ketika alasan tokohnya dipatahkan argumennya, ia berpotensi pindah organisasi. Hal serupa terjadi untuk kader mengambang. Ia tidak memiliki tokoh idola dan tidak pula memiliki argumen rasional kuat. Kader mengambang hanya menunggu idola dan alasan rasional untuk menjadi kader ideologis. Dua kader ini tinggal menunggu penggerak perubahan social.

Di saat kader ideologis NU berpindah ke kota, desa tersebut sedang dalam kekosongan kader ideologis. Ia adalah ruang kosong yang bisa dijadikan rebutan oleh kader ideologis organisasi lain. Lagi-lagi, secara perlahan, dua kader tersebut akan mengikuti kader ideologis itu.

– Ketiga, akibat pengaruh pemerintah, pondok pesantren sebagai pencetak kader NU ideologis mulai tertarik dan menekuni sekolah formal dibanding pendidikan salaf (kitab kuning).

Pendidikan salaf, dari posisi ordinat beralih menjadi sub ordinat. Para pengurus pesantren menghabiskan waktunya untuk mengurusi aspek administrasi sekolah formal sehingga pendidikan salaf menjadi sampingan. Sekolah formal membuat standar kompetensi lulusan dan diberlakukan ketat, sementara pendidikan salaf tidak.

Di saat sekolah formal mensyaratkan pendidikan strata tertentu dengan iming-iming sertifikasi, pendidikan salaf tidak. Pragmatisme muncul. Lebih baik mengurusi sekolah formal yang menghasilkan dari pada pendidikan salaf yang mendekati gratisan.

Akibatnya, NU kekurangan kader ideologis yang mumpuni untuk mempertahankan keutuhan organisasi dari serangan argumen ideologi keberagamaan. Disaat dunia pendidikan semakin merata, pertarungan ideologi semakin terbuka. Organisasi dengan basis pertahanan rasional ideologis yang lemah akan semakin ditinggalkan oleh pengikutnya.

– Keempat, munculnya orientasi ekonomi. Orientasi ekonomi yang dimaksud di sini adalah perilaku mengeluarkan tenaga kecil menghasilkan keuntungan besar. Kerja-kerja gratisan mulai tidak dilirik oleh kader NU. Waktu dinilai dengan seberapa besar menghasilkan nilai ekonomi. Contoh, kegiatan maulid, rajab, rebo wekasan dan lain-lain di setiap mushalla semakin jarang. Kegiatan lebih suka diadakan dalam bentuk pengajian akbar atau sesuatu yang bersifat akbar.

Dengan kata lain, kegiatan lebih diorientasikan untuk mengumpulkan banyak orang, tetapi hanya satu kali dalam satu bulan atau beberapa bulan. Kegiatan dalam bentuk komunitas- komunitas rutin mingguan kurang diminati. Di desa-desa tertentu kegiatan seperti ini masih ada, tetapi ketidak ikut sertaan seseorang dianggap sebagai hal yang biasa.

Hal ini berbeda dengan masa lalu, ketidak ikut sertaan adalah salah satu bentuk penyimpangan harmoni sosial. akibatnya, ruang-ruang kosong diisi oleh seperti pengajian-pengajian sehabis shalat magrib oleh kelompok-kelompok organisasi keagamaan tertentu.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana pragmatisme tersebut dibenahi? Dan bagaimana kesadaran akan ”ancaman” tersebut ditanamkan dalam setiap kader? Jawabannya adalah dengan melakukan sesuatu yang kecil tetapi memiliki potensi hasil maksimal dan besar. Yang kecil tersebut dilakukan dari daerah-daerah yang kecil pula. Karena itulah tulisan ini akan memberi sumbang saran hal-hal kecil dan untuk daerah kecil namun tersebar luas di Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

Gerakan Kecil di daerah kecil yang tersebar luas.

Gerakan sosial kultural NU di Langkat bisa dilakukan dalam berbagai ragam aktifitas.

Aktifitas tersebut bisa dalam bentuk seperti, :

– Pertama, menghidupkan kembali atau memodifikasi sesuatu yang telah dilakukan.
– Kedua, menambah kualitas kegiatan.
– Ketiga, massifikasi kegiatan.
– Keempat, membuat aktifitas baru yang belum ada sebelumnya.

Untuk kategori pertama, menghidupkan kembali atau memodifikasi sesuatu yang telah dilupakan adalah seperti menghidupkan kembali semangat kesenian tradisional seperti Gembrungan, Kompangan, Jidor dan lain-lain.

Kegiatan tersebut agar tidak monoton ditambah dan dimodifikasi dengan alat-alat kesenian modern. Mushalla atau masjid adalah sebagai pusat atas kegiatan ini. Cara menggerakkannya adalah melalui pembentukan perkumpulan mushalla atau masjid NU yang dikordinasi oleh MWC NU di masing-masing kecamatan atau lebih spesifikasinya adalah pengurus ranting yang tersebar di desa-desa.

Salah satu kekayaan organisasi NU adalah banyaknya anggota NU yang menjadi motor penggerak pendirian mushalla atau masjid. Kekayaan ini sering kurang diperhatikan oleh NU secara organisatoris. NU mulai sadar di saat mushalla yang biasanya pujian setelah adzan dan dzikir jahr setelah shalat tidak dilakukan lagi. Bukankah NU sangat tawadhu’ dalam hal mushalla atau masjid? Nyaris tidak ditemui atau jarang ditemui sebuah mushalla atau masjid bertuliskan ”mushalla NU”, padahal organisasi lain sangat senang mendeklarasikannya. Melalui perkumpulan mushalla atau masjid NU bisa dilakukan pula penelitian tentang warisan tradisi-tradisi NU dalam pujian setelah adzan.

Hasil penelitian akan menemukan berbagai pujian para Walisongo yang kaya pitutur berbahasa lokal (Jawa, Sunda, Madura dan lain-lain). Agar sesuai dengan perkembangan jaman, teks pujian tersebut bisa dirubah iramanya. Akhir-akhir ini pujian seperti itu kurang diminati oleh mushalla atau masjid. Mereka lebih senang menggunakan pujian-pujian Arab dengan keindahan irama tetapi kurang bisa dipahami oleh pendengarnya.

Melalui perkumpulan mushalla atau masjid dapat dihidupkan kembali organisasi remaja seperti REMUS (Remaja Mushalla) atau REMAS (Remaja Masjid).

Proses kaderisasi NU karena itu tidak saja hanya mengandalkan organisasi kader semisal IPNU, IPPNU, PMII dan lain-lain, tetapi bisa melalui organisasi-organisasi mushalla atau masjid tersebut. REMUS atau REMAS inilah penggerak kegiatan-kegiatan seperti Jidor dan pujian. Di samping untuk kaderisasi, REMUS atau REMAS menjadi penjaga aktifitas mushalla atau masjid dari pengaruh aliran keagamaan lain.

Untuk kategori kedua, menambah kualitas kegiatan. Bisa dikatakan bahwa NU adalah perkumpulan yang paling banyak acara. Ritual siklus kehidupan pelestarinya adalah NU, mulai empat bulanan saat hamil, pasca melahirkan, ritual tanam padi hingga ritual kematian. Hal ini belum lagi ditambah kegiatan-kegiatan keagamaan.

Tetapi, pertanyaannya apakah kegiatan tersebut dilakukan karena hanya mengikuti tradisi belaka atau ada pemaknaan lain yang lebih rasional. Jawaban pertanyaan tersebut penting ditemukan. Bila jawabannya sebagai pelanjut tradisi belaka berarti mereka adalah pengikut ”buta”.

Padahal dalam kondisi jaman yang telah semakin rasional pengikut ”buta” harus mulai dikurangi. Sebuah organisasi dengan mayoritas pengikut ”buta” adalah organisasi besar tetapi tidak memiliki kekuatan. Organisasi itu ibarat macan ompong. Macan ompong tidak ditakuti.

Pelantikan PCNU Langkat
Foto bersama di sela-sela Pelantikan PCNU Langkat

Yang diharapkan adalah bahwa anggota NU mulai melakukan migrasi nalarnya; dari nalar ”buta” menjadi nalar rasional. Banyaknya kegiatan adalah kekayaan NU. Para elit anggota NU perlu menyisipkan berbagai tema-tema keagamaan tertentu untuk menjadikan anggota NU lebih rasional.

Para tokoh agama juga perlu menjelaskan secara rasional makna dari setiap simbol dari upacara keagamaan dan ritus perjalanan hidup. Mereka juga perlu memberi penafsiran atas teks kitab suci atau hadis yang berkaitan dengan kegiatan tersebut atau masalah-masalah keagamaan tertentu.

Dengan berbagai kegiatan tersebut, jalinan komunikasi kultural keagamaan anggota NU semakin kuat sekaligus mencerdaskannya. Berapa banyak tema keagamaan akan dipahami bila forum-forum tersebut dimanfaatkan dan berapa banyak pula anggota NU yang semakin cerdas dalam bidang agama bila forum tersebut dimaksimalkan kualitasnya. Anggota yang rasional adalah kader ideologis. Semakin banyak kader ideologis, semakin kuatlah organisasi NU.

Untuk kategorisasi ketiga, massifikasi kegiatan dilakukan dengan menambah intensitas kegiatan. Di Langkat, kegiatan ini dilakukan seperti melakukan kampanye secara massif untuk memasukkan anak-anak NU ke sekolah milik orang NU. Namun, untuk ini, sekolah NU perlu menambah kualitasnya.

NU, melalui lembaga Ma’arif perlu mengumpulkan para ahli pendidikan untuk ikut memikirkan kualitas pendidikan NU. NU secara organisatoris perlu pula mengumpulkan anggota NU, terutama pengusaha NU, untuk membina sekolah-sekolah NU dalam mencari sumber dana. Sekolah NU perlu memiliki wirausaha untuk biaya operasional sekolah.

Dengan begitu, sekolah NU hidupnya tidak lagi tergantung pada SPP dan donatur atau sumbangan. Ada berapa banyak sekolah NU Langkat yang berkualitas? Ada berapa banyak jumlah anak-anak NU yang sekolah tidak di sekolah milik anggota NU? Dan ada berapa banyak orang-orang pintar dan kreatif NU yang belum terfasilitasi oleh NU? Atau masih adakah sekolah NU di Langkat ?

Pertanyaan-pertanyaan ini barangkali tidak ada jawabannya, karena belum ada penelitian yang akurat terutama di Langkat. Secara umum kita bisa mengatakan bahwa jumlah anggota NU di Langkat adalah lebih dari 50 % dari keseluruhan penduduk. Sangatlah wajar dan tidak berlebihan bila anggota NU belajar di sekolah NU. Ini bukan narsis dan juga bukan mau menang sendiri. Ini juga bukan angan- angan kosong.

Kuncinya hanya pada satu kata ”kualitas”. Masih dalam problem pendidikan, seberapa besar lulusan sekolah- sekolah NU tingkat SLTA melanjutkan pendidikan tingginya ke perguruan tinggi NU. Adakah komunikasi perguruan tinggi NU seperti UNUSU di Medan Sumatera Utara telah terjalin massif dan intensif dengan sekolah-sekolah NU yang ada? Bila logika kita linear, UNUSU mestinya menjadi perguruan tinggi ternama dan terbesar di Medan Sumatera Utara. Jika faktanya lebih separuh masyarakat Sumatera Utara adalah NU.

Faktanya, kok tidak. Perguruan tinggi NU sejatinya penting untuk memberi pelajaran ke NU-an yang lebih rasional dan kritis. Satu kata kunci ”kualitas” di atas ditentukan oleh kata kunci-kata kunci yang lain yaitu adanya keinginan, kesiapan menerima saran dan kritik serta kesiapan mengapresiasi berbagai potensi dari berbagai elemen anggota NU. Strata-strata seperti Gus, Cak, saudara Kiyai, Ning, mantu Kiai dan lain sebagainya harus mulai dicairkan.

Untuk kategori terakhir, membuat aktifitas baru yang belum pernah ada dimaksudkan untuk menampung berbagai usulan atau kreasi anggota NU sebagai perwujudan gerakan sosial kultural. Hal ini seperti membuat perkumpulan aktivis-aktivis LSM NU. Perkumpulan ini bermanfaat untuk melakukan pendampingan anggota NU yang mengalami masalah ekonomi, sosial dan hukum. Dalam bidang dakwah, NU bisa membentuk pelatihan kader ASWAJA.

Kegiatan ini diorientasikan untuk membekali masyarakat tentang pemahaman ASWAJA. Materinya, mulai dari aspek sejarah pertumbuhan, aspek politik dan sosiologi yang mengitari, argumen-argumen al-Qur’an- Hadis dan argumen rasional, studi kritik ASWAJA dan lain-lain. Peserta pelatihan adalah kiai-kiai mushalla, tokoh-tokoh masyarakat dan generasi muda NU potensial. Para peserta adalah orang-orang yang memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan dan ritus kehidupan di atas.

Para peserta inilah yang memberi penjelasan tentang simbol-simbol dan tema-tema tertentu dalam berbagai forum itu. Peserta pelatihan diambil dari setiap kecamatan yang ada di Langkat. Untuk menjangkau banyak anggota, kegiatan dilakukan beberapa kali.

Pelatihanpun bisa dibuat beberapa jenjang, seperti tingkat dasar dan tingkat lanjut. Tingkat dasar berisi materi aspek historis dan aspek ajaran atau doktrin, sedangkan tingkat lanjut berisi materi teori-teori sosial untuk menghubungkan berbagai simbol dan ritus dalam kehidupan kontemporer.

Dalam bidang ekonomi, NU bisa bekerjasama dengan perkumpulan aktivis LSM dan perkumpulan pengusaha NU yang sudah ada di Langkat untuk mengadakan pelatihan wirausaha secara periodik.

Ketiga-tiganya perlu terlibat untuk keberlangsungan mereka pasca pelatihan seperti bagaimana meminjam modal secara lunak, bagaimana memasarkan produk yang dihasilkan dan bagaimana menghadapi para pengusaha dengan modal besar. Peserta pelatihan bisa diambil dari setiap kecamatan dengan katagori menengah ke bawah menurut data BPS atau peserta lainnya.

Sebagai penutup, saya perlu menegaskan bahwa dunia adalah panggung kontestasi ideologi. Ideologi yang diiklankan secara massif oleh orang-orang yang konsisten dengan gerakan yang tangguh, berjangka panjang serta diramu dengan cara yang baik, rasional dan kultural adalah ideologi yang akan memenangkan kontestasi tersebut. Semoga perkumpulan NU memiliki orang-orang ini. Semoga. Wallahu A’lam

Penulis : Aidil Fitri, Sekretaris Tanfidziah PCNU Langkat Masa Khidmat 2022-2027

 

 

Berita Terkini