Makna Kemerdekaan Indonesia sebagai Sebuah “Nation”

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Agung Wibawanto

Dalam sebuah perjalanan di atas KRL Solo-Yogya, saya terus terfikir Mengapa Indonesia bisa merdeka? Tadi malam menonton YouTube yang menceritakan sejarah “kemerdekaan” Malaysia. Seperti diketahui Indonesia dengan Malaysia adalah warga bangsa serumpun. Baik secara geografis maupun geo politik, kedua bangsa ini memiliki kedekatan.

Namun dalam sejarahnya, mengapa pencapaian kemerdekaan pada kedua negara itu berbeda? Mengapa Indonesia tidak seperti Malaysia yang pasrah bongkokan terhadap Inggris? Atau, mengapa Malaysia tidak meniru Indonesia yang berjuang melawan penjajahan oleh bangsa kolonial Belanda?

Malaysia dan Indonesia memiliki back ground sejarah kebangsaan yang berbeda di masa-masa silam. Inggris dan Belanda membuat kesepakatan membagi wilayah kekuasaan. Sepertinya kok enak sekali mereka semena-mena bagi kekuasaan? Siapa yang memberi mereka hak atas itu?

Karena pada saat itu Malaysia dan Indonesia belum lagi terbentuk sebagai sebuah negara. Keduanya masih merupakan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh raja ataupun sultan (kesultanan). Imperialis Inggris mendapat wilayah selat Malaka ke Utara, sedangkan kolonial Belanda batas selat Malaka ke selatan.

Tipe penguasaan kedua negara dikatakan pula berbeda. Inggris lebih menekankan pembangunan wilayah jajahan, sedangkan Belanda lebih eksploitatif mengeruk kekayaan alam wilayah jajahan. Inggris lebih kooperatif sedang Belanda lebih kooptasi. Inggris menerapkan integrasi dan Belanda asimilasi.

Namun watak kedua negara imperialis ini sesungguhnya sama, yakni ingin mendapatkan keuntungan dari sumber kekayaan wilayah jajahan. Namun Inggris berhasil membujuk para sultan di Malaysia hingga kemudian memberi kemerdekaan serta menjadikan Malaysia sebagai negara comenwealth dari Kerajaan Inggris.

Sedangkan Belanda mendapat perlawanan dari elemen rakyat Indonesia, terutamanya para tokoh pejuang yang menghendaki Belanda enyah dari bumi Pertiwi. Ini anehnya, dan mungkin memang sudah menjadi sesuatu yang digariskan Allah SWT (ingat mukadimah konstitusi, “Atas berkat rahmat Allah SWT”).

Belanda juga menguasai para sultan di setiap daerah, sama seperti Inggris di Malaysia. Di tingkat bawah, Belanda bahkan melakukan gerakan politik devide et impera atau memecah belah agar di kalangan rakyat tidak terjadi persatuan melainkan saling menonjolkan ego sentris kedaerahan. Tapi sekali lagi, berbeda dengan Malaysia.

Raja-raja atau sultan di seluruh Nusantara mayoritas melawan kepada Belanda, bahkan mereka bergabung dan bersatu dengan tokoh-tokoh perjuangan nasional maupun keagamaan, seperti Bung Karno dan KH Hasyim Ashari (NU). Peperangan melawan Belanda di Nusantara (Patimura, Hasanuddin, Sultan Hamid, Hamengku Buwono IX dll) tidak ada di Malaysia.

Mengapa para tokoh pejuang nasional bersama tokoh agama dan raja di Nusantara bisa bersatu dalam keinginan merdeka? Tidak seperti Malaysia? Coba bayangkan bagaimana jika Indonesia tidak melawan, dan atau sebaliknya rakyat Malaysia melawan kepada Inggris? Sungguh Kuasa Allah SWT menggariskan takdir Indonesia.

Selain takdir atau kehendak Allah SWT, juga mungkin pemikiran para tokoh yang memiliki kesamaan ingin merdeka. Para founding father ingin agar kita, bangsa Indonesia memiliki indentitas diri yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa. Bukan dibawah bayang-bayang kekuasaan kerajaan Belanda yang jelas-jelas bangsa asing.

Konsep bangsa Indonesia adalah persatuan dengan semboyan, meski berbeda-beda tapi tetap satu jua (bhinneka tunggal ika). Indonesia mengakui setiap suku dan etnis yang ada untuk tumbuh berkembang dalam komunitas ataupun daerahnya masing-masing. Namun dalam konteks kebangsaan tetaplah menjadi satu Indonesia. Inilah asimilasi.

Bung Karno mengatakan Malaysia tidak memiliki konsep sebagai sebuah negara merdeka, karena tetap berada di bawah naungan Inggris. Para ahli sejarawan Malaysia mengatakan jika Malaysia lebih memilih koorperatif dan tidak konfrontatif (berperang). Hingga mereka mengaku kesulitan jika berbicara nasionalisme.

Sebab Malaysia masih mengakui secara luas keberadaan etnis lain selain Melayu. Etnis China dan India menggunakan bahasa ibu mereka sendiri bahkan tidak bisa berbahasa Melayu. Berbeda dengan Indonesia yang warga keturunan berasal dari luar malah lancar berbahasa Jawa, Sunda, ataupun daerah lainnya di mana dia menetap (apalagi bahasa Indonesia).

Orang Tionghoa di Indonesia tidak suka dipanggil “Hai Cina”. Atau orang India dipanggi, “Hai Keling”, misalnya. Mereka lebih suka disebut dengan Indonesia. Tapi warga keturunan dari luar di Malaysia tidak mau dianggap sebagai orang “Malay”. Ini yang patut kita syukuri makna dari kemerdekaan Indonesia adalah persatuan, nasionalisme dan jati diri sebagai nation.

Berita Terkini