Ancaman Budaya Feodal di HMI

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Budaya feodal saat ini mulai kuat pengaruhnya dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hal ini mulai tampak terlihat dalam berbagai pola perilaku kader-kader HMI dalam kegiatan atau aktivitas berorganisasi dengan memperlakukan “tokoh” pemimpin di struktural HMI sebagai penentu segala-galanya dalam kehidupan serta dinamika keorganisasian.

Makin tinggi jabatan struktural seorang kader (di tingkat HMI Cabang hingga PB HMI), maka muncul kecenderungan kuat untuk dikultuskan dan semacam disakralkan oleh junior-juniornya. Kebiasaan mengkultuskan individu “tokoh” pimpinan tersebut menjadi ciri umum bahwa organisasi HMI sedang dalam ancaman budaya feodal.

Organisasi HMI sebagai organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia belakangan ini tidak lagi mengandalkan sistem organisasi yang telah ada dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) HMI untuk menggerakkan roda organisasi. Akan tetapi terjadi sebaliknya, yakni mengandalkan peranan seorang “tokoh” di struktural tengah dan atau pucuk HMI. Sistem organisasi yang telah ada dikesampingkan begitu saja ketika “sang tokoh” tidak menginginkannya.

Jimly Asshiddiqie (2022) berpendapat bahwa organisasi yang besar dan modern seharusnya tidak boleh mengandalkan orang atau menggantungkan diri pada peranan figur pemimpinnya. Namun dalam praktiknya, yang terjadi di lingkungan organisasi sebesar dan semodren HMI terjebak dalam budaya feudal dengan mengandalkan sosok daripada mengandalkan bekerjanya sistem aturan sesuai dengan prinsip the rule of law, not man (yang memimpin adalah hukum atau aturan, bukan orang).

Di HMI seharusnya yang menjadi acuan dan mimimpin adalah aturan sebagaimana dituliskan dalam AD/ART HMI, bukan orang. Atasan di HMI bukanlah orang, akan tetapi aturan main organisasi (AD/ART), sedangkan kader-kader yang duduk dalam jabatan–meminjam Bahasa Jimly–adalah role-model bagi bekerja dan tegaknya sistem organsiasi yang diatur dalam AD/ART HMI. Yang dibutuhkan adalah bagaimana the ruling-system-nya berjalan dengan baik, bukan bergantungan dan bukan pula ditentukan oleh seorang kader yang sedang berada di struktural.

Jika virus budaya feodal ini terus merajalela, maka HMI sebagai organsiasi mahasiswa terbesar dan sebagai organisasi modern akan berubah menjadi organsisasi tradisional. Tidak menutup kemungkinan cita-cita Lafran Pane mendirikan HMI gagal dipertahankan oleh kader-kadernya saat ini. Di HMI mulai lazim kita melihat praktik-praktik feodal yang bergantungan dan yang menentukan adalah seorang kader yang dianggap tokoh, padahal memanfaatkan HMI untuk kepentingan politik pribadinya.

Yang paling parah adalah terjadinya “pembegalan” terhadap Konstitusi HMI. Aturan-aturan yang seharusnya dijalankan dan ditaati disulap dan “disunat” sesuai kepentingan si “tokoh” yang dikultuskan tadi. Kini menghalalkan segala cara telah menjadi prinsip di HMI. Organisasi intelektual dan Islami yang menjadi ciri khas HMI telah telah menyimpang menjadi organisasi feodal.

Tujuan HMI yang mewujudkan kader-kader menjadi insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggungjawab terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. tidak lagi menjadi impian kader-kader. Mayoritas dan lebih tampak terlihat bahwa HMI sudah semacam sayap partai politik dan menjadi alat untuk mendapatkan profit.

Ancaman budaya feodalistik yang dijelaskan di atas harus perlu disadari dan segera dimusnahkan dari pikiran serta pola laku kader-kader sebelum HMI mengalami kemunduran menjadi organisasi tradisional yang kolot atau meminjam istilah Ahmad Wahib: organisasi primitif.***

Penulis: Ibnu Arsib (Instrukur HMI Cabang Medan)

Berita Terkini