Modus Jokowi Jatuhkan PDI Perjuangan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Penulis : Mohamad Guntur Romli.

Mudanews.comĀ  Jakarta Membaca Laporan Utama Majalah TEMPO “Berseteru Sampai Akhir” tentang hubungan Jokowi dan Ibu Megawati, perkembangan politik Pilkada terakhir: Golkar mendukung Dedi Mulyadi (Gerindra) di Pilgub Jabar, Gerindra mendukung Ridwan Kamil (Golkar) di Pilgub Jakarta dan pertemuan elit-elit Gerindra dengan Rizieq Shihab (FPI) pendukung utama Anies Baswedan, saya memiliki analisis ada modus-modus operandi yang seng aja disiapkan Jokowi untuk “mengurung” Banteng (PDI Perjuangan).

Pertama: mempermasalahkan keabsahan perpanjangan kepemimpinan Ibu Megawati dan DPP PDI Perjuangan Periode 2019-2024 menjadi 2019-2025.

Kedua: politik penyanderaan bagi kader-kader PDI Perjuangan melalui rekayasa kasus-kasus hukum.

Ketiga: melalui koalisi “KIM Plus” akan mengeroyok dan meninggalkan Calon PDI Perjuangan di Pilkada 2024. Di beberapa tempat, di mana PDI Perjuangan tidak bisa mencalonkan sendiri, ada skenario calon “KIM Plus” melawan “kotak kosong” atau “calon boneka” dan di mana PDI Perjuangan bisa mencalonkan sendiri, sudah diguyur dengan puluhan ribu ton beras dan sembako. Jawa Tengah sudah mulai diserbu.

Itu kira-kira tiga kesimpulan analisis saya. Kalau masih tertarik silakan membaca penjelasannya di bawah.

============

Jokowi semakin serius mengeroyok PDI Perjuangan. Di sisa-sisa kepemimpinannya yang akan berakhir 20 Oktober, Jokowi memanfaatkan kekuatan terakhirnya untuk terus memukul Banteng.

Berikut modus operandi Jokowi melemahkan PDI Perjuangan :

Pertama, Jokowi mempermasalahkan keabsahan perpanjangan kepemimpinan Ketua Umum Ibu Megawati Soekarnoputri dan DPP PDI Perjuangan (2019-2024) yang diperpanjang 1 tahun menjadi 2019-2025 yang sudah disahkan oleh Kemekumham dalam lembaran negara.

“Cawe-cawe” Jokowi dimulai dengan tegurannya pada Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly yang merupakan kader PDI Perjuangan.

Menurut bocoran Majalah TEMPO (4/8/2024) Jokowi bahkan telah memerintahkan para pembantunya untuk membentuk Tim Khusus yang mengkaji aspek legal masa bakti perpanjangan pengurus DPP PDI Perjuangan itu.

Yasonna Laoly ditegur karena tidak memberitahukan susunan pengurus baru DPP PDI Perjuangan pada Jokowi. Apalagi nama-nama baru yang masuk seperti Mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Anggota DPR Deddy Sitorus, Adian Napitupulu, dan Ronny Talapessy belakangan menjadi pengkritik paling keras kebijakan Jokowi.

Kedua, Jokowi melakukan “politik penyanderaan” melalui kasus-kasus hukum pada kader-kader PDI Perjuangan. Misalnya pada Sekjen PDI Perjuangan yang diserang melalui Kepolisian (kasus penyebaran hoax/berita bohong: sudah diperiksa di Polda Metro Jaya) dan KPK: kasus Harun Masiku yang sudah “mati suri” selama 4 tahun. Karena tidak bisa menjerat Hasto Kristiyanto dengan kasus Harun Masiku karena tidak ada bukti yang kuat, KPK pun membidik Hasto dengan kasus dugaan korupsi proyek kereta api.

Pemicunya pesan pendek tahun 2019 (Iya. WA tahun 2019) yang meminta pertemuan Hasto Kristiyanto–melalui stafnya–dengan Menteri Perhubungan Budi Karya ketika dalam Tim Pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin tahun 2019.

Lagi-lagi tidak ada bukti yang kuat. Tapi pokoknya bagaimana caranya, bagaimana merekayasa kasusnya, agar Hasto Kristiyanto bisa dijerat karena dianggap terlalu vokal pada Jokowi dan keluarganya.

Selain Hasto Kristiyanto, kader-kader PDI Perjuangan yang lain pun disasar. Contohnya Wali Kota Semarang Heveriarita (Ita) yang akan maju kembali di Pilkada Semarang 2024 dan elektabilitasnya moncer dibanding calon yang didukung Gibran, yakni temannya untuk merebut Kota Semarang dari PDI Perjuangan.

Padahal pada waktu Pilpres, Ita tidak bereaksi dan tidak melawan saat camat-camat di daerahnya ditekan untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran. Ita juga telah bertemu Jokowi di Semarang selepas shalat Idul Adha saat Ketua KPU waktu itu Hasyim Asyari menjadi khatib.

Selain Ita, KPK juga diduga sangat aktif mengusut kader-kader PDI Perjuangan. Misalnya di Jawa Timur, meski sebelum Pilpres ruang kerja Gubernur Khofifah dan Wakil Gubernur Emil Dardak yang digeledah–yang kemudian Khofifah dan Emil mendukung Prabowo-Gibran–tapi setelah Pilpres yang dijadikan tersangka justeru ada kader PDI Perjuangan Jawa Timur.

Ketiga, melalui Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan “KIM Plus”, Jokowi disebut-sebut membuat skenario “mengurung” PDI Perjuangan sendirian. Jokowi akan menggunakan segala cara agar parpol-parpol lain tidak berani berkoalisi dengan PDI Perjuangan. Dengan politik iming-iming jabatan atau politik penyanderaan melalui kasus-kasus hukum pada elit-elit parpol di luar Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Hal ini tampak misalnya iming-iming pada PKS, PKB dan Nasdem agar mau masuk koalisi “KIM Plus” agar tidak bergabung dengan koalisi PDI Perjuangan di beberapa Pilgub.

Kalau PDI Perjuangan bisa mengusung pasangan calon maka akan dibiarkan sendirian tanpa ada yang berani berkoalisi. Dan diguyur dengan ribuan ton beras dan sembako. Di Jawa Tengah sudah dimulai guyuran 35 ribu ton beras.

Sementara di mana PDI Perjuangan tidak bisa mencalonkan pasangan sendirian, direkayasa agar tidak mendapatkan koalisi partai, tujuannya agar pasangan calon yang diajukan “KIM Plus” melawan “kotak kosong” atau “calon boneka” yang “dihidupkan” melalui calon independen. Gibran pada Pilkada Solo 2020 pernah melakukan hal ini. Melawan “calon boneka” yang profesinya “tukang jahit”.

Di Sumut, Jateng dan Bali, di mana PDI Perjuangan bisa mencalonkan sendiri, Calon PDI Perjuangan akan “dikeroyok” oleh Koalisi “KIM Plus” dengan perkiraan serbuan beras, sembako dan pengerahan aparat seperti Pilpres 2024.

Di Jakarta, Jabar, Banten dan Jatim ada skenario Koalosi “KIM Plus” akan melawan “kotak kosong” atau “calon boneka” dan PDI Perjuangan akan dibuat tidak bisa mencalonkan di luar koalisi mereka dan “dipaksa” (karena aturan) mendukung calon mereka.

Buktinya Golkar di Jabar malah mendukung Dedi Mulyadi (Gerindra). Ridwan Kamil yang awalnya diplot di Jabar dan calon tanpa tanding, tapi “dipaksa” ke Jakarta dengan jaminan Anies kemungkinan dijegal dan tidak bisa maju karena tidak dapat tiket dari PKS, PKB dan Nasdem yang sudah ditawarkan masuk ke koalisi “KIM Plus”. Elit-elit Gerindra sudah mendatangi Rizieq Shihab (FPI) pendukung utama Anies di ranah kultural.

Sedangkan PDI Perjuangan Jakarta tidak cukup kursi untuk mengusung pasangan calon sendirian.

Di Banten dan Jawa Timur kemungkinan besar Pasangan Calon “KIM Plus” akan melawan “kotak kosong” juga. Karena semua parpol akan “disedot” ke “KIM Plus” dan meninggalkan PDI Perjuangan sendirian.

Skenario Jokowi ini sebenarnya untuk mempermanenkan “oligarki kekuasaan” demi kepentingan dirinya, keluarganya dan lingkarannya.

Putera sulung Jokowi: Gibran sudah terpilih menjadi Wapres. Menantunya Bobby di Sumut sudah merasa di atas angin melalui koalisi “KIM Plus” akan menghadapi Calon PDI Perjuangan yang sendirian.

Putera bungsu Jokowi: Kaesang tinggal menempel jadi Cawagub baik dengan Ridwan Kamil di Jakarta atau dengan Ahmad Luthfi di Jateng dengan koalisi “KIM Plus”. Kalau sukses, Gubernur terpilih nantinya diangkat jadi menteri, maka Kaesang otomatis menjadi gubernur. Tugasnya Ridwan Kamil atau Ahmad Luthfi di Pilgub memang hanya jadi “batu loncatan” bagi Kaesang.

Sebelum pendaftaran calon 27-29 Agustus semua hal memang bisa terjadi. Tapi inilah skenario yang masih berlaku dari Jokowi. Tanpa ada perlawanan dan gerakan, skenario ini tampaknya akan berjalan mulus seperti halnya Pilpres 2024.

Apalagi masa-masa pendaftaran tanggal 27-29 Agustus hingga Penetapan Calon tanggal 22 September 2024 Jokowi masih Presiden, artinya Kepolisian, Kejaksaan dan semua aparatus negara dan birokasi masih dipegang dia sementara elit-elit partai lain sudah tergiur dengan iming-iming jabatan atau ketakutan dengan ancaman melalui rekayasa kasus hukum.

Banteng pasti melawan ! Saya teringat perbedaan banteng dan sapi saat berhadapan dengan badai. Kalau sapi akan lari ketakutan, lari tunggang-langgang meski ia tetap akan dikejar dan digulung oleh badai. Sementara banteng akan menyambut, masuk ke arah badai, menerjang, bertarung, sampai badai menyingkir.

PDI Perjuangan akan tetap bertahan dan melawan di tengah badai politik ini.

 

Berita Terkini