Partokrasi dalam Pilkada

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

 

\

Partokrasi telah memaksa orang menerima kehadiran figur dan elite baru di pemerintahan yang tak mewakili mereka.

Oleh : RENDY PAHRUN WADIPALAPA

Bagi mereka yang mengimani teori ideologi dan aliran politik, peta kekuasaan mutakhir di Indonesia akan terbaca membingungkan. Figur-figur kritis yang memancang sikap oposisi di luar pagar pemerintahan tiba-tiba balik badan dan menguji coba beberapa cara untuk berkoalisi dengan kekuasaan. Afiliasi partai tak bisa ditebak: pada satu episode mereka bisa demikian berseberangan, tetapi pada momen sebentar saja seteru menjadi sekutu.

Ritus pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak memperumit pembacaan. Partai dan elite yang bersitegang pada kontestasi pemilu presiden dapat saling mesra pada pilkada. Sebaliknya, tak pernah ada garansi bahwa koalisi yang tampak rukun pada pemilu Februari lalu adalah sungguh-sungguh permanen begitu arena tarung di daerah dihelat.

Sketsa ini hanya bisa disimpulkan dalam satu nasihat genting: anutan ideologis para elite politik tidaklah dapat diacu sebagai referensi pilihan politik. Saran yang sama datang dari laporan-laporan mutakhir dari seluruh dunia yang memotret demokrasi kontemporer.

Pada awal Juli 2024, analisis Thomas Carothers dan Brendan Hartnett (Journal of Democracy, 2024) atas 12 negara demokrasi menunjukkan bahwa pembusukan politik diinisiasi bukan oleh situasi ekonomi, sebagaimana beberapa pengamat ekonomi tunjuk, melainkan oleh elite politik. Observasi ini menguatkan laporan yang dirilis setahun sebelumnya oleh Larry Bartels (2023), yang secara telak dan meyakinkan membuktikan bahwa kejatuhan negara-negara demokrasi disumbang paling besar oleh elite partai, ambisi eksekutif, dan elite broker politik.

Perubahan mendadak sikap para elite dan inkonsistensi mereka dalam berpolitik mendorong pertanyaan lanjutan: apakah memang ini murni masalah keunikan lokalitas politik daerah? Apakah dinamika kebutuhan masyarakat daerah diasumsikan berbeda dari masyarakat luas nasional yang menjadi pemilih pemilu presiden sehingga menjustifikasi penyesuaian-penyesuaian politik? Atau justru demokrasi elektoral tak akan pernah bisa menghindarkan diri dari jumpalitan posisi yang mengecewakan ini?

Partokrasi menggerus pemilu

Satu istilah yang berguna dalam membaca fenomena ini datang dari ahli politik China, Baogang Guo (2020), yang mengusulkan konsep partokrasi guna menunjukkan distribusi kekuasaan yang bermula dan berakhir di tangan partai politik. Tak peduli pada kompetisi pemilu di level apa pun, partokrasi akan menebang semua inisiatif di luar partai.

Meski partokrasi dipakai untuk menganalisis fenomena dominasi partai tunggal di China, prinsip-prinsip keterpusatan kepentingan pada lingkar elite politik dalam pemilu dan transisi politik dapat diduplikasi untuk membaca situasi di Indonesia.

Fenomena migrasi kepentingan, cairnya afiliasi, dan keberpihakan partai membuktikan bahwa mereka dapat melakukan apa saja, secara harfiah. Kita tidak akan pernah dapat memahami ceramah dan kampanye antaraktor politik yang berebut klaim sebagai representasi publik yang paling ideal dalam pemilu presiden dan berubah drastis dengan saling mendukung satu sama lain pada arena pilkada.

Tak peduli pada kompetisi pemilu di level apa pun, partokrasi akan menebang semua inisiatif di luar partai.

Publik akan kesulitan untuk mencerna bagaimana bisa perdebatan keras, manuver politik hak angket, atau kompetisi brutal pada pemilu presiden tiba-tiba sirna dalam waktu singkat oleh pertemuan dan kompromi politik demi koalisi pilkada.

Singkatnya, ini tentu bukanlah soal bahwa dinamika daerah, kebutuhan masyarakat lokal, atau keunikan sejarah dan budaya daerah menjadi alasan dari elite untuk berkoalisi. Yang terjadi jauh lebih lacur: berdasar survei dan matematika politik, elite akan melakukan apa saja dan mencari titik temu guna membangun basis koalisi di daerah, tak peduli seberapa berbedanya satu sama lain di pemilu presiden.

Partokrasi akan dengan amat lentur mempermainkan konsep dan status oposisi. Keras dan lunaknya sikap akan disesuaikan bergantung pada kapan dan arena mana yang dijadikan medan tempur. Pada saatnya, status oposisi akan diperlunak, atau bahkan dihilangkan sama sekali, oleh konsep ”rekonsiliasi” yang terdengar heroik meski juga sangat manipulatif.

Dengan kelihaian semacam ini, sistem politik yang bertopang pada partokrasi akan secara langsung menggurat wajah pilkada sebentar lagi sebagai arena tanding yang selalu bersifat serba sementara, cair, dan disesuaikan dengan kepentingan apa saja dan siapa saja yang dapat diakomodasi sebelum, ketika, dan setelah pilkada usai. Orang akan mulai mafhum bahwa satu aktor dapat punya demikian banyak muka.

Masalah besarnya, pemilu, baik pada aras lokal maupun nasional, tak lagi dapat dilihat sebagai ritus transisi politik belaka. Diapit oleh gelombang besar regresi demokrasi dan menguatnya tendensi otoritarianisme global, para peneliti melihat pemilu sebagai cara terakhir untuk mengerem kejatuhan total prinsip nilai demokrasi (full democratic breakdowns) (Laebens dan Lührmann 2021).

Pandangan ini, kendatipun terdengar amat fatalistik, adalah sikap paling realistis. Jika dahulu kehadiran pemilu dipuja sebagai awal dari masa depan demokrasi, kini, secara ironis, ia diharapkan sebagai benteng terakhir dari demokratisasi. Oleh sebab itu, barangkali sekaranglah waktunya Indonesia dan negara-negara yang mengalami regresi demokrasi sadar bahwa pemilu yang diselenggarakan secara manipulatif dan berantakan akan secara instan membunuh demokrasi mereka.

Kita dapat kembali pada prinsip dasar representasi politik dalam pemilu bahwa pemilu memfasilitasi rakyat untuk memilih orang dan pemerintahan yang mewakili mereka. Artinya, pemilu menghindarkan negara dari berkuasanya orang-orang yang tak dipilih (nobody voted for). Namun, persis di sinilah masalahnya: atas nama koalisi, silaturahmi politik, rekonsiliasi atau apa pun frasa eufemis politik lainnya, partokrasi telah memaksa orang untuk menerima kehadiran figur dan elite baru di pemerintahan yang tak mewakili mereka.

Normalisasi semacam ini, cepat atau lambat, akan semakin menjalar di daerah.

Rendy Pahrun Wadipalapa, Peneliti Politik; PhD dari School of Politics and International Studies, University of Leeds Inggris

Sumber : Kompas.id

Berita Terkini