Kepuasan Publik Tinggi kepada Jokowi karena Bansos? Begini Penjelasannya…

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Di tengah dollar yg terus mengangkangi rupiah. Terbongkarnya IKN yang sepi dari investor seperti yang diungkap oleh Bahlil. Harga minyak goreng yg akan naik. Usulan konyol Bansos buat yg terjerat judi online. Utang Indonesia yg terus bertambah. Jatuh tempo bayar utang pada awal 2025 sebesar 800,33 T. Target penerimaan pajak yg meleset. Kasus penguntitan anggota Densus 88 terhadap petinggi Kejaksaan yg tiba-tiba raib. Kasus penyelendupan timah ke Tiongkok yg menyebut nama orang di Dinasti dan Ketua Partai seperti yg disampaikan Faisal Basri. Tak berdayanya Pemerintah menghadapi kasus-kasus judi online. Transaksi 600 Triliun yg lari ke luar negeri karena judi online, tiba-tiba ada hasil survei Litbang Kompas keluar: kepuasan publik pada Jokowi tertinggi dalam sejarah.

Saya tak mau membahas validitas survei itu. Mari kita terima saja karena sudah menjadi propaganda politik, baik melalui kanal-kanal media resmi atau para influncers dan buzzers yg sangat gencar menghantam opini publik dengan konten propaganda itu.

Mengapa publik sangat puas pada Jokowi?

Menurut pendapat beberapa pengamat dan juga dikuatkan oleh data dari hasil survei itu, karena efek bantuan sosial (Bansos). Harian Kompas menulis “Citra Positif Pemerintahan Jokowi Berkat Bansos bukan Prestasi” (22 Juni 2024).

Apakah ada para fanatikus Jokowi, sekaligus influencers dan buzzersnya pernah menyampaikan hal ini? Tentu saja tidak. Yg penting mereka hanya “memamah-biak” konten kepuasan publik pada Jokowi yg tinggi, tanpa menyodorkan apa alasan di balik itu semua. Makanya di awal saya bilang, inilah propaganda politik.

Masyarakat merasa puas, karena menerima Bansos. Kepuasaan ini tentu saja efeknya pendek. Seperti obat penenang. Penderita tak merasa sakit karena sudah meminum obat penenang. Tapi kalau kerja obat penenang itu sudah hilang, yg tak kan berdurasi panjang, keluhan, rasa sakit dan penderitaan akan kembali datang. Bahkan makin bergelombang.

Pemerintah Jokowi akan segera berganti, makanya cukup pakai resep memberikan obat penenang saja, yg namanya Bansos. Setelahnya sakitnya kambuh lagi, tentu bukan urusan dia lagi. Jatuh tempo utang 800 Triliun lebih awal tahun depan, bukan beban dia lagi, tapi presiden yg dilantik nantinya: Prabowo Subianto.

Gelontoran Bansos era Jokowi juga tercatat terbesar dalam sejarah. Seiring angka utang Pemerintahan Jokowi juga akan mewariskan angka utang terbesar dalam sejarah. Jokowi “diwarisi” utang oleh SBY: 2.608,78 Triliun. Jokowi akan mewariskan utang pada penggantinya: 8.262,10 triliun.

Utang sebenarnya tidak masalah kalau untuk tujuan produktif dan tidak dikorupsi. Namun era Jokowi, korupsi tetap merajalela. Apalagi tingginya angka Bansos ditengarai dari utang-utang yg semakin menggunung.

Yang masyarakat tidak sadar, atau mungkin mereka sudah tertipu: bansos-bansos itu yg mereka terima sebenarnya adalah utang-utang yg harus dibayar oleh seluruh rakyat Indonesia.

Ilustrasi sederhanya begini. Sudah lama para karyawan di sebuah perusahaan ini mengeluhkan direksi karena gaji tidak pernah naik, taraf hidup tak kunjung bagus. Para Direksi yg masa jabatannya akan segera berakhir tak hilang akal menghadapi keluhan para karyawan. Mereka meminjam utang besar. Para karyawan itu pun dilayani habis-habisan. Diberi makan siang gratis. Kalau pulang diberi sembako. Bahkan diberi kendaraan transportasi.

Dalam masa-masa itu, Direksi melakukan jajak pendapat. Apakah puas dengan kepemimpinan Direksi itu? Hampir semua karyawan puas. Bagaimana tidak, Direksi dianggap sangat baik hati. Sarapan dan makan siang gratis. Dikasi sembako. Dan kendaraan transportasi.

Tapi yg tidak disadar oleh para karyawan itu, semua yg mereka terima, dari makanan, sembako hingga kendaraan transportasi, dimasukkan sebagai utang karyawan pada perusahaan. Yang nantinya pasti ditagihkan.

Saat ini, karyawan itu belum “ngeh” mereka masih asyik, memuja-puja Direksi. Mereka baru akan sadar, merasa sakit, panik dan tertipu kalau nantinya kuitansi tagihan utang berdatangan.

Gaji mereka tidak naik, taraf hidup tak kunjung membaik, tapi mereka harus membayar utang nanti.

Mereka mau marah? Buat apa. Direksi itu akan segera pergi meninggalkan mereka.

Yang berkuasa itu akan segera pergi dengan label nama baik, kepuasan publik tinggi, sementara yg ditinggal akan meratapi karena diwarisi beban dan utang yg tinggi.

Tiba-tiba saya teringat pepatah Arab: al-nadamu ba’dal ‘adami (penyesalan itu datang belakangan).

Dan Hari Penyesalan Nasional itu akan datang bersama tagihan utang.

Mohamad Guntur Romli

Sumber : FB Mohamad Guntur Romli

- Advertisement -

Berita Terkini