Kontroversi Pemberitaan Konsesi Tambang pada PBNU: Politis atau Organik?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Aguk Irawan MN

Bahlil Lahadalia (Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal) menyatakan akan memberikan konsesi batu bara yang cadangannya besar kepada PBNU, untuk dikelola dalam rangka mengoptimalkan organisasi. Hal tersebut berdasarkan arahan dan pertimbangan dari beberapa menteri, bahkan telah disetujui oleh Presiden Jokowi.

Organisasi Masyarakat (Ormas) Keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah bisa mengelola Wilayah Izin Pertambangan Khusus (WIUPK), karena ada sebuah regulasi baru, tepatnya Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pada Pasal 83 A ayat (1) menyebutkan, dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.

Di Bagian Penjelasan atas PP No. 25/2024 Pasal 83A Ayat (1) tersebut dikatakan, berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf j Undang-undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pemerintah Pusat dalam pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara berwenang melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas.

Penawaran WIUPK secara prioritas dimaksudkan guna memberikan kesempatan yang sama dan berkeadilan dalam pengelolaan kekayaan alam. Selain itu, implementasi kewenangan Pemerintah tersebut juga ditujukan guna pemberdayaan (empowering) kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.

Bagian yang dimaksud dengan organisasi kemasyarakatan keagamaan adalah organisasi kemasyarakatan keagamaan yang salah satu organnya menjalankan kegiatan ekonomi serta bertujuan pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat/umat (hlm. 30).

Berdasarkan Pasal 83A ayat (1) PP No. 25/2024 dan penjelasannya tersebut, ormas NU berhak mendapatkan penawaran WIUPK prioritas dari pemerintah. Pertanyaannya, apakah balas budi pemerintahan presiden Jokowi terhadap PBNU dengan memberikan konsesi tambang sudah selaras dengan nilai-nilai ideal yang tumbuh sepanjang sejarah NU, yang mengusung kemandirian ekonomi?

Sekilas perlu kembali menelusuri spirit kemandirian ekonomi ormas NU. Pada tahun 1918, Mbah Wahab Hasbullah dan Kiai Ahmad Dahlan dari Kebondalem membentuk Tashwirul Afkar sebagai think tank pengembangan pesantren. Namun, pada saat yang sama, Mbah Wahab Hasbullah dan Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari juga mendirikan sebuah koperasi dagang Nahdlatut Tujjar.

Di dalam koperasi ini dibentuk badan usaha bernama Syirkah al-‘Inan. Kelak pada 1926 ketika NU sudah lahir, Syirkah al-‘Inan berganti nama menjadi Syirkah al-Mu’awanah.

Koperasi ini dibentuk untuk menghimpun pedagang Islam tradisional, terutama di wilayah Surabaya-Jombang. Gagasan besarnya adalah untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

Berdasarkan sejarah _Syirkah al-‘Inan_ (Syrikah al-Mu’awanah) tersebut, NU berada di jalan pengabdian kepada masyarakat melalui pemberdayaan. Sehingga tidak ada penyimpangan spirit penawaran konsesi tambang dalam Pasal 83A PP No. 25/2024 dari spirit kemandirian ekonomi NU.

Hanya saja, penyimpangan terjadi pada aspek proses dan mekanisme. _Syirkatul ‘Inan_ bersifat organik. Sementara pemberian konsesi tambang bersifat politis.

Dalam Press Release PBNU, Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) memang benar ketika mengatakan bahwa kebijakan penawaran konsesi tambang merupakan langkah berani yang menjadi terobosan penting untuk memperluas pemanfaatan sumber daya alam yang dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat secara lebih langsung. Pertanyaan semacam ini, di satu sisi, memang benar. Yaitu, dari segi tujuannya untuk kemaslahatan rakyat.

Di sisi lain, kebijakan presiden Jokowi adalah politik konsessi tambang, sudah jamak diketahui bahwa PBNU berjuang sampai titik darah terakhir untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran, di mana Gibran adalah anak kandung Jokowi.

Dengan begitu, sudah masuk diakal apabila Presiden membalas budi “kebaikan” PBNU atas kerja keras selama Pilpres 2024 kemarin. Artinya, dari segi proses dan mekanisme, bukan lagi organik melainkan kental politis praktis-transaksional.

Lantas, bagaimana jika berpolitik praktis-transaksional—yang wujud konkritnya berupa penerimaan konsesi tambang batubara—dalam sudut pandang Fiqih Lingkungan dan Fiqih Peradaban? Di sini perlu ditekankan lagi pandangan Islam mengenai lingkungan dan peradaban., yang tidak semata-mata material melainkan juga spiritual.

Sulaiman Umar al-Hadi, dalam _Al-Istitsmar al-Ajnabi al-Mubasyir wa Huquq al-Biah fi al-Iqtishad al-Islami wal al-Iqtishad al-Wadh’i_, berpendapat bahwa hukum Islam membatasi manusia dalam memanfaatkan lingkungan melalui metodologi amaliah yang sempurna.

Metode ini dimulai dari memanfaatkan sumber daya alam (biah) secara material maupun spiritual, tidak boleh melulu material tanpa spiritual, tidak boleh juga melulu spiritual tanpa material (Al-Hadi, 2009: 116).

Bisa dimengerti bahwa Pasal 83A PP No. 25/2024 dan jaringan struktur bisnis dan manajemen profesional-akuntabil dari NU, secara material bermanfaat bagi masyarakat. Sebab, sumber daya alam tidak lagi dikuasai sepenuhnya oleh negara, melainkan ada bidang-bidang tertentu yang masyarakat bisa ikut menikmati. Namun, apakah semua itu sudah mencerminkan nilai spiritual, jika memang bermaksud membangun peradaban?

Pertanyaan semacam ini sulit dijawab dengan jawaban yang bisa dimengerti oleh akal sehat. Sampai detik ini, mayoritas pemikiran politik dari praktisi maupun pakar ahli mengatakan bahwa politik traksaksional seperti yang terkesan dari relasi PBNU dan Jokowi pada Pilpres 2024 yang lalu adalah politik yang sah dan wajar. Padahal politik transaksional sejatinya menyimpang dari nilai-nilai ideal, baik secara akal maupun syariat.

Mungkin dalam ungkapan yang sederhana, dalam konteks ini, –mustahil mencuci pakaian kotor dengan air keruh. Mustahil mensucikan baju dengan air najis. Proses dan mekanisme yang kotor dan najis tidak akan mensucikan atau membersihkan tujuan.

Karenanya para ulama fikih berpendapat, tidak sah bersedekah dan berinfaq dari harta hasil curian. Tidak sah pula shalat menggunakan pakaian najis dan di tempat najis.

Dalam hemat penulis, polemik ini hanya akan selesai apabila mayoritas orang sudah menerima bahwa politik traksaksional adalah politik yang sah, wajar sesuai kaidah Islami, juga dibenarkan oleh hukum positif maupun fikih peradaban Islam.

- Advertisement -

Berita Terkini