MUDANEWS.COM, Opini – Namun jika kesetaraan Gender yang diperjuangkan R.A Kartini pada masa lalu tidak dimanfaatkan oleh kaum perempuan dengan maksimal untuk terus berkiprah untuk perbaikan dan kemajuan, maka perjuangan Kartini tidak menemukan ruh perjuangannya di masa ini.
Harapan Serta Cita-Cita
Mungkin kita sering mendengar beberapa ungkapan berikut:
“Perempuan adalah tiang negara, jika perempuannya baik maka baiknya negara”.
“Perempuan adalah madrasah dalam membentuk generasi yang beradab”.
“Perempaun adalah rahim peradaban”.
“Dibalik laki-laki besar, ada sosok perempuan besar”.
Dan banyak lagi ungkapan-ungkapan yang menggambarkan keagungan dan kemuliaan perempuan. Dan memang fakta sejarah menggambarkan bagaimana perempuan sangat berperan dalam membentuk dan menggerakkan jalannya sejarah. Artinya perempuan harus menyadari bahwa dirinya sangat memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk peradaban. Sehingga sangat disayangkan apabila kaum perempuan tidak ambil bagian dalam merubah tatanan kehidupan. Ke arah yang lebih baik.
Namun perlu digaris bawahi, bahwa keterlibatan perempuan dalam semua lini kehidupan tentu bukanlah ingin menjadikan laki-laki sebagai saingan bagi perempuan. Namun laki-laki dan perempuan sebagai rekan dan pasangan untuk bekerjasama.
Namun apa yang paling penting dalam membangun hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam membentuk peradaban? Adalah Loyalitas. Sebagai contoh adalah Loyalitas Khadijah kepada Rasulullah SAW. Loyalitas Fatimah Az-Zahra kepada Ali bin Abi Thalib. Loyalitas tersebut berhasil membangun masyarakat dan generasi yang Madani dan beradab.
Sejarah menjelaskan, bahwa sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW, Khadijah adalah salah seorang yang terkaya di Jazirah Arab. Bisnisnya di semua bidang, ia importir dan eksportir handal, dan propertinya ada di mana-mana. Sehingga ajar, saat menikah, maharnya diberikan Nabi adalah 100 ekor unta, dan belum termasuk pesta dan lain-lainnya.
Namun sebagaimana dicatat dalam sejarah, semua kekayaan yang dimiliki Khadijah habis membantu perjuangan Nabi, hingga akhirnya tidak memiliki apa-apa dan hidup dengan sangat sederhana. Suatu waktu saat Nabi bersandar di pangkuannya Khadijah dan tertidur. Sambil menatap dan membelai jenggot yang mulai beruban, air mata Khadijah menetes tepat ke mata Nabi. Seketika, Nabi terbangun dan bertanya, “Wahai kekasihku, kenapa bersedih? Apakah karena tak tahan dengan perjuangan ini? Apakah karena kita sudah tidak memiliki apa-apa lagi? Atau apakah saya telah membebani jalan hidupmu?”
Lalu, Khadijah menjawab, “Tidak ya Rasulullah, tangisku tidak lebih karena sayang dan cintaku kepadamu, percayalah, dalam perjuangan ini semuanya akan saya korbankan. Hingga seandainya dirimu akan menyeberangi sebuah sungai dan tidak ada jembatannya, maka aku siap dan rela menjadi jembatannya, demi perjuangan ini sayang.”
Demikianlah potret loyalitas yang beradab tercermin pada apa yang ditampilkan Khadijah. Sesuai fitrah penciptaan manusia, pria dan wanita adalah pasangan, bukan saingan. Pasangan perlu bekerjasama dengan loyal sehingga tujuan yang diinginkan tercapai. Sisi rasional dan emosional berpadu dan melahirkan loyalitas dalam ikatan cinta yang dibangun Khadijah dan Muhammad sehingga melahirkan kekuatan dahsyat yang pada saatnya menaklukkan dunia.
Sisi lainnya adalah, bahwa bersama pria hebat selalu ada wanita hebat. Bersama Adam as. ada Hawa, bersama Sulaiman as ada Balqis, dan bersama Muhammad SAW ada Khadijah. Bersama Ali bin Abi Thalib as. ada Fatimah Az-Zahra. Mungkin itulah maksud ungkapan di atas, bahwa wanita adalah tiang negara, baik dan tidaknya wanita menentukan nasib negara.
Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita adalah satuan terkecil dari himpunan sebuah negara. Potretnya mempengaruhi dan menentukan nasib suatu bangsa. Dengan demikian, jika ingin melihat kemajuan atau kemunduran sebuah negara maka cukup dengan melihat bagaimana potret dari keluarga-keluarga yang ada di negara tersebut.
Dengan demikian, wanita-wanita masa kini perlu banyak belajar kepada perempuan agung yang telah tercatat dalam sejarah, seperti Khadijah. Sehingga perjuangan perempuan menemukan kekuatannya, dan generasi-generasi bangsa ini tumbuh dengan cerdas dan berakhlak karena dibelai dan dididik oleh tangan-tangan terampil perempuan agung seperti Khadijah.
Kesimpulan
Perlu digaris bawahi, bahwa emansipasi wanita bukan untuk menjadikan wanita setara dengan laki-laki. Karena pada prinsipnya perempuan dan laki-laki memiliki kodrat masing-masing. Emansipasi juga tidak untuk memisahkan wanita untuk meninggalkan peran vital di dalam rumah. Jika itu terjadi, justru akan melahirkan kesenjangan dan kemunduran di tengah-tengah masyarakat.
Namun gerakan emansipasi yang kita tawarkan ada gerakan emansipasi yang memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk berperan aktif diruang publik, baik itu dilingkaran legislatif, eksekutif, dan yudikatif, ataupun peranan publik lainnya, adalah dengan tujuan untuk mendampingi laki-laki. Menjadi rekan dan partner untuk melahirkan gagasan serta gerakan untuk membangun peradaban yang baik.
Untuk itu, kepada kaum perempuan Indonesia, ayo bergerak dan berpartisipasi, jangan menjadi apatis. Sudah waktunya kita berbenah, cerdaskan akal, kuatkan mental, tingkatkan spiritimual dan mari terlibat aktif dalam gerakan politik, akademisi, praktisi. Manfaatkan kesempatan yang ada, tentu dengan tidak meninggalkan kodrat kita sebagai perempuan dan ibu. Karena kitalah rahim peradaban. Dari tangan kitalah lahirnya peradaban.
Jangan membuat ibu Kita Kartini menangis dengan tindakan apatis dan tidak melanjutkan cita-cita serta perjuangannya untuk kehormatan, kemuliaan serta kemerdekaan perempuan.
Oleh : Adlina SE
Kepala Sekretariat DPD BMI Sumut
Presidium Nasional Forum Politisi Muda Indonesia