Kemana Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh yang Besar ?

Breaking News
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Penyaluran Dana Otonomi Khusus (dana Otsus) untuk Provinsi Aceh dimulai sejak tahun 2008, sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Dimana penyaluran dana otsus tersebut masih berlanjut hingga sekarang.

Berdasarkan Pasal 183 Ayat (2) dalam UU No. 11 tahun 2006, dijelaskan bahwa pengalokasian dana Otsus memiliki jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas memiliki besaran setara 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional. Sedangkan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh, besarannya setara 1% (satu persen) dari plafon DAU Nasional.

Aceh sendiri bukan satu-satunya provinsi yang ada di Indonesia yang mendapatkan dan Otsus tapi ada 4 Provinsi yang mendapatkan dana tersebut yaitu : D.I. Yogyakarta, Papua, Papua Barat dan Aceh tapi disini yang ingin dibahas tentang dana Otsus yang ada di Aceh.

Penerimaan Dana Otonomi Khusus Aceh dari Pemerintah Pusat mengalami kenaikan setiap tahun. Provinsi Aceh memperoleh Dana Otonomi Khusus sebesar Rp.3,590 triliun tahun 2008, kemudian meningkat terus sampai dengan tahun 2019 sebesar Rp8,360 triliun.

Penerimaan Dana Otonomi Khusus Aceh meningkat secara bertahap sesuai dengan kenaikan DAU Nasional. Peningkatan DAU nasional bergantung pada kenaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dan di kabarkan dalam rapat Panitia Kerja (Panja) di DPR RI menetapkan bahwa Aceh kembali mendapatkan Dana Otonomi Khusus (Otsus) sebesar Rp.7,5 triliun untuk dialokasikan kepada Provinsi Aceh pada RUU APBN Tahun Anggaran (TA) 2022.

Meskipun dana Otsus yang di berikan Pemerintah Pusat ke Aceh mencapai nilai yang fantatis. Namun mengapa Aceh masih menjadi provinsi yang miskin ?

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, tingkat kemiskinan di rakyat Tanah Serambi Mekah tercatat 15,43% pada September 2021. Angka tersebut naik dibandingkan periode sama tahun lalu yaitu 15,01%. Situasi ini, masih menurut data otoritas statistik, bahkan sudah terjadi selama bertahun-tahun.

Sejak 2005, Aceh masih bersatus sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Pulau Sumatera. Padahal, dalam beberapa tahun terakhir dukungan pemerintah pusat untuk Aceh tidak tanggung-tanggung. Mulai dari dana otonomi khusus (Otsus), dana desa hingga transfer ke daerah.

Jadi ada beberapa hal yang menyebabkan masih kurangnya Pemerintah Aceh dalam mengelola dana Otsus dengan baik. Menyangkut dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang ekonomi, dana otonomi khusus tidak terkelola dengan baik sehingga membuat kesejahteraan masyarakat Aceh secara umum tidak mengalami perbaikan.

Ironisnya, peningkatan kesejahteraan justru hanya dinikmati oleh sebagian orang yang dekat dengan kekuasaan/jabatan sehingga menimbulkan fenomena orang-orang kaya baru di sana. Salah satu sebab di bidang ekonomi ini karena dana Otsus cenderung diarahkan untuk meningkatkan popularitas gubernur yang memang berniat maju kembali dalam Pilkada Gubernur. Contoh yang paling mengemuka ialah mengenai proyek Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), pembangunan dua jembatan fly over di Banda Aceh, dan renovasi Mesjid Raya Baiturrahman.

Sementara dalam bidang politik, dominasi mantan GAM di pemerintahan dan parlemen, baik di provinsi maupun tingkat kabupaten/kota sangat kuat terjadi. Namun, keberadaan mereka justru tidak diikuti dengan kualitas yang memadai sehingga kinerja parlemen maupun pemerintahan mengalami penurunan kualitas dan menjurus kolusi, sedangkan di sisi lain korupsi merajalela.

Kondisi di atas nampaknya selaras dengan Laporan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tentang penggunaan dana Otsus (Kemenkeu, 2020). Dalam laporan tersebut dijelaskan beberapa hal, di antaranya:

Pertama, Pemerintah Daerah kurang transparan. Kedua, ketergantungan yang masih tinggi terhadap dana Otsus. Ketiga, kinerja indikator kesejahteraan dan perekonomian daerah selama implementasi dana Otsus pada periode 2011-2017 telah menunjukkan perbaikan, namun signifikansi pengaruh dana Otsus terhadap membaiknya kinerja indikator tersebut belum dapat dijelaskan. Dan masih terdapat catatan-catatan lainnya.

Ada juga terdapat tiga hal penting terkait dengan anggaran Dana Otonomi Khusus Aceh, yaitu: Pertama, Pemerintah Aceh bergantung pada anggaran dana Otonomi Khusus. Total Dana Otonomi Khusus Aceh sejak tahun 2008–2019 sebesar Rp73,326 triliun atau 51,58% terhadap total Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) sebesar Rp.142,157 triliun. Porsi terkecil terjadi pada tahun 2009 sebesar 38,08% dari total APBA, sedangkan porsi terbesar terjadi pada tahun 2016 sebesar 59,86% dari total APBA.

Kedua, alokasi Dana Otonomi Khusus Aceh untuk bidang infrastruktur lebih dominan dari pada bidang lain Infrastruktur 45.32% Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 10.95% Pengentasan Kemiskinan 5.37% Pendidikan 21.15% Sosial 2.30% Kesehatan 13.02% Keistimewaan Aceh 1.89%;

Ketiga, SiLPA Dana Otonomi Khusus Aceh tinggi. Rendahnya penyerapan dana Otonomi Khusus itu menurut Pemerintah Aceh disebabkan oleh program yang kurang berjalan efektif karena waktu, kondisi daerah, dan koordinasi sehingga penyerapan anggaran belum optimal meskipun penganggaran dan perencanaan sudah baik. Selain itu, penyerapan yang rendah juga terjadi karena pengadaan yang belum berjalan sesuai dengan jadwal sehingga terjadi keterlambatan pencairan.

Sudah seharusnya pemerintah pusat menjadi Pengawas utama yang paling berwenang dan bertanggung jawab atas dana otonomi khusus ini. Selain memiliki tugas pembinaan, Pemerintah pusat juga memiliki tugas mengawasi aliran dana Otsus, yang mana aliran dana tersebut bagian dari terselenggaranya urusan pemerintah daerah.

Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, bahwa “Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintah daerah”. Dengan begitu kementerian secara umum melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan dibantu oleh kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian terkait pelaksanaan pembinaan secara teknis. Sedangkan pada tingkat daerah, pembinaan dan pengawasan dilakukan secara internal oleh pemerintah daerah, institusi internal.

Maka terdapat beberapa poin penting yang harus menjadi perhatian bagi Pemerintah Aceh dalam memperbaiki tata kelola dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber dana Otsus untuk mewujudkan pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel serta berdampak pada peningkatan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat Aceh. Beberapa poin yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Perlu dihadirkannya transparansi ke publik mengenai rencana strategis penggunaan dana Otsus, sehingga para pemangku kepentingan seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, DPR RI/DPRA/DPRK, maupun masyarakat umumnya dapat mengawasi sekaligus memberikan saran dan pandangannya sesuai keahlian dan kemampuannya masing-masing untuk berperan memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaannya.

2. Perlu ada kesepahaman dan kesamaan visi-misi antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota dalam memaknai dana Otsus, agar dalam pemanfaatannya dapat memberikan dampak pada perbaikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh.

3. Dalam hal akuntabilitas keuangan yang telah diperiksa oleh BPK RI, maka Pemerintah Aceh harus menindaklanjuti rekomendasi BPK atas temuat dan permasalahan dalam penggunaan dana Otsus yang belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Pemerintah Aceh dapat memastikan bahwa temuan dan permasalahan ini tidak terulang kembali di tahun-tahun berikutnya.

4.Pemerintah Aceh harus melakukan langkah perbaikan untuk meningkatkan efektivitas penggunaan dana Otsus.

Disamping itu, Pemerintah Aceh juga perlu memperhatikan masa berlakunya dana Otsus tersebut, agar bisa mempersiapkan perbaikan yang lebih komprehensif. Untuk itulah sembari mempersiapkan menuju ke periode 1% plafon DAU Nasional pada tahun keenambelas, Pemerintah Aceh harus merespon kemampuan fiskal daerah yang besar dari sumber Otsus dan DAU dengan melakukan belanja-belanja produktif untuk kebutuhan investasi.

Oleh : Nurkhalis Muzakir
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala

Berita Terkini