Oleh: Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com-Opini | Youtuber favorit saya ni, wak. Joe Hattab. Saya tak menyangka, goyangan Rayyan Arkan Dhika di ujung perahu yang viral mendunia itu, menarik perhatian Joe. Ia pun turun langsung ke Kuarsing. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula.
Di sebuah belokan sungai yang sepi di Riau, tepatnya di Kuantan Singingi, sejarah dunia tiba-tiba berubah arah. Bukan karena penemuan nuklir baru, bukan karena Donald Trump menang besar, tapi karena satu hal, tarian magis Aura Farming yang dilakukan oleh seorang “budak kecik” bernama Rayyan Arkan Dhika di atas haluan perahu Pacu Jalur. Dari ribuan kilometer jauhnya, seorang YouTuber kenamaan asal Yordania, Joe Hattab, mendadak terpanggil. Tidak oleh jadwal endorse atau brand fashion Dubai, tapi oleh getaran eksistensial yang merambat dari layar HP-nya langsung ke sumsum tulang belakang.
Semuanya bermula dari video viral berdurasi 17 detik yang mengguncang jagat internet. Dhika menari di ujung perahu seperti sedang memanen cahaya dari langit. Tangan kecilnya menebas angin, kakinya berdansa seirama arus sungai, dan matanya seperti tahu rahasia semesta. Seluruh dunia berhenti. Saham TikTok naik. Koneksi internet Afrika Tengah tiba-tiba lancar. Bahkan Travis Kelce dilaporkan menggigit helm American Football miliknya karena tak kuasa menahan emosi.
Joe Hattab, yang biasa merekam reruntuhan kerajaan kuno, suku terpencil, dan mata air suci, menangis seperti anak kecil yang kehilangan drone. Ia berkata lirih dalam bahasa Arab, “Ini bukan sekadar konten… ini pencerahan batin dari dimensi lain.” Keesokan harinya, tiket pesawat ke Pekanbaru langsung dibeli, visa diurus dalam 6 menit, dan tim kameranya disuruh siap perang budaya.
Ketika Joe tiba di Bandara Sultan Syarif Kasim II, langit seketika berubah ungu. Burung-burung lokal terbang melingkar seperti formasi penyambutan, dan tanah Kuansing bergetar halus seolah tahu seorang pelancong pencari makna telah mendarat. Kepala Dinas Pariwisata Riau, Roni Rakhmat, memakaikan Tanjak ke kepala Joe sambil berbisik, “Selamat datang di medan aura.” Joe menunduk, mencium tanah, dan menangis lagi.
Sesampainya di Teluk Kuantan, Joe langsung bertemu Dhika. Dunia seperti berhenti. Kamera tak bergerak. Udara menegang. Dhika hanya tersenyum, lalu mengangkat tangan kecilnya. Dalam hitungan detik, Joe tersungkur. Beberapa saksi mengatakan ia pingsan karena aura terlalu kuat. Tapi pihak resmi menyebutnya “transendensi budaya mendadak.”
Setelah sadar, Joe tak banyak bicara. Ia mulai syuting. Drone beterbangan seperti burung Phoenix. Lensa wide-angle-nya menangkap peluh penarik jalur, gemuruh sorak warga, dan tentu saja: Dhika yang kembali menari di atas perahu, kini dengan tambahan efek matahari terbelah dua di belakangnya.
Footage ini nanti akan diunggah di kanal YouTube yang terkenal itu. Sekarang ia belum meng-upload videonya. Kemungkinan judulnya nanti, “The Child Who Dances with the River: Finding God in Kuansing.” Di akhir video, Joe duduk di tepi sungai sambil menatap kamera dan berkata, “Di sinilah akhir perjalananku… dan awal segala hal yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.”
Festival Pacu Jalur 2025 belum dimulai, tapi epicentrum budaya sudah meledak. Joe Hattab bukan hanya merekam Dhika. Ia merekam momen di mana peradaban menyadari bahwa makna bisa menari, di atas perahu, di tengah sungai, oleh bocah yang bahkan belum tahu apa itu Wi-Fi. Dunia? Mereka hanya bisa menyaksikan, dalam diam, kagum, dan mungkin, sedikit iri.