Empati di Tengah Amarah Publik : Membaca Ujian Seorang Imam yang Kehilangan Seorang Anak,Kuasa dan Cinta

Breaking News
- Advertisement -

 

Anton Christanto, Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Mudanews.com OPINI – Aku menulis ini bukan untuk membela Ridwan Kamil.
Tidak.
Aku pun bukan penggemarnya. Bahkan aku pernah merasa tak sreg dengan gaya komunikasinya ketika berada di puncak—terlalu percaya diri, kadang terasa berlebihan. Dan tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk membenarkan apa pun yang kini dipersoalkan publik.

Tulisan ini lahir dari satu hal yang sering kita lupakan saat amarah dan kekecewaan memuncak: empati.
Empati kepada seorang lelaki yang sedang dihantam cobaan hidup bertubi-tubi, hampir bersamaan, nyaris tanpa ruang untuk berdiri tegak.

Karena sebelum ia adalah pejabat publik, politisi, atau figur media, Ridwan Kamil adalah seorang ayah, seorang suami, dan seorang imam dalam rumah tangganya. Dan Islam mengajarkan kita bahwa peran seorang imam tidaklah ringan—bahkan sering kali jauh lebih berat daripada sorotan yang tampak di luar.

Allah berfirman:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (imam) bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
(QS. An-Nisā’: 34)
Ayat ini bukan sekadar penegasan posisi, melainkan beban tanggung jawab. Menjadi imam bukan soal kuasa, melainkan soal menanggung. Menanggung dosa, menanggung arah, menanggung keselamatan jiwa orang-orang yang dicintainya.

Bayangkan menjadi seorang ayah yang kehilangan anak lelaki kebanggaannya.
Seorang anak yang tumbuh tampan, cerdas, dan penuh harapan. Seorang anak yang setiap senyumnya adalah doa yang hidup. Kehilangan itu bukan sekadar duka—ia seperti meruntuhkan sebagian identitas seorang ayah. Tidak ada jabatan, tidak ada popularitas, tidak ada kekuasaan yang mampu menggantikan rasa itu.

Lalu belum kering air mata, datang luka berikutnya: jarak dengan anak perempuan.
Bagi seorang ayah, anak perempuan adalah amanah paling lembut. Ia dijaga bukan hanya dengan tangan, tetapi dengan hati. Kita semua tahu—terutama para ibu—berbeda pendapat kecil saja dengan anak perempuan bisa membuat ayah murung berhari-hari. Apalagi ketika jarak itu menjadi sunyi. Apalagi ketika “menjauh”.

Rasa sakitnya tidak gaduh, tetapi dalam. Dan sering kali dipendam.

Kemudian datang kehilangan lain: kehilangan kekuasaan.
Bagi sebagian orang, kehilangan jabatan adalah bagian dari siklus hidup. Namun bagi Ridwan Kamil, kejatuhan itu terasa dramatis. Dari figur yang dielu-elukan, menjadi sosok yang seolah kehilangan panggung. Dari pusat sorotan, menuju ruang sunyi. Karier politik yang dulu melesat, runtuh dengan cepat—ditambah bayang-bayang persoalan hukum yang, benar atau tidak, tetap menjadi beban psikologis. Sudah jatuh, tertimpa tangga.

Namun yang paling telanjang adalah kehilangan nama baik.
Skandal—yang di ruang publik sering kali berlari lebih cepat dari kebenaran—menggulung reputasi tanpa ampun. Netizen negeri ini memang demikian: memuja setinggi langit, lalu mencibir dengan kekejaman yang sama besarnya. Amal, dedikasi, kerja, dan niat baik masa lalu seolah tak pernah ada. Padahal, nama baik bagi seorang lelaki—terlebih seorang imam—adalah kehormatan yang dijaga seumur hidup.

Allah mengingatkan:

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati—semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS. Al-Isrā’: 36)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap langkah seorang imam akan dihisab. Tidak ada yang luput. Tidak pula ada yang ringan.

Dan mungkin yang paling perih adalah kehilangan cinta.
Istri—yang selama ini menjadi simbol kekuatan, kebanggaan, dan rumah tempat pulang—akhirnya memilih pergi. Dengan alasan yang, bagi banyak perempuan, justru bisa dipahami. Ini bukan sekadar perpisahan. Ini adalah penutup kisah cinta yang pahit, sunyi, dan sangat manusiawi.

Namun bahkan dalam kegagalan, Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk menghapus seluruh kebaikan seseorang.

Allah berfirman:

“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
(QS. Al-Māidah: 8)

Kita boleh kecewa.
Kita boleh marah.
Kita boleh mengkritik.

Tetapi keadilan menuntut kita untuk tetap melihat bahwa seseorang bisa salah, tanpa harus menjadi sepenuhnya jahat.

Ridwan Kamil, dengan segala kekurangannya, pernah berusaha menjadi imam. Pernah berdiri sebagai ayah. Pernah memikul tanggung jawab sebagai suami. Dan itu adalah bagian dari kebaikan yang tidak selayaknya dihapus hanya karena kegagalan.

Anak.
Kekuasaan.
Nama baik.
Cinta.

Empat kehilangan besar yang datang hampir bersamaan.

Di titik ini, aku memilih berhenti menghakimi dan mulai berempati. Karena jujur saja: jika separuh saja dari rangkaian kehilangan ini menimpa salah satu dari kita—para suami, para ayah—betapa mudahnya jiwa tergelincir ke jurang keputusasaan.

Islam mengajarkan kita untuk menimbang manusia secara utuh, bukan sepotong-sepotong.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(QS. Al-Baqarah: 286)

Tabahlah, Kang Emil.
Semoga waktu—yang sering kejam, namun juga penyembuh paling jujur—memberi ruang untuk bertobat, berdamai, dan memperbaiki diri. Semoga dari puing-puing kehilangan ini, tumbuh hikmah yang menjadikan hidup ke depan lebih tenang, lebih rendah hati, dan lebih manusiawi.

Karena pada akhirnya, di balik semua jabatan dan sorotan, kita semua hanyalah manusia—rapuh ketika kehilangan, dan sangat membutuhkan rahmat Allah, bukan hanya penghakiman manusia.***

Berita Terkini