Kosong-Kosong

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com OPINI – Kembali ke pangkuan bumi, Anda berisi. Bukan ke buaian teknologi. Jangan ke pelukan aplikasi. Itu palsu, iki tak aseli.

Ketika malam pas jam 00:00, amba terjerembab ke pangkuan Gregg Braden, penulis ‘The Divine Matrix – Menyingkap Rahasia Alam Semesta’ (2018).

Saya dipeluk erat frasa berisi tenaga berikut ini:

“Tampaknya, semakin kita menjauh dari koneksi alami kita dengan bumi, tubuh kita, sesama manusia, dan Tuhan, semakin kita menjadi kosong”.

Menjauhi bumi, maka manusia kosong. Tak terkoneksi bahkan merusak bumi, manusia di kuadran negatif.

Kosong itu mula-mula datang sebagai sunyi kecil. Tak mengganggu, nyaris sopan.
Namun ketika kosong sudah menetap, kosong berubah menjadi ruang luas tanpa dinding—tempat manusia berdiri, bergerak, bekerja, berbicara, tetapi tak lagi benar-benar hidup.

Tampaknya, semakin manusia menjauh dari koneksi alaminya dengan bumi, tubuh, sesama manusia, dan Tuhan, semakin ianya merasa penuh—namun sejatinya kosong. Kosong yang berlapis. Kosong yang tak berisik. Kosong yang kosong.

Kita mulai dari bumi.
Bumi yang dulu ibu, kini direduksi menjadi objek. Tanah diukur, dipetakan, diperjualbelikan; hutan dihitung, sungai diarahkan, gunung ditakar manfaatnya.

Saat bumi berhenti kita sapa sebagai sesama ciptaan, tubuh manusia ikut kehilangan pijakan. Kita lupa bahwa kaki diciptakan untuk menyentuh tanah, bukan sekadar lantai yang bisa bercermin.

Dari sanalah sang kosong pertama lahir: ketika manusia tak lagi mencium bumi dan lupa bahwa kerendahan hati tumbuh dari debu.

Nun dari jarak waktu yang panjang, Rumi memeluk dan seolah berbisik dari kejauhan: manusia mencari makna ke langit, padahal mata airnya di bawah telapak kaki sendiri.

Dari bumi, kita masuk ke tubuh—ke jantung.
Tubuh dirawat sebagai mesin: dipacu, digenjot, pun dipolesi, disaloni, diglowing. Detak jantung dipercepat oleh target, bukan oleh syukur. Oleh tergesa-gesa bukan cita rasa. Dia yang tergesa dalam tergesa maka dia paling tak bahagia!

Dari jantung lalu ke nafas. Nafas dihitung produktivitasnya, bukan kesadarannya. Tubuh bergerak, tetapi hati tertinggal-tergeletak.

Al-Ghazali mengingatkan: hati diciptakan untuk mengenal Tuhan; bila diisi selain Dia, yang tampak sibuk namun sejatinya mati.

Di sinilah kosong menjadi berbahaya—saat manusia tampak hidup, namun kehilangan rasa hidup itu sendiri.

Lalu kita berkumpul dalam lingkaran-lingkaran sosial. Sirkel semakin ramai, jaringan semakin luas, percakapan semakin cepat. Namun manisnya keintiman justru mangkin menipis.

Kita saling menyapa tanpa sungguh bertanya, saling hadir tanpa sungguh menemani.

Andrea Hirata mungkin akan menuliskannya sebagai kisah orang-orang yang tertawa dalam satu meja, tetapi pulang membawa kesepian milik masing-masing.

Kosong di sini bukan karena sendiri, melainkan karena sesama tak lagi dipandang sebagai cermin jiwa, hanya sebagai latar.

Puncaknya adalah kosong yang paling senyap: keterputusan rabbani. Tuhan tak ditolak, tetapi juga tak dirindukan.

Doa menjadi rutinitas, bukan percakapan batin. Iman hadir sebagai identitas, bukan orientasi. Kiblat ada, tetapi arah hidup kabur: obscuur.

Rumi akan bertanya dengan lembut namun mengguncang: mengapa manusia berkeliling dunia, jika rumahnya bersemayam di dalam dada?

Namun kosong-kosong bukan akhir.
Hanya alarm, bukan vonis penolakan. Itu panggilan pulang.

Pulang ke bumi—untuk kembali rendah hati.
Pulang ke jantung—untuk kembali mendengar detak makna. Pulang ke sirkel—untuk kembali memanusiakan manusia.
Dan pulang ke Rabbani—untuk kembali menemukan arah.

Karena manusia tidak diciptakan untuk penuh oleh isi dunia. Manusia diciptakan untuk utuh oleh hubungan. Dan hanya dengan mengingat asal dan tujuan,
kosong-kosong berubah menjadi ruang
tempat cahaya akhirnya masuk. Menjadi manusia yang berisi, dimasuki cahaya, diselimuti manunggaling rabbani.

Tabik.

Muhammad Joni, musyafir Sumatera

Berita Terkini