Awasi Proyek Menghabiskan Anggaran Akhir tahun, Ketika Beton Dipaksa Kering dalam Semalam

Breaking News
- Advertisement -

MudanewsLihat kalender di dinding Anda. Hari ini tanggal 18 Desember 2025.
Di luar sana, langit Indonesia sedang menumpahkan air tanpa henti. Musim hujan sedang berada di puncaknya. Logika orang waras mengatakan ini adalah waktu terburuk untuk pekerjaan konstruksi jalan atau pengecoran beton. Tapi, cobalah melongok ke jalanan di kota atau kabupaten tempat Anda tinggal.
Apa yang Anda lihat?

Anda akan melihat fenomena ajaib yang hanya terjadi di negeri ini: Truk molen yang berkejaran dengan hujan, aspal panas yang digelar di atas tanah becek, dan selokan yang dibongkar paksa saat air sedang meluap.

Selamat datang di musim “Proyek Roro Jonggrang”. Sebuah ritual tahunan di mana hukum fisika diperkosa demi satu frasa sakral birokrasi: Penyerapan Anggaran.

Logika yang “Ditekut”
Mari kita bedah kejanggalan ini dengan matematika sederhana. Tahun anggaran tutup buku pada 31 Desember. Hari ini tanggal 18. Tersisa kurang dari dua minggu efektif kerja.

Setiap insinyur sipil tahu—dan anak STM pun paham—bahwa beton membutuhkan waktu curing (pematangan) minimal 21 hingga 28 hari untuk mencapai kekuatan maksimal. Aspal membutuhkan suhu dan kondisi tanah yang kering agar bisa merekat sempurna.

Lantas, bagaimana mungkin proyek perbaikan jalan, pembuatan drainase, atau renovasi gedung dinas yang baru dimulai pertengahan Desember ini diklaim akan “Selesai 100%” sebelum tahun baru?

Jawabannya ada dua, dan keduanya mengerikan.
Pertama, Kualitas Sampah. Kontraktor dipaksa bekerja asal jadi. Mereka menuang beton di genangan air, mencampur aspal dengan lumpur. Hasilnya? Jangan kaget jika di bulan Januari atau Februari 2026 nanti, jalan yang baru seminggu mulus itu sudah berlubang lagi. Trotoar baru itu sudah retak seribu. Ini bukan pembangunan; ini vandalisme berbiaya miliaran.

Kedua, Manipulasi Laporan. Fisik pekerjaan di lapangan mungkin baru 40%, tapi di atas kertas laporan administrasi, progres sudah ditulis 100%. Berita Acara Serah Terima (BAST) ditandatangani dengan mata tertutup. Uang cair, pejabat aman, kontraktor untung. Siapa yang rugi? Kita.

Pecahan 200 Juta: Trik Lama yang Abadi
Perhatikan papan proyeknya—jika mereka cukup berani memasangnya.
Anda akan sering melihat angka “ajaib” di nilai kontrak: Rp 180 juta, Rp 195 juta, atau Rp 199 juta. Kenapa angkanya nanggung?

Karena aturan pengadaan barang dan jasa mengizinkan proyek di bawah Rp 200 juta dilakukan dengan mekanisme Penunjukan Langsung (PL). Tanpa tender terbuka, tanpa kompetisi, tanpa sorotan. Cukup tunjuk rekanan “titipan”, dan uang cair.

Inilah mengapa di akhir tahun, proyek-proyek kecil ini menjamur seperti cendawan di musim hujan. Proyek dipecah-pecah menjadi paket kecil untuk menghindari tender, disebar ke kroni-kroni yang “sudah antre”, dan dikerjakan secepat kilat dengan kualitas setara kerupuk kena air.

Bangun, dan Lihat Sekeliling

Ini bukan sekadar keluhan tentang jalan rusak. Ini adalah perampokan legal yang terjadi di depan mata kita. Pajak yang Anda bayarkan dengan susah payah, dibakar habis hanya agar grafik penyerapan anggaran di layar proyektor terlihat hijau.

Mereka membangun bukan untuk kemanfaatan, tapi untuk menghabiskan sisa uang kas agar tahun depan jatah anggaran tidak dipotong.
Jadi, sepulang kerja nanti, jika Anda melihat alat berat bekerja di tengah hujan deras, atau trotoar yang “tiba-tiba” dibongkar padahal masih bagus, jangan hanya menggerutu.

Potret. Catat lokasinya. Cek papan namanya. Karena satu-satunya hal yang ditakuti oleh para pesulap anggaran ini bukanlah hujan, melainkan mata publik yang tidak lagi bisa dibohongi.

Jangan biarkan mereka menutup tahun ini dengan tawa di atas uang kita.

Berita Terkini