Oleh : Anton Christanto _ Yayasan Karya Kasih Kesehatan Perhati (YK3P)
Mudanews.com OPINI | Banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat (ASS) bukan sekadar bencana alam. Ini adalah tragedi ekologis dan kegagalan tata kelola hutan yang dibayar dengan nyawa manusia.
Kalimat yang paling pantas keluar dari mulut para korban hari ini mungkin hanya satu:
“Perusak hutan—keparat!”
Karena bagaimana mungkin musibah sebesar ini terus disebut “bencana alam”, sementara jejak perusakan hutan begitu telanjang dan sistematis?
Korban: Angka yang Tidak Lagi Bisa Disebut Statistik
Hingga artikel ini ditulis, skala kehancuran di tiga provinsi ASS telah melampaui batas kewajaran:
* 883 orang meninggal dunia
* 520 orang hilang (sebagian besar diduga telah meninggal)
* 5.200 orang luka-luka
* 121.500 rumah rusak
* 50 kabupaten/kota terdampak
Korban jiwa terbanyak:
* Aceh: 345 jiwa
* Sumatera Utara: 312 jiwa
* Sumatera Barat: 226 jiwa
Belum termasuk desa-desa yang masih terisolasi, terutama di wilayah hutan Aceh, akibat terputusnya akses transportasi dan komunikasi.
Ini bukan angka.
Ini adalah keluarga yang hilang, anak-anak yang yatim, dan masa depan yang hanyut.
Fasilitas Publik Lumpuh Total
Majalah TEMPO edisi pekan ini mencatat kerusakan infrastruktur yang mencengangkan:
* 270 fasilitas kesehatan (puskesmas dan rumah sakit)
* 509 fasilitas pendidikan
* 338 rumah ibadah
* 221 gedung dan perkantoran
Akses darat lumpuh akibat:
* 405 jembatan rusak atau putus
* 312 jembatan di Aceh saja
Belum terhitung:
* ternak mati dan hilang,
* kendaraan hanyut,
* alat produksi rakyat hancur total.
Banjir ini melumpuhkan kehidupan, bukan hanya merendam rumah.
Negara Datang—Setelah Terlambat
Awalnya, informasi bencana yang sampai ke Presiden Prabowo Subianto disebut tidak separah kenyataan.
Bahkan Ketua BNPB sempat menyatakan bahwa media sosial membesar-besarkan kejadian—pernyataan yang kemudian ia tarik dan minta maaf langsung kepada Gubernur Aceh dan para kepala daerah.
Namun setelah skala kehancuran tersibak, Presiden turun langsung ke Banda Aceh pada Minggu, 7 Desember 2025.
Langkah darurat diambil:
* Panglima TNI dan Kepala Staf 3 Angkatan dikerahkan
* Kepala BNPB turun ke lapangan
* Puluhan Hercules dan helikopter
* Kapal-kapal TNI AL
* Sekitar 30.000 pasukan TNI AD, ribuan AL dan AU
* PLN diperintahkan menghidupkan kembali listrik
Secara militer dan logistik, negara hadir.
Namun satu pertanyaan menggantung: mengapa semua ini baru bergerak setelah kehancuran tak terbantahkan?
BNPB: Jenderal Tidak Ditakuti Banjir
BNPB hari ini berjalan seperti bebek pincang.
Anggaran penanggulangan bencana:
* 2019: Rp 8,07 T
* 2020: Rp 11,75 T (Covid)
* 2021: Rp 7,14 T
* 2022: Rp 5,04 T
* 2023: Rp 4,9 T
* 2025: Rp 2,01 T
Ketika anggaran dipangkas terus, bencana justru meledak.
Padahal menurut UU No. 24 Tahun 2007, Kepala BNPB
:
* bertanggung jawab langsung atas penanggulangan bencana,
* berada di bawah kendali Presiden,
* wajib melapor langsung saat bencana terjadi.
Ironisnya, banjir bandang tidak takut pada jenderal.
Hantu Deforester: Akar dari Segala Amukan
Inilah bagian yang paling jujur—dan paling menakutkan.
Data TEMPO menunjukkan:
* 8,6 juta hektare hutan Sumatera hilang (2000–2024)
* Rata-rata 358.300 hektare per tahun
Dalam 7 tahun terakhir (2017–2024):
* Total deforestasi Sumatera: 2,5 juta hektare
* Di ASS saja: 671.940 hektare
* Kontribusi ASS: ±26%
Ini bukan kebetulan.
Ini kejahatan struktural.
Gelondongan kayu—di Sumbar disebut galodo—menjadi palu godam alam:
* DAS Aia Dingin (Padang)
* Batang Toru (Tapanuli Selatan)
* Sungai Meureudu (Pidie Jaya)
Bahkan gajah mati terjepit kayu.
Jika satwa saja tak selamat, bagaimana manusia?
Saatnya Negara Menghukum, Bukan Menutup Mata
Presiden Prabowo Subianto tidak punya pilihan setengah-setengah.
Langkah yang harus diambil:
1. Panggil dan Periksa Semua Pemegang Konsesi
Ke Kejaksaan Agung.
Yang mangkir—ditangkap.
Termasuk:
* beking aparat,
* mantan jenderal,
* politisi.
2. Bebankan Tanggung Jawab Finansial
Total kebutuhan penanganan bencana: Rp 51–52 Triliun.
Jika dibagi pada ±1.000 deforester → ±Rp 50 Miliar per entitas.
Sangat terjangkau bagi mereka.
3. Cabut Izin, Rehabilitasi Total
Tidak ada lagi hutan untuk ekonomi rakus.
Hanya:
* hutan lindung,
* hutan sosial,
* hutan kehidupan.
*Alam Sudah Memberi Peringatan Terakhir*
Cuaca ekstrem bukan mitos.
Ia hukum alam.
Jika manusia terus menantangnya,
maka kehancuran berikutnya pasti lebih besar.
Banjir ASS adalah alarm keras.
Jika tidak kita jawab dengan kebijakan radikal dan keberanian politik,
maka yang akan datang bukan lagi banjir—tetapi kehancuran permanen.
Saatnya berhenti berdamai dengan perusak hutan.
Karena damai dengan mereka,
berarti perang dengan rakyat sendiri.***
NB : Update data : 10/12/2025

