Oleh : _Oleh: Agusto Sulistio
Mudanews.com OPINI | Prabowo The Last Emperor” adalah istilah yang saya berikan ketika diawal pemerintahannya berkomitmen atas nama Tuhan dan Rakyat Indonesia melalui pidato menggelegar. Dari sinilah hati dan pikiran saya percaya dan mendukung, bahwa Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo akan lebih baik.
Dalam sejarah demokrasi modern, hubungan antara kekuasaan, hukum, dan kebebasan berpikir selalu menjadi medan ujian paling sensitif. Negara yang matang secara demokratis tidak diukur dari ketiadaan kritik, melainkan dari kemampuannya mengelola kritik tersebut secara beradab, rasional, dan berbasis hukum yang adil.
Ketika sebuah karya tulis yang bersifat kritis dijawab dengan kriminalisasi, bukan dengan klarifikasi atau bantahan intelektual, maka sesungguhnya yang sedang diuji bukan penulisnya, melainkan watak demokrasi negara itu sendiri.
Sejarah penting dunia dapat dilihat dari peristiwa “Pentagon Papers” di Amerika Serikat pada tahun 1971. Daniel Ellsberg, seorang analis militer, membocorkan dokumen rahasia Departemen Pertahanan AS yang mengungkap kebohongan pemerintah terkait Perang Vietnam sejak era Presiden Truman hingga Nixon.
Pemerintah AS melalui Jaksa Agung John Mitchell berupaya menghentikan penerbitan dokumen tersebut oleh The New York Times dan The Washington Post dengan alasan keamanan nasional. Namun Mahkamah Agung Amerika Serikat, dalam perkara New York Times Co. v. United States (Juni 1971), memutuskan bahwa negara tidak memiliki dasar konstitusional untuk membungkam publikasi tersebut. Hak atas kebebasan pers, sebagaimana dijamin Amandemen Pertama Konstitusi AS, dinilai jauh lebih fundamental daripada rasa tidak nyaman pemerintah. Dokumen itu boleh diperdebatkan, boleh dikritik, bahkan boleh dianggap berbahaya secara politis, tetapi tidak boleh diberangus melalui hukum pidana.
Prinsip serupa juga terjadi di Jerman Barat, peristiwa yang dikenal dengab “Der Spiegel Affair” tahun 1962. Majalah Der Spiegel menerbitkan laporan kritis mengenai kesiapan militer Jerman dalam konteks NATO. Pemerintah saat itu, di bawah Kanselir Konrad Adenauer, merespons dengan penggerebekan redaksi dan penahanan wartawan, diantaranya Rudolf Augstein. Namun reaksi publik dan tekanan politik justru berbalik arah. Peristiwa ini kemudian dikenang sebagai pelajaran mahal bahwa kriminalisasi karya jurnalistik dan intelektual merupakan kesalahan serius dalam negara hukum. Mahkamah Konstitusi Jerman selanjutnya mempertegas bahwa kritik terhadap pejabat publik, meskipun keras dan kontroversial, adalah bagian tak terpisahkan dari demokrasi.
Di negara kita Indonesia, bahwa tradisi perdebatan intelektual pun memiliki akar yang panjang. Polemik sejarah seputar Peristiwa 30 September 1965 dan PKI merupakan contoh nyata. Sejak Orde Baru menetapkan versi resmi melalui buku Putih Putihnya PKI, film Pengkhianatan G30S/PKI, dan kurikulum pendidikan nasional, muncul pula karya-karya tandingan dari sejarawan seperti Benedict Anderson, John Roosa, Asvi Warman Adam, hingga Taufik Abdullah. Perbedaan tafsir ini tidak diselesaikan melalui pemenjaraan para penulisnya, melainkan melalui debat akademik, riset arsip, dan publikasi lanjutan. Masyarakat diberi ruang untuk membaca, membandingkan, dan menyimpulkan sendiri.
Tradisi inilah yang semestinya menjadi rujukan pemerintah era reformasi, khususnya ketika negara berhadapan dengan karya seperti buku “Jokowi Under Cover” karya Bambang Tri. Buku tersebut, yang terbit pada 2016 dan kemudian disusul edisi lanjutan, berisi pandangan dan kesimpulan penulis mengenai latar belakang mantan Presiden Joko Widodo, termasuk soal riwayat pendidikan yang dipertanyakan oleh penulis. Isi buku itu menimbulkan kontroversi luas, pro dan kontra, serta perdebatan di ruang publik. Namun dalam kerangka demokrasi, kontroversi bukanlah kejahatan. Kesalahan analisis, jika memang ada, bukanlah tindak pidana.
Masalah muncul ketika respon hukum yang ditempuh negara lebih menonjolkan pendekatan represif. Bambang Tri kemudian diproses hukum dan divonis bersalah dengan menggunakan pasal-pasal pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong. Di titik ini, pertanyaan mendasar muncul, apakah substansi yang dipersoalkan telah diuji secara terbuka dan berimbang di pengadilan?
Dalam negara hukum yang sehat, tuduhan faktual seharusnya dijawab dengan pembuktian faktual. Jika sebuah karya mempertanyakan dokumen publik, maka jalan paling rasional adalah menghadirkan dokumen pembanding, bukan memenjarakan penulisnya.
Ketika proses hukum berjalan tanpa pengujian substansi yang memadai, keadilan prosedural menjadi kabur. Hukum tampak lebih sebagai alat penertiban pendapat ketimbang sarana pencarian kebenaran. Dalam situasi seperti ini, kekhawatiran publik terhadap politisasi hukum menjadi wajar dan beralasan.
Persoalan menjadi semakin serius ketika mereka yang menjalankan fungsi pembelaan hukum ikut terseret. Advokat seperti Eggi Sudjana, Kurnia Tri Royani, Damai Hari Lubis, yang dalam kapasitas profesionalnya memberikan pembelaan dan pendapat hukum, seharusnya dilindungi oleh imunitas profesi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Imunitas ini bukan hak istimewa pribadi, melainkan mekanisme perlindungan agar advokat dapat bekerja tanpa intimidasi. Ketika advokat dipidana karena pembelaannya, maka prinsip equality before the law kehilangan makna praktisnya.
Kasus-kasus seperti Bambang Tri, Gus Nur, dan sejumlah aktivis, Habib Rizieq Shihab, Munarman, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Sri Bintang Pamungkas, dan masih banyak lagi, memperlihatkan pola yang mengkhawatirkan, yakni kecenderungan hukum yang mudah bergerak ketika menyentuh kritik terhadap kekuasaan, tetapi lamban atau tumpul dalam melindungi kebebasan sipil. Dalam literatur ilmu politik, kondisi semacam ini kerap disebut sebagai “authoritarian legalism”, yaitu penggunaan instrumen hukum secara formal sah, tetapi secara substansial menekan kebebasan demokratis.
Dalam konteks inilah, pidato dan pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai komitmen untuk menegakkan demokrasi, menjamin kebebasan berpendapat, serta memastikan hukum tidak digunakan sebagai alat kekuasaan, menjadi sangat relevan dan menentukan. Komitmen tersebut bukan sekadar janji politik, melainkan harapan publik agar negara hadir sebagai penengah yang adil, bukan sebagai pihak yang menekan. Penyelesaian polemik dugaan ijazah Presiden Joko Widodo, perkara hukum terhadap Bambang Tri, serta kriminalisasi terhadap advokat seperti Eggi Sudjana, akan menjadi ujian awal apakah komitmen demokrasi tersebut benar-benar diwujudkan dalam praktik kenegaraan.
Jika negara berani membuka ruang penyelesaian yang transparan, adil, dan rasional dengan mengedepankan klarifikasi terbuka, pengujian dokumen secara sah, serta penghormatan terhadap kebebasan berpikir maka kepercayaan rakyat dapat dipulihkan. Lebih dari itu, kepercayaan dunia internasional terhadap demokrasi Indonesia akan kembali tumbuh. Kehidupan berbangsa dan bernegara pun dapat kembali berjalan secara sehat, investasi tumbuh, produktif, dan fokus pada pembangunan, tanpa dibayangi rasa takut, tekanan kekuasaan, atau kriminalisasi pikiran.
Tantangan terbesar demokrasi Indonesia kedepan bukan terletak pada banyaknya kritik, melainkan pada kesanggupan negara mengelola kritik tersebut secara dewasa. Sengketa atas karya tulis harus dikembalikan ke ranah akademik, etik, dan diskursus publik. Jika sebuah buku dianggap keliru, bantahlah dengan buku lain, riset lain, dan argumen yang lebih kuat. Biarkan publik menjadi hakim terakhir melalui akal sehatnya.
Demokrasi tidak runtuh karena perbedaan pendapat, tetapi karena ketakutan terhadap perbedaan itu sendiri. Negara yang percaya diri dengan legitimasi dan kebenarannya tidak akan gentar menghadapi buku, pertanyaan, atau kecurigaan. Sebaliknya, kriminalisasi pikiran hanya akan meninggalkan preseden buruk dan luka panjang bagi kebebasan berpikir. Pada akhirnya, masa depan demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh pilihan ini, apakah hukum akan terus dijadikan alat kekuasaan, atau kembali ditegakkan sebagai penjaga keadilan dan kebebasan warga negara.
” Pendiri The Activist Cyber, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era 90an, aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)._
Kalibata, Jaksel, Rabu 17 Desember 2025, 14:09 Wib.
