Laporan Akhir Tahun
Mudanews.com Jakarta – Dalam kajian sosiologi agama, organisasi keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) kerap dipahami sebagai institusi yang terus bergerak di antara dua kutub: pewarisan tradisi sakral dan tuntutan rasionalisasi modern. Sepanjang tahun ini, dinamika NU memperlihatkan secara nyata apa yang oleh Max Weber disebut sebagai ketegangan antara kharisma dan birokrasi. Ketika otoritas keulamaan yang berbasis legitimasi kultural bertemu dengan struktur administratif modern, konflik bukanlah penyimpangan, melainkan konsekuensi sosiologis yang hampir tak terelakkan.
Polemik kepemimpinan PBNU dan perbedaan tafsir terhadap mekanisme organisasi menunjukkan proses yang oleh Weber disebut sebagai routinization of charisma. Dalam proses ini, kharisma keagamaan berusaha dilembagakan ke dalam aturan formal. Namun, ketika pelembagaan tersebut tidak disertai konsensus nilai, birokrasi justru berpotensi kehilangan legitimasi moral. Inilah yang tampak ketika prosedur organisasi diperdebatkan bukan hanya secara administratif, tetapi juga secara etis dan kultural oleh warga NU sendiri.
Dari sudut pandang Émile Durkheim, agama berfungsi menjaga kohesi sosial dan solidaritas kolektif. Ketika konflik internal organisasi keagamaan menjadi terlalu menonjol di ruang publik, yang terancam bukan hanya stabilitas organisasi, tetapi juga fungsi simboliknya sebagai perekat sosial. Dalam konteks NU, konflik elite yang berlarut-larut berisiko melemahkan apa yang oleh Durkheim disebut sebagai kesadaran kolektif warga NU—yakni rasa keterikatan bersama pada nilai, tradisi, dan tujuan luhur organisasi.
Keterlibatan NU dalam sektor ekonomi strategis dapat dibaca melalui kacamata kritik Peter L. Berger tentang proses sekularisasi internal. Berger mengingatkan bahwa ketika institusi agama terlalu jauh mengadopsi logika negara dan pasar, agama berisiko kehilangan “kanopi sakral” yang selama ini melindungi otoritas moralnya. Kritik yang muncul dari kiai sepuh dan warga NU akar rumput mencerminkan mekanisme otokritik internal terhadap kecenderungan tersebut—sebuah upaya menjaga agar agama tidak sepenuhnya tunduk pada rasionalitas instrumental.
Sementara itu, menguatnya suara santri dan kader muda selaras dengan analisis Jürgen Habermas tentang ruang publik dan rasionalitas komunikatif. Basis NU menuntut dialog yang setara, transparan, dan partisipatif, bukan sekadar kepatuhan hierarkis. Fenomena ini menandai pergeseran penting: otoritas keagamaan tidak lagi sepenuhnya bersifat top-down, tetapi semakin bergantung pada proses deliberasi dan penerimaan rasional warga.
Opini Akhir Tahun Redaksi Mudanews.com
Berangkat dari pembacaan sosiologi agama tersebut, Mudanews.com berpandangan bahwa dinamika NU sepanjang tahun ini seharusnya dibaca sebagai momentum otokritik institusional. Sejarah sosiologi agama mengajarkan bahwa organisasi keagamaan tidak runtuh karena kritik, melainkan karena kehilangan kemampuan mengkritik dirinya sendiri.
NU hari ini menghadapi dilema klasik yang pernah diperingatkan Weber: birokrasi yang efisien tetapi miskin makna, atau kharisma yang bermakna tetapi rapuh secara institusional. Jalan tengahnya bukan memperkuat salah satu secara berlebihan, melainkan membangun keseimbangan yang berakar pada etika keulamaan dan disiplin organisasi.
Redaksi menilai, keterlibatan NU dalam ruang ekonomi dan politik hanya akan sah secara moral jika disertai pembatasan diri (self-limitation)—sebuah konsep yang dalam sosiologi modern justru menjadi ukuran kedewasaan institusi. NU tidak kehilangan wibawa karena menahan diri, justru sebaliknya: wibawa moral lahir dari kesanggupan mengatakan “cukup” ketika kepentingan mulai mengaburkan nilai.
Menutup tahun ini, Mudanews.com menegaskan bahwa NU sedang berada pada fase reflektif yang menentukan. Jika NU mampu menjadikan kritik internal sebagai energi pembaruan, menjaga jarak kritis dari logika pasar dan kekuasaan, serta menghidupkan kembali musyawarah sebagai praktik etis—bukan sekadar prosedural—maka NU akan tetap relevan sebagai kekuatan moral bangsa.
Namun bila peringatan sosiologis ini diabaikan, NU berisiko mengalami apa yang oleh para sosiolog disebut sebagai kehilangan makna simbolik: tetap besar secara struktural, tetapi menipis secara moral. Sejarah akan mencatat, apakah tahun ini menjadi titik balik pendewasaan, atau awal dari jarak yang semakin lebar antara NU dan nurani warganya sendiri.**(Red)

