Peringatan Megawati, Greenpeace, dan WALHI: Bahaya Penebangan Hutan yang Kian Mengancam Indonesia

Breaking News
- Advertisement -

 

Catatan Redaksi Mudanews.com 

Mudanews.com Jakarta – Selama enam tahun terakhir, peringatan keras mengenai ancaman penebangan hutan di Indonesia datang dari berbagai penjuru: Megawati Soekarnoputri mengingatkan dari panggung politik, Greenpeace Indonesia terus membunyikan alarm dari ruang advokasi global, sementara WALHI memperlihatkan bukti lapangan yang tidak lahir dari wacana, tetapi dari luka ekologis yang benar-benar terjadi di daerah. Semua suara itu berkumpul menjadi satu gema besar yang semakin sulit diabaikan—bahwa kerusakan hutan bukan lagi persoalan masa depan, melainkan kenyataan yang sedang menimbulkan bencana di depan mata.

Megawati sudah berbicara jauh lebih awal, mulai dari 13 September 2019 ketika ia memperingatkan kader PDIP di Kalimantan Barat agar tidak mengorbankan hutan demi sawit. Suaranya kembali menguat pada 29 Agustus 2020, menyoroti secara langsung agresivitas perkebunan yang menggerus alam. Hingga 1 Oktober 2023, dalam pidato penutupan Rakernas IV PDIP, Megawati kembali menegaskan keresahannya terhadap maraknya penebangan pohon di Indonesia—bahkan membandingkan negeri ini dengan negara-negara Timur Tengah yang sedang sibuk menanam meski mereka hidup di gurun. Bagi Megawati, merawat lingkungan bukan sampingan politik, melainkan inti dari agenda Merawat Pertiwi, sebuah pesan bahwa pembangunan tanpa menjaga bumi hanya akan menghasilkan negara yang rapuh.

Di saat yang sama, WALHI muncul sebagai saksi mata kerusakan di lapangan. Sejumlah rilis mereka pada 2025 memperlihatkan pola yang sama: deforestasi tidak terjadi sendiri, tetapi terjadi melalui kebijakan dan kegiatan industri yang terus merangsek ke ruang hidup rakyat. Pada 2 Desember 2025, WALHI menyebut ada “legalisasi bencana ekologis” di Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Utara. Sehari sebelumnya, 1 Desember 2025, WALHI dengan terang menyatakan bahwa pertambangan dan perkebunan sawit adalah faktor besar banjir bandang di Sumatera. Bahkan 28 November 2025, mereka menegaskan bahwa kerusakan ekosistem Batang Toru berperan langsung dalam memicu banjir dan longsor. Rangkaian peringatan itu menunjukkan bahwa deforestasi tidak lagi tampak sebagai masalah teknis, melainkan sebagai praktik yang berjalan sistematis dan menempatkan keselamatan masyarakat sebagai korban pertama.

Sementara itu, Greenpeace Indonesia terus menyampaikan alarm yang serupa dari ruang advokasi global—dan alarm itu tidak pernah padam. Pada 2 Desember 2025, mereka menyebut banjir besar di Sumatera sebagai “pengingat terakhir” untuk memperbaiki tata kelola hutan. Setiap momentum lingkungan hidup seperti Hari Hutan Internasional (21 Maret) dan Hari Hutan Indonesia (7 Agustus) selalu menjadi panggung untuk mengingatkan bahwa laju deforestasi Indonesia tidak lagi bisa dianggap wajar. Greenpeace juga berulang kali mengeluarkan peringatan keras pada periode kebakaran hutan yang rutin terjadi pada bulan September hingga November, memperlihatkan bagaimana hutan yang terus ditebang membuat Indonesia semakin rentan terhadap krisis iklim.

Melihat semua ini, Redaksi menilai bahwa serangkaian peringatan dari Megawati, Greenpeace, dan WALHI bukanlah suara terpisah, melainkan satu narasi besar yang menggambarkan krisis ekologis yang semakin nyata. Ketika suara politik, suara aktivis global, dan suara organisasi lingkungan nasional mengarah pada satu kesimpulan yang sama, maka yang keliru bukanlah mereka yang memperingatkan, tetapi mereka yang memilih tidak mendengarkan. Kerusakan hutan bukan isu abstrak—ia menjelma menjadi banjir yang menghancurkan rumah, longsor yang merenggut nyawa, hingga krisis air yang mengancam masa depan.

Peringatan sudah banyak, tanggal-tanggalnya jelas, dan buktinya ada. Kini, pertanyaan yang harus dijawab oleh negara dan para pengambil kebijakan hanyalah satu: apakah kita siap bertindak, atau akan terus menunda sampai hutan terakhir tumbang dan bencana berikutnya menjawab semuanya dengan cara yang jauh lebih mahal?

Berita Terkini