Pemain: Bukalah Topeng-Mu

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Wahyu Triono

Mudanews – Opini | Beberapa waktu yang lalu saya menulis suatu artikel ringan dengan judul “Semutpun Diolah” yang terinspirasi dari Dr. H. Wihaji, S.Ag., M.Pd, Mas Menteri Dukbangga/BKKBN saat kunjungan SilaturaHMI saya ke kantornya.

Sebagai suatu dialog peradaban dan diskusi kebudayaan artikel ini masih mengulas tentang karakter buruk yang mesti kita hindari dan kita tidak boleh terjebak dalam suatu sircle semacam itu, yaitu menjadi “Pemain”.

***

Suatu waktu, seorang sahabat merasa iskal dan kesal serta tidak habis pikir atas penilaian orang lain yang menilai dirinya adalah seorang “Pemain”.

Saat melakukan silaturaHMI dengan senior aktivis mahasiswa, mantan Ketua Umum PB HMI Bang M Fakhrudin, untuk mendiskusikan rencana penerbitan buku yang ditulisnya sambil menikmati kuliner khas Aceh. Di tengah dialog Bang Almarhum Julianto Marjan, senior aktivis yang berasal dari Medan, berujar: “Ah tak usah lah… Pemain Dia itu!”

Istilah kata dan terminologi “Pemain” sudah begitu lama menjadi kata yang berkonotasi negatif bagi seseorang yang pintar olah-olah dan mengolah.

“Pemain” menjadi kata berkonotasi negatif yang pada perspektif yang lain sebenarnya bermakna positif, misalnya pemain bola atau pemain untuk olahraga lainnya atau pemain watak dalam kegiatan drama, sandiwara, seni panggung atau dunia keartisan.

***

Untuk memulai penjelasan tentang “Pemain” quote  ini dapat kita jadikan sebagai kalimat pembuka, “Kecerdasan adalah cahaya, tetapi di tangan yang salah ia dapat berubah menjadi bayang-bayang paling kelam.”

Dalam hidup ini, selalu ada sosok yang bergerak seperti angin: halus, nyaris tak terdengar, namun meninggalkan jejak yang sulit dihapus. Ia adalah Pemain —bukan sekadar pemeran dalam sebuah cerita, melainkan tokoh yang hidup melalui topeng-topeng yang ia pilih sendiri.

Ia cerdas. Terlalu cerdas, mungkin. Kata-katanya terukur, langkahnya tertata, dan pikirannya seperti labirin yang tak mudah dijelajahi. Namun dalam kecerdasan itu, ada aliran gelap yang mengalir diam-diam: kelicikan, seni menata kepalsuan, seni memperhalus tipu daya sehingga tampak seperti kebenaran.

“Ada yang bicara jujur untuk didengar, Ada pula yang bicara manis untuk dipercayai.”

Pemain seperti ini menjalani hidup bagai panggung tak bertepi. Hari-harinya penuh dialog yang disusun untuk kepentingan, bukan ketulusan. Ia ahli membaca manusia —bukan untuk memahami, tetapi untuk memanfaatkan. Kepekaannya bagai pisau tajam: bisa memotong belenggu, tetapi bisa juga menusuk tanpa meninggalkan suara.

Di balik tutur lembutnya, kadang tersembunyi agenda yang tak pernah ia akui. Di balik senyumnya, ada kalkulasi yang tak pernah berhenti bekerja.

Ia bertahan bukan dengan kekuatan, tetapi dengan kelenturan: menyesuaikan wajah, nada, dan sikap sesuai kebutuhan perannya.

“Kebaikan baginya hanyalah kostum,

Ketulusan hanyalah dialog, Sedang tujuannya —itu naskah yang tak pernah ia wartakan.”

***

Namun pada akhirnya, setiap pemain memiliki akhir adegan. Setiap topeng akan retak, setiap skenario akan terbaca.

Kecerdasan yang ia banggakan menjadi bumerang, kelicikan yang ia simpan perlahan berubah menjadi jerat. Sebab hidup selalu berdiri di antara keseimbangan: cahaya dan gelap, kebenaran dan dusta, kecerdasan dan kelicikan.

Dan Pemain —betapapun lihainya ia bersandiwara— takkan selamanya bisa menipu panggung kehidupan.

“Ia bermain di antara kecerdasan dan kelicikan,

Namun lupa: yang paling pandai menilai adalah waktu.”

Begitulah kisah sang Pemain: sosok yang jenius namun rapuh, licik namun menawan, cerdik namun tak pernah benar-benar menang atas dirinya sendiri.

***

Kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat kita belakangan ini dipenuhi oleh para Pemain dengan berbagai peran yang kontras, ambigu dan paradoks antara panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage) sebagaimana teori peran (Erving Goffman, 1959).

Di panggung depan (front stage) dipenuhi oleh para Pemain yang berada diantara kecerdasan dan kelicikan. Namun lambat laun apa yang di sembunyikan dan ditutup dengan topeng-topeng, di panggung belakang (back stage) semu ada saatnya akan diwartakan oleh sang waktu.

Karenanya, siapa pun anda berhentilah untuk menjadi “Pemain” karena kecerdasan yang anda miliki begitu sayang bila digunakan untuk menopang kelicikan, kebohongan dan kepalsuan.

Ini bukan tentang siapa, tetapi tentang kita, karena  bukankah menjadi otentik, asli dan apa adanya itu melegakan dan menyenangkan dari pada kehidupan yang dijalani dengan topeng-topeng, citra dan pesona yang dikemas dan dibungkus kepalsuan yang membuat batin dan jiwa menderita. Pemain, Bukalah Topeng-Mu! [WT, 21/11/2025]

Ditulis Oleh: Wahyu Triono KS, Mahasiswa Doktoral Administrasi Publik FISIP Universitas Nasional, Founder LEADER dan CIA Indonesia. Tenaga Ahli Kebijakan Publik Dekonsentrasi Tugas Pembantuan dan Kerja Sama, Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan, Kementerian Dalam Negeri.

[Red]

Berita Terkini