Soeharto Pahlawan Hasil Gerilya Oknum NU dan Aktivis di Belakang layar 

Breaking News
- Advertisement -

Mudanews.com OPINI | Banyak yang pura-pura kaget ketika Soeharto jadi pahlawan.

Padahal operasi senyap mempahlawankan Soeharto sudah berjalan lama. Setidaknya 15 tahun sebelumnya.

Ketika Prabowo berkuasa dan Fadli Zon pegang “kunci sejarah”, tinggal masuk itu barang.

Segalanya gampang dikondisikan. Jurus politik dagang sapi bermain.

Gen Z tidak tahu Soeharto. Apalagi soal dosa-dosanya. Maka ketika dia dicalonkan jadi pahlawan, situasi sangat terkendali.

Isu Soeharto ini hanya urusan orang-orang uzur. Gak relate sama mereka.

Para aktivis 98 sudah pada tua. Sebagian dari mereka juga sudah masuk gerbong istana.

Berharap Budiman, Fadli Zon, Andi Arief bersuara lantang, itu mimpi.

Kekuasaan itu manis dan memabukkan. Sikap kritis hanya cocok untuk orang-orang lapar.

Mereka yang perutnya kenyang biasanya lamban. Matanya ngantuk. Tak perduli lagi dengan idealisme.

Kesalahan terbesar gerakan Reformasi 98 adalah memaafkan Soeharto. Atas nama sikap ketimuran. Sopan-santun munafik ala Konoha.

Tapi kita semua kemudian merasakan ujung yang pahit. Tanpa adanya iblis besar yang dijadikan target lempar jumrah, Reformasi hanyalah proses ganti baju.

Dari satu tikus ke tikus lainnya. Dari satu oligark ke oligark berbeda. Segalanya di luar itu sama saja.

Kita memang cukup bangga menyebut KPK atau MK sebagai bukti keberhasilan Reformasi. Tapi dengan cepat kita sadar, bukankah keduanya sekarang jadi alat politik?

Gelagat menjadikan Soeharto sebagai pahlawan sebenarnya sudah berjalan lama. Banyak orang tahu. Tapi tidak ada yang benar-benar ingin melawannya dengan berdarah-darah.

Contoh Megawati. Musuh alami Soeharto itu sepertinya sudah memaafkan dosa masa lalunya.

Dulu bapaknya dirumahkan dan dijauhkan dari pengobatan layak. Hubungannya dengan rakyat diputus. Gema suaranya dijauhkan.

Orang-orang yang kritis seperti Eva Sundari cukup dibujuk dengan nama Marsinah. Mereka setuju dan pura-pura lupa ada nama Soeharto dalam daftar.

Padahal Marsinah “dihancurkan” di zamannya Soeharto. Begitu pula Wiji Thukul dan banyak nama lain yang dihilangkan.

Tapi okelah. Partai seperti PDIP harus realistis. Bagaimanapun Soeharto adalah masa lalu. Nasib partai, atau orang-orang partai dalam list target harus diselamatkan.

Yang membikin kita geleng-geleng kepala adalah manuver NU, atau untuk lebih halus kita sebut saja, oknum NU.

Untuk mereka, nama Gusdur dijadikan alat barter. Termasuk tentu saja Syaikhona Kholil. Soeharto lolos, Gusdur juga lolos.

Kemudian anak emas sang ketua umum yang tak tahu malu itu sibuk melobi. Dia sampai lupa posisinya ada di struktural.

Kalau kultural macam saya ini sih bodo amat. Kartu NU saja gak punya.

Belakangan Gus Mus protes. Katanya, orang NU yang mendorong Soeharto jadi pahlawan gak paham sejarah.

Masalahnya, keponakan dia sendiri menjadi motor utama dalam gerilya memalukan itu.

Ini tentu agak lucu. Tapi karena saya menghormati Gus Mus, saya tidak mungkin menghujatnya.

Akhirnya saya meniru mereka berlagak hipokrit. Itu yang manuver kan hanya oknum di NU. Biasalah, oknum ada di mana-mana.

Tapi oknum itu powerful banget, goblok!

Oknum itulah yang menjerumuskan NU ke lembah nista politik.

Oknum itulah yang dulu naik tampuk pimpinan karena amplop dan endorse politik penguasa.

Oknum itulah yang rela jadi kaki tangan kekuasaan dengan bujukan tambang.

Oknum itulah yang membawa NU dalam fase terburuk sepajang sejarahnya.

Tapi tulisan ini bukan untuk menghujat Soeharto. Atau memaki-maki Fadli Zon dan orang-orang yang telah bergerilya.

Terlambat.

Soeharto sudah jadi pahlawan. Membatalkannya ibarat memasukkan sapi ke dalam lubang jarum.

“Tapi kan dia melanggar HAM”, katamu.

Imam Bonjol juga melanggar HAM. Wahabi satu itu juga dengan gagah dipahlawankan.

Sejarah ditulis oleh para pemenang. Yang kalah, bergerilyalah. Karena tidak ada kemenangan abadi.

Tulisan ini hanya ingin mengingatkan kemunafikan kita. Sikap tak tahu malu ala makhluk Indonesia.

Kalau jadi bedebah, jadilah bedebah dalam versi terbaik, bedebah yang tidak munafik.

@Kajitow Elkayeni

Berita Terkini